Hiperealitas adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi runtuhnya realitas karena diambil alih oleh berbagai rekayasa model seperti citraan, halusinasi, dan simulasi. Fenomena hiperealitas cantik antisyukur?
Opini oleh Aji Damanuri, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.
Tagar.co – Era digital memunculkan satu lagi perilaku psikologis yaitu hiperealitas yang berarti ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, di mana keanekaragaman media dapat membentuk dan menyaring kejadian atau pengalaman sesungguhnya.
Menurut Jean Baudrillard, hiperealitas berarti mempertentangkan simulasi dan representasi. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kondisi runtuhnya realitas. Keadaan ini menjelaskan realitas diambil alih oleh berbagai rekayasa model seperti citraan, halusinasi, simulasi, dan sebagainya. Rekayasa model tersebut dianggap lebih nyata dari realitas sehingga perbedaan antara realitas dan hiperealitas menjadi kabur.
Banyak fakta yang menunjukkan perilaku ini. Misalnya, seorang laki-laki merasa perkasa ketika menghisab rokok merek tertentu. Seorang perempuan merasa menjadi cantik ketika memakai pakaian brand tertentu. Seorang suami akan merasa jantan hanya karena memakai merek jamu tertentu. Padahal semua itu belum tentu sesuai dengan fakta sesungguhnya.
Hiperealitas biasanya terbentuk melalui komunikasi secara virtual, banyak konten iklan yang memanipulasi fakta. Teknologi informasi telah membawa bentuk baru mengenai identitas individu serta bagaimana subjek bekerja. Hiperealitas ditandai dengan lenyapnya bentuk asli dari sebuah objek karena diambil oleh duplikasi dari fantasi.
Baca juga: Muktamar Tikus
Fenomena lahirnya realitas-realitas buatan yang melampaui kenyataan nyata, diperparah dengan berkembangnya media sosial yang memfasilitasi individu dalam mengekspresikan diri melalui postingan untuk mengekspresikan eksistensi diri.
Implikasinya, terkait fashion dan kosmetik misalnya. Perempuan-perempuan dalam masyarakat masa kini menjadi bersemangat untuk selalu tampil melampaui realitas dirinya sehingga selalu ingin terlihat cantik sempurna.
Oleh karena cantik dipahami sebagai tubuh sebagai fisik, maka untuk menjadi cantik seseorang harus melakukan perawatan dengan memakai skincare, memakai pakaian branded yang mahal.
Hiperealitas di Kalangan Mahasiswi
Penelitian Hiperealitas cantik pernah dilakukan oleh Imam Fawaid bagi mahasiswa pengguna skincare. Hasil penelitian ini dimuat pada Jurnal Pemikiran Sosiologi UGM tahun 2022, menunjukkan bahwa hiperealitas yang terjadi pada mahasiswa melalui tiga fase. Yaitu fase simulasi sebagai fase awal, fase simulakra sebagai fase tengah, dan fase simulakrum sebagai fase akhir.
Lebih lanjut Imam Fawaid dan kawan-kawan menjelaskan, fase simulasi ini terjadi karena didukung oleh beberapa faktor. Antara lain lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, dan idola yang mengenalkan konstruksi cantik pada para mahasiswi yang kemudian menjadi rujukan untuk ditiru sebagai identitas diri.
Sementara fase simulakra terjadi ketika subjek para mahasiswi mulai mempelajari lebih banyak tentang skincare, bereksperimen mencoba berbagai merek skincare, mengikuti akun-akun media sosial skincare, hingga berkonsultasi ke klinik perawatan kulit.
Baca juga: Ilmu Menghadirkan, Jalan Termudah Menuju Tuhan
Adapun fase simulakrum terjadi ketika para mahasiswi subjek penelitian tersebut merebut otoritas untuk mereproduksi cantik versinya tetapi terus berproses dalam bayang-bayang negativitas sampai pada titik di mana skincare menjadi kebutuhan baru.
Sebenarnya fenomena hiperealitas cantik ini bukan hanya terjadi pada generasi milenial tetapi juga masyarakat umum. Seseorang merasa kuat jika merokok dengan merek tertentu. Para wanita merasa cantik ketika memakai produk skincare, outfit, atau barang branded lainnya.
Meskipun hiperealitas cantik ini belum dianggap sebagai penyakit psikologi namun telah mengubah pola perilaku dan kebutuhan yang sering kali berlebihan. Keinginan tampil cantik seperti yang dibayangkan membuat seseorang tidak mampu mengendalikan prioritas kebutuhannya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu karena ingin tampil glowing maka memakai skincare yang tidak standar. Alih-alih cantik yang terjadi malah rusak wajahnya.
Antisyukur
Secara teologis, hiperealitas cantik ini merupakan ketidakmampuan seseorang untuk bersyukur atas fakta anugerah yang diberikan Tuhan. Tubuh wanita perlu dirawat secukupnya agar indah dan sehat sesuai dengan kodratnya, namun tetap harus memperhatikan prinsip kesederhanaan.
Perilaku hiperealitas ini juga sering tampak aneh yang dalam bahasa Jawa disebut wagu. Di jalanan sering kita lihat perempuan paruh baya memakai pakaian ketat ala bintang drama Korea yang justru membuatnya tampak aneh. Ada juga perempuan yang wajahnya putih kemerah-merahan namun tangan dan kakinya tampak coklat sawo matang, warna kulit khas Indonesia.
Literasi agama dan pemahaman konsep kehidupan yang baik bisa menjaga perempuan dari hiperealitas cantik ini. Bukankah petuah agama menyatakan bahwa bukan kecantikan itu karena pakaian penghias diri, tetapi kecantikan itu karena ilmu dan adabnya.
Baca juga: Hukum Nikah Beda Agama Menurut Islam
Mempercantik diri dengan ilmu yang mumpuni dan akhlak yang mulia tidak membutuhkan pakaian yang branded dan mahal, atau skincare yang menawarkan glowing, tetapi dengan terus belajar dan memperbaiki kualitas diri.
Maka Inner beauty lebih alami dan susah dimanipulasi, sementara kecantikan fisik sering dimanipulasi oleh make up. Begitu pula visual pada media digital bisa dimanipulasi dengan mode cantik pada smartphone atau melalui editing.
Dengan demikian, seharusnya para wanita lebih sibuk membangun kualitas diri dengan meningkatkan ilmu pengetahuan, memperbaiki karakter yang baik sebagai buah akhlak, daripada bingung berlomba merias fisik. Merawat badan supaya bersih, sehat, dan menarik tanpa melampaui realitas yang ada akan menentramkan jiwa. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni