Feature

Kebijakan Umrah Mandiri tanpa Batas, Ancaman bagi PPIU dan Perlindungan Jemaah

92
×

Kebijakan Umrah Mandiri tanpa Batas, Ancaman bagi PPIU dan Perlindungan Jemaah

Sebarkan artikel ini
Foto freepik.com premium

Legalitas Umrah Mandiri membawa tantangan baru: dominasi marketplace bisa meruntuhkan PPIU dan mengancam keselamatan jemaah Indonesia di Tanah Suci.

Oleh Ulul Albab; Ketua Litbang DPP Amphuri

Tagar.co – Ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah disahkan, satu pasal yang segera menyedot perhatian publik adalah legalisasi Umrah Mandiri. Di atas kertas, gagasan ini lahir dari semangat efisiensi dan kemerdekaan warga negara dalam memilih cara beribadah.

Namun tanpa pengaturan teknis yang memadai, kebijakan ini dapat berubah menjadi bumerang: bukan hanya melemahkan perlindungan jamaah, tetapi juga mengancam keberlanjutan industri penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) yang selama ini menjadi tulang punggung ekosistem layanan umrah di Indonesia.

Baca juga: Pro-Kontra Umrah Mandiri: Mencari Titik Temu antara Inovasi dan Tata Kelola

Data Kementerian Agama menunjukkan bahwa hingga 2025 terdapat 2.592 PPIU resmi yang beroperasi di seluruh Indonesia. PPIU adalah institusi yang memikul tanggung jawab penuh (hukum, administratif, dan moral) atas ribuan jamaah yang berangkat setiap tahun.

Mereka menyelenggarakan manasik, mengurus visa, memverifikasi hotel, memastikan layanan transportasi, hingga memberikan pendampingan ibadah di Tanah Suci.

Menurut Laporan GoodStats dan data sektoral Kemenag, jumlah jemaah umrah Indonesia ada pada kisaran 600.000–800.000 orang per tahun, menjadikan Indonesia salah satu penyumbang jamaah terbesar di dunia.

Dengan skala besar itu, pengambilan keputusan terkait tata kelola umrah seharusnya menuntut kehati-hatian. Namun UU 14/2025 membuka ruang luas bagi “Umrah Mandiri” tanpa merinci standar keamanan, tanggung jawab hukum, maupun batasan peran pelaku digital, terutama marketplace. Inilah celah yang berpotensi merobohkan fondasi industri PPIU.

Baca Juga:  Semut dan Good Governance Alam Semesta

Dominasi Marketplace: Ancaman Nyata

Indonesia adalah salah satu pasar e-commerce terbesar di dunia. Laporan Indonesia E-commerce Market Databook menempatkan nilai transaksi e-commerce Indonesia pada kisaran lebih dari US$ 60 miliar per tahun.

Marketplace besar memiliki modal tak terbatas, strategi “bakar uang”, dan infrastruktur digital yang memungkinkan mereka menjual layanan perjalanan secara unbundling: tiket pesawat, hotel, visa, asuransi, hingga layanan lokal seperti bus ziarah dan pemandu lepas.

Setiap komponen memberikan komisi 1–20 persen, angka yang secara total bisa melebihi margin PPIU untuk sebuah paket umrah lengkap.

Tanpa aturan yang menegaskan tanggung jawab marketplace terhadap jamaah, pasar akan mudah bergeser. Jamaah yang tidak memahami kompleksitas ibadah umrah dapat tergoda harga murah dan fitur praktis aplikasi.

Padahal marketplace bukan penyelenggara ibadah; mereka hanya perantara transaksi. Ketika terjadi masalah—keterlambatan visa, perubahan hotel, jamaah hilang, atau tinggal melebihi izin—pasal perlindungan konsumen hanya berlaku sebatas transaksi digital, bukan perlindungan jamaah ibadah sebagaimana diatur bagi PPIU.

Inilah asimetris regulasi yang sangat berbahaya. PPIU diwajibkan memikul “strict liability”, sementara marketplace hampir tanpa kewajiban. Dalam jangka pendek, PPIU akan kesulitan mengikuti persaingan harga. Dalam jangka panjang, industri PPIU dapat runtuh satu per satu, sebagaimana industri transportasi konvensional ambruk akibat invasi platform digital yang tak dibatasi.

Baca Juga:  Dari Bencana ke Peradaban: Agenda Besar ICMI untuk Indonesia Hijau

Risiko Jemaah, Risiko Negara

Argumen bahwa Umrah Mandiri memberikan kebebasan tidak sepenuhnya keliru. Namun kebebasan tanpa pagar keselamatan setara dengan mendorong warga masuk jalan gelap tanpa lampu.

Kasus tinggal melebihi izin WNI di Arab Saudi terus berulang setiap tahun, dan laporan Kementerian Pemberdayaan Pekerja Migran menunjukkan ratusan WNI dideportasi karena pelanggaran dokumen atau tinggal melebihi izin. Dalam banyak kasus, mereka berangkat tanpa pendampingan resmi.

Pelemahan peran PPIU berarti melemahnya fungsi screening, edukasi, dan pengawasan jamaah. Tanpa wajib manasik, jemaah rentan tersesat, kehilangan paspor, salah memahami aturan, hingga gagal menyempurnakan ibadah. Risiko sosial dan diplomatik meningkat: Arab Saudi dapat menegur atau bahkan mengurangi kuota Indonesia jika terjadi kekacauan jamaah dalam skala besar.

Persoalan lain yang tidak kalah serius adalah kedaulatan digital. Umrah Mandiri yang bergantung pada platform global berarti data jamaah (identitas, catatan perjalanan, preferensi ibadah) berpindah dalam jumlah besar ke perusahaan yang tidak berada di bawah yurisdiksi penuh pemerintah Indonesia.

Padahal data ibadah adalah data sensitif. Negara harus memastikan kontrol dan berperan aktif, bukan pasif dan hanya menjadi penonton dalam arena yang dikuasai algoritma perusahaan asing.

Kepentingan Mana yang Harus Dilindungi?

Pertanyaannya: siapakah aktor yang harus paling dilindungi negara dalam penyelenggaraan ibadah umrah? Jawabannya jelas: jemaah. Namun jemaah hanya dapat dilindungi dengan baik apabila ekosistem penyelenggara domestik kuat, regulasi adil, dan mekanisme tanggung jawab tegas.

Baca Juga:  Pelajaran Berharga dari Kontroversi Xpose Uncensored di Trans7

Ketika PPIU dilemahkan, siapa yang akan mendampingi jamaah lansia? Siapa yang mengurus jamaah yang tersesat? Siapa yang menjadi penjamin ketika jamaah kehilangan paspor?

Marketplace tidak memiliki mandat dan tidak diwajibkan menjalani audit Kemenhaj. Mereka tidak berada di lapangan, tidak melayani jamaah secara fisik, dan tidak memikul tanggung jawab hukum yang sama dengan yang dibebankan ke PPIU.

Kebijakan Umrah Mandiri yang tidak diiringi perlindungan dan pembatasan justru menjauhkan negara dari prinsip kesetaraan perlindungan sesuai Pasal 28D UUD 1945. Norma kabur dalam UU 14/2025 memberi ruang interpretasi tak terbatas, dan kondisi ini layak diuji secara konstitusional melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Menjaga Ekosistem dan Masa Depan

Uji materi bukanlah gerakan anti-modernisasi. Tetapi justru bernilai ikhtiar memastikan bahwa transformasi digital tidak menghancurkan ekosistem domestik dan tidak membahayakan jamaah. Teknologi harus berjalan seiring dengan perlindungan, bukan menggantikannya.

PPIU adalah aset bangsa. Mereka membina SDM, menciptakan lapangan kerja, dan menyelenggarakan layanan ibadah yang tidak bisa dijalankan oleh platform digital semata. Jika negara abai, dan PPIU jatuh satu per satu, maka yang runtuh bukan hanya industri saja, tetapi juga kualitas perlindungan jamaah Indonesia di Tanah Suci.

Negara selayaknya menata ulang regulasi secara lebih proporsional: marketplace boleh hadir sebagai mitra, tetapi harus tunduk pada kewajiban perlindungan, audit, sertifikasi, dan tanggung jawab yang setara dengan PPIU. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni