Opini

Telur-Telur Partai, Darurat Demokrasi, dan Kekuatan Netizen

×

Telur-Telur Partai, Darurat Demokrasi, dan Kekuatan Netizen

Sebarkan artikel ini
Telur-telur partai yang diimpikan membawa angin segar dmokrasi Indonesianya nyatanya tetap menjadi penerus praktik-praktik lama politik yang tak berpihak Rakyat. Untungnya netizen hadir menjadi kekuatan baru bagi bagi rakyat.
Sejumlah mahasiswa melakukan aksi jalan kaki saat mengikuti unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024). (Foto Antara/BBC Indonesia)

Telur-telur partai yang diimpikan membawa angin segar demokrasi Indonesia ternyata tetap menjadi penerus praktik-praktik lama politik yang tak berpihak pada rakyat. Untungnya netizen hadir menjadi kekuatan baru bagi rakyat.

Opini oleh Sujarwa, S.Th.I., Guru SMK Sunan Giri Menganti, Gresik; Ketua Yayasan Dompet Kepedulian Muslim (DKM) Surabaya.

Tagar.co – Semakin hari, masalah yang dihadapi bangsa ini semakin nyata dan terasa. Namun solusi yang diharapkan oleh masyarakat semakin jauh dari jangkauan. Partai politik yang digadang-gadangmenjadi representasi kepentingan rakyat terlihat semakin jauh dari harapan. 

‘Telur-telur partai’ (generasi politisi baru yang lahir dari sistem pemilu yang tidak sehat ini) juga membawa duka dan kekecewaan bagi masyarakat. Generasi ini, (baca: legislatif hasil pemilu) yang diimpikan membawa angin segar dan perubahan, justru menjadi penerus praktik-praktik lama yang tak berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat.

Baca juga: Demo Besar-besaran Gagalkan DPR Revisi UU Pilkada

Kebijakan dan keputusan politik sering kali diwarnai oleh kepentingan kelompok kecil (partai politik dan keluarganya sendiri). Hal ini pasti tidak sesuai dengan janji-janji mereka kepada pemilih saat kampanye berlangsung.

Membela Kepentingan Siapa?

Ketika putusan pengadilan, termasuk dari Mahkamah Konstitusi, dianggap tidak sesuai dengan hasrat politik mereka, terlihat bagaimana dengan mudahnya mereka mencari cara untuk menganulir atau mengubahnya.

Hanya dalam waktu sehari, keputusan yang seharusnya menjadi penegak, aturan, penjaga etika hukum,bahkan sebagai pintu pembuka keadilan dan demokrasi di negara ini, diperdebatkan dan ingin diubah.

Baca Juga:  Mengawal Keputusan MK di Pelantikan DPRD

Baca jugaGerakan Kawal Putusan MK: Dari Tagar ke Pagar Berbeton

Mereka tidak sadar terhadap pengabaian putusan MK yang dilakukan oleh ‘telur-telur partai’ hasil pemilu ini akan memiliki dampak yang sangat luas di antaranya stigma negatif secara nasional bahkan secara global.

Kejadian ini sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka telah menjauh dari para pemilih yang dulu memberikan mereka kekuasaan. Lantas kepentingan siapa yang mereka bela?

Darurat Demokrasi ala Netizen

Rakyat mulai merasakan bahwa penguasa tidak lagi berjuang untuk kepentingan bersama. Mereka hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri, keluarga, dan partainya.

Keresahan ini menjadi semakin nyata ketika rakyat yang merasa dikhianati harus menelan pahitnya kenyataan bahwa janji-janji pemilu hanya ilusi. Kepentingan rakyat seolah diabaikan, dan pemilih tidak lagi dianggap penting setelah mereka memberikan suaranya waktu pemilu.

Bersyukur masyarakat melalui kekuatan netizen di media sosial, saat ini, seakan-akan memiliki alat baru bagi rakyat untuk bersuara dan memperingatkan bahaya yang sedang mengancam negeri ini.

Baca juga: ‘Peringatan Darurat’ Menggema di Medsos, Warganet Kecewa DPR dan Pemerintah

Media sosial menjadi medan perlawanan di mana rakyat bersatu untuk menyerukan “darurat demokrasi bagi Indonesia”. Mereka ingin penguasa sadar bahwa kekuatan sejati ada di tangan rakyat, bukan di kursi kekuasaan atau dalam kamar rapat partai politik mereka.

Rasa resah ini merupakan peringatan bagi penguasa bahwa semakin jauh mereka dari rakyat, semakin besar bara yang akan mereka hadapi. Seperti air yang tertahan di bendungan, semakin lama diabaikan, semakin kuat dorongan yang siap menerjang apa pun. Indonesia bukanlah milik segelintir elite politik, tapi milik seluruh rakyatnya. 

Baca Juga:  Tidak Ada yang Abadi di Dunia

Waktunya bagi penguasa untuk membuka mata dan telinga, mendengar jeritan hati rakyat yang merintih karena ketidakpedulian mereka. Jika tidak, bara itu akan terus membara, dan suatu saat bisa menjadi api besar yang tak terpadamkan atau jikacitu, diibaratkan air maka akan menjadi  banjir bandang yang akan menerjang apapun yang ditemuinya. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni