Guru yang mendisiplinkan murid lantas dilaporkan ke polisi membawa ancaman pada sistem pendidikan. Suasana ini memengaruhi kualitas belajar mengajar di kelas.
Oleh Bening Satria Prawita Diharja, Guru SMP Muhammadiyah 1 Gresik.
Tagar.co – Sidang kasus guru honorer Supriyani di PN Konawe Selatan Sulawesi Tenggara viral dan menyita perhatian publik. Dia dituduh memukul murid yang anak polisi. Sempat ditahan selama sepekan. Setelah kasusnya viral lantas permohonan penangguhan tahanannya dikabulkan dengan jaminan banyak pihak.
Perkara guru dilaporkan orang tua ke polisi semakin banyak menjadi berita. Beragam kasusnya. Umumnya karena orang tua tidak terima sanksi penertiban agak keras oleh pengajar di sekolah. Profesi guru mendidik murid kini menjadi rawan dilaporkan ke polisi.
Seperti kasus di SMKN 2 Makassar. Pengajar dipukul orang tua di ruang kelas. Alasannya orang tua tidak terima anaknya ditampar oleh gurunya. Padahal anaknya mengumpat guru saat ditegur tidak mengerjakan tugas.
Berita lainnya Akbar Soraya yang mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI) SMKN 1 Taliwang Sumbawa Barat NTT menjalani sidang di PN Sumbawa lantaran menertibkan siswa yang tidak shalat. Keluarga siswa memintanya membayar Rp 50 juta jika ingin berdamai.
Di SMAN 7 Rejang Lebong Bengkulu, Zaharman matanya luka parah akibat diketapel oleh orang tua murid yang tidak terima anaknya dipukul karena merokok di sekolah.
Baca Juga 10 Keutamaan Orang yang Sabar
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sun dan Shek tahun 2012 pada 12 guru dari tiga SMP yang berbeda di Hongkong menunjukkan, terdapat 17 kategori perbuatan indisipliner yang dilakukan oleh siswa berdasarkan persepsi guru.
Yaitu (1) asyik mengerjakan hal-hal pribadi saat belajar, (2) berbicara di luar porsi, (3) agresi verbal, (4) perbuatan tidak hormat kepada guru, (5) tidak memperhatikan, melamun, dan malas, (6) tidur, (7) tidak duduk dengan tenang, (8) tidak menyerahkan tugas, (9) agresi fisik, (10) menjiplak pekerjaan rumah (PR), (11) komunikasi nonverbal yang tidak sopan, (12) melawak, (13) bermain-main, (14) terlambat masuk kelas, (15) makan atau minum di kelas, (16) tidak menyiapkan perlengkapan sekolah, dan (17) pasif dalam kegiatan kelas.
Di Indonesia, penertiban atas perbuatan indisipliner itu membawa risiko guru berhadapan dengan hukum. Di manakah letak masalahnya? Guru yang keras dalam mendisiplinkan siswa atau orang tua yang berlebihan?
Problem ini harus dituntaskan. Sebab dapat memengaruhi kualitas belajar mengajar. Nanti bisa-bisa muncul peribahasa baru: guru kencing di penjara, murid kencing sesukanya.
Empat Kompetensi
Semestinya guru yang memberikan hukuman untuk menertibkan murid tidak serta merta dapat dipidana selama dalam kaidah pendidikan, kode etik guru, dan perundang-undangan.
Hak dan kewajiban seorang guru sudah diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kedua UU tersebut menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, mempunyai komitmen profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.
Guru yang mendisiplinkan siswa dengan apapun alasannya tidak dianjurkan menggunakan kekerasan. Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dan subjek didik. Faktanya dalam interaksi pendidikan di sekolah kadang muncul tindakan kekerasan oleh guru, murid, atau orang tua.
Karena itu pengajar harus memiliki empat kompetensi fundamental. Yakni kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetansi kepribadian.
Kalau masih ada tindakan kekerasan dari pengajar kepada murid berarti penguasaan kompetensi kepribadian guru belum sepenuhnya dikuasai.
Baca Juga Kurikulum Antre di SMP Miosi: Pelajaran Hidup bagi Gen Z dan Alpha
Aspek-aspek kompetensi kepribadian yang perlu dimiliki dan menjadi bagian tak terpisah dari figur seorang guru adalah kedewasaan dan bijak dalam mengambil keputusan, kemampuan mengenal dan mengontrol emosi, mampu memperlakukan murid secara manusiawi.
Hilangnya aspek-aspek ini dari diri seorang pebgajar dapat menciptakan perilaku negatif. Salah satunya adalah tindakan kekerasan terhadap siswa.
Kompetensi kepribadian guru juga berhubungan dengan kemampuan berempati terhadap siswa. Pengajar perlu memiliki kemampuan memikirkan apa yang akan dirasakan dan dialami oleh siswa akan dampak dari setiap tindakan kekerasan yang mereka alami.
Selain itu membutuhkan kerja sama dengan orang tua menanamkan hal-hal positif kepada anaknya di rumah. Seperti toleransi, kerja sama, keberagaman, empati, dan solidaritas.
Orang tua dan siswa memahami tentang konflik dan cara-cara positif untuk mengatasinya. Orang tua dapat mengasah empati anak dengan memperlakukannya dengan berempati. Orang tua dapat memberikan teladan pada anak. Orang tua dapat menyampaikan nasihat pada anak dengan ucapan yang lemah lembut. Orang tua dapat menyampaikan konsekuensi yang tidak melibatkan kekerasan.
Peran masing masing di atas sangat penting untuk membentuk suatu ekosistem pendidikan yang baik di sekolah.
Jika suasana belajar kondusif, prestasi siswa di sekolah pasti meningkat, orang tua pun senang dan bangga putra-putrinya berprestasi sesuai bakat dan minat yang dimiliki. Guru pun bangga ilmu pengetahuan dan potensi yang dimiliki menjadi kebermanfaatan bagi semua. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto