FeatureUtama

Bedah Buku Mas Mansur sang Sapukawat Dihadiri Peneliti Jepang

×

Bedah Buku Mas Mansur sang Sapukawat Dihadiri Peneliti Jepang

Sebarkan artikel ini
Bedah buku K.H. Mas Mansur Sapukawat Jawa Timur berlangsung di Masjid Taqwa Kalimas Udik Surabaya, Ahad 27 Oktober 2024. Acara unik ini dihadiri peneliti Jepang Keita Tosabayashi.
Penulis buku, Syaifulah (tengah) dalam bedah buku K.H. Mas Mansur Sapukawat Jawa Timur (Tagar.co M. Anwar Djaelani)

Bedah buku K.H. Mas Mansur: Sapukawat Jawa Timur berlangsung di Masjid Taqwa, Kalimas Udik, Surabaya, Ahad 27 Oktober 2024. Acara unik ini dihadiri peneliti Jepang Keita Tosabayashi.

Tagar.co – Ahad 27 Oktober 2024 di Masjid Taqwa Kalimas Udik Surabaya, berlangsung acara tak biasa. Disebut demikian, karena unik. Acaranya, Bedah Buku ‘K.H. Mas Mansur Sapukawat Jawa Timur‘.

Unik, bagi rata-rata orang. Hal ini karena biasanya yang disebut bedah buku terkait atau menandai terbitnya buku baru. Sementara, buku yang dibedah di acara itu dicetak pertama 2005 dan cetakan kedua bertahun 2019.

Itupun, materi dari buku itu berasal dari skripsi penulis pada 1985. Bayangkan, kisah tentang Mas Mansur sang Pahlawan Nasional itu sudah selesai ditulis 39 tahun lalu.

Hanya saja, bedah buku itu tetap menarik. Pertama, diselenggarakan di Masjid Taqwa Kalimas Udik Surabaya, yang bagian besar hayat Mas Mansur berkegiatan di sini. Ini sangat bisa dipahami karena rumah Mas Mansur persis di sisi kanan masjid tersebut.

Kedua, acara ini bagian dari ungkapan syukur atas telah selesainya renovasi Masjid Taqwa selama 1,5 tahun.

“Renovasi diperlukan karena telah berusia lebih dari 100 tahun sehingga masjid kurang nyaman untuk dipakai ibadah dan Sekolah Mufidah yang ada di dalamnya kurang kondusif untuk belajar,” kata Agus Rusidy, Ketua Yayasan K.H. Mas Mansur saat membuka acara.

Ketiga, acara bisa dipakai untuk merawat cita-cita dan semangat juang Pahlawan Nasional bernama K.H. Mas Mansur. Demikian, kata Abdan Fikri. Dia cucu Mas Mansur.

Peserta bedah buku (Tagar.co/Istimewa)

Sosok Multitalenta

Syaifullah, penulis buku, mengungkap sejumlah bagian dari isi bukunya. Buku itu berasal dari skripsi penulis di Teologi Filsafat UIN Yogyakarta pada 1985. Cetak pertama 2005 dan cetakan kedua 2019.

Mas Mansur adalah Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1937-1942. Dia ketua yang ke-4.

Mas Mansur lahir di Sidoresmo Surabaya, 25 Juni 1896. Dia berasal dari keluarga ulama. Umur 10-12 tahun dia belajar ke K.H. Kholil Bangkalan. Setelah itu, tujuh tahun berikutnya belajar di Saudi Arabia, Mesir dan Libya. Di sana, dia terinspirasi pembaharuan pemikiran Islam.

Pulang ke Indonesia, di usia 19 tahun, sebelum ke Surabaya Mas Mansur bersilaturrahim kepada KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Antara lain, di pertemuan itu Mas Mansur mendapatkan pencerahan dari Ahmad Dahlan tentang Surat Al-Maun.

Baca Juga:  Silaturahmi Wali Siswa Smamsi: Antara Antusiasme dan Ketegangan

Baca juga: K.H. Abdullah Syafi’i, dari Santri ke Ulama

Silaturahmi makin mendalam. Pada 1921 Ahmad Dahlan datang ke Surabaya. Diadakanlah pengajian di Masjid Taqwa. Kala itu, di antara yang hadir adalah Sukarno (kelak dikenal sebagai proklamator kemerdekaan Republik Indonesia).

Setelah acara itu Ahmad Dahlan–yang bermalam di rumah Mas Mansur–berdiskusi dengan si tuan rumah sampai menjelang subuh. Diskusi berakhir dengan adanya komitmen dari Mas Mansur untuk bergabung dengan Muhammadiyah.

Atas komitmen Mas Mansur untuk menjadi anggota Muhammadiyah itu, Ahmad Dahlan sangat senang. Hal itu, lalu dikabarkannya kepada sahabat-sahabatnya. “Nah, sekarang telah kita pegang ‘Sapukawat’ Jawa Timur,” seru Ahmad Dahlan. Makna sapukawat, kata Syaifullah, bisa menyelesaikan semua masalah.

Mas Mansur, kata Syaifullah, tak hanya punya minat di bidang pendidikan dan sosial. Dia pun orang pergerakan, pemikir, penulis, dan jurnalis. Talenta dia banyak dan semua digunakan secara baik.

Mas Mansur adalah ulama yang dalam ilmunya dan luas pergaulannya. Tak hanya dengan para ulama saja dia bergaul, tapi juga dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Bahkan, bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara mereka disebut sebagai Empat Serangkai.

Sebelumnya, ada ”Empat Serangkai” yang lain. Bahwa, pada 21 September 1937 Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terbentuk. Itu, tindak lanjut dari pertemuan para pemimpin dan ulama yang berasal dari beberapa organisasi Islam.

Di dalamnya ada empat tokoh yang paling berperan yaitu KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH Abdul Wahab (Nahdlatul Ulama), W. Wondoamiseno (Sarekat Islam), dan KH Muhammad Dahlan (Tasywirul Afkar). Untuk kita ketahui, nama yang disebut terakhir bukan Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923.

Pertemuan yang berbuah dengan pendirian MIAI itu berlangsung di Surabaya pada 18 hingga 21 September 1937. Ada 13 organisasi Islam yang aktif berpartisipasi. Tujuan utamanya, untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah di Indonesia.

Baca Juga:  Lapangan Basket Bendul Merisi Permai Diresmikan, Ada Cerita Mengenaskan
Peneliti Jepang Keita Tosabayashi (kiri) saat berbincang dengan penulis (kanan) (Tagar.co/Istimewa).

Bagus dan Baik

Berikutnya, sesi tanggapan. Tampil Dr. Wisnu, M.Hum. Dia Koorprodi Pendidikan Sejarah Fisipol Unesa.

Di awal, Wisnu mengapresiasi karya Syaifullah sebagai buku baik. Di dalamnya, penuh nilai. Banyak keteladanan yang menginspirasi.

Tulisan yang dibuat pada 1985 itu, tergolong lengkap. Wisnu pun mengajak melihat daftar isinya. Bab I, Biografi K.H. Mas Mansur. Bab II, Pejuangan K.H. Mas Mansur. Bab III, Pemikiran K.H. Mas Mansur. Di dalamnya ada dua bahasan besar yaitu Pemikiran Filsafat dan Pemikiran Akidah. Bab IV, Kesimpulan.

Baca jugaJejak Digital Bisa Jadi Hantu Kehidupan

Hanya saja, kata Wisnu, andai buku ditulis sekarang maka akan banyak tambahan materi yang bisa dimasukkan. Dengan bantuan teknologi informasi kita bisa mendapatkan ratusan artikel dari “sumber terpercaya di luar negeri” tentang aktivitas Mas Mansur.

“Dari artikel-artikel itu, kita bisa mendapatkan Detail kegiatan Mas Mansur. Pada hari apa, tanggal berapa, dan Mas Mansur mengerjakan apa,” kata Wisnu.

Wisnu memberi semangat bahwa masih diperlukan buku-buku tentang Mas Mansur. Sekarang ini, buku-buku yang ada masih relatif sedikit yang merekam sejarah perjuangan ‘orang besar’ seperti Mas Mansur.

Tamu Istimewa

Selanjutnya, acara tanya-jawab. Salah satu yang bertanya Keita Tosabayashi, dari Jepang. Di sini, atmosfir interaktif terasa.

Acara bedah buku ini hasil kerja sama Yayasan K.H, Mas Mansur dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Surabaya. Acara disambut antusias masyarakat. Misalnya, hadir dr. Jamaluddin Sp.M.(K) dari Kamal, Madura. Dia yang hadir bersama keluarganya merupakan bagian dari lebih 100 orang yang hadir.

Keita Tosabayashi, termasuk salah satu tamu istimewa. Dia berasal dari Waseda University Tokyo, yang sedang menyusun disertasi tentang Mas Mansur.

Rupanya, dia sangat penasaran dengan Mas Mansur yang wafat pada 25 April 1946 itu. Hal ini, karena saat menyelesaikan S1 dia menulis MIAI. Kemudian, di S2 menulis MIAI lagi. Sementara MIAI dan Mas Mansur bisa dibilang tak bisa dipisahkan.

Sebagai peneliti, tampak dia tekun. Pada Agustus 2024, tanpa pemberitahuan, dia langsung datang ke Masjid Taqwa Kalimas Udik Surabaya. Di situ dia ketemu Iqbal, salah seorang pengurus. Lalu, oleh Ketua Yayasan K.,H. Mas Mansur diantar ke PDM Surabaya supaya mendapatkan bahan penelitian S3 yang lebih banyak.

Lalu, 27 Oktober 2024 pas bedah buku, dia datang lagi. Tentu, materi acara itu sangat dia perlukan. Juga, dia bisa menemui penulis buku KH Mas Mansur Sapukawat Jawa Timur yang sehari-hari tinggal di Bengkulu.

“Mas Mansur seperti sebuah jembatan yang menghubungkan berbagai arah untuk mencapai tujuan, sehingga terbangun komunikasi dan interaksi yang saling menguatkan,” kata Keita Tosabayashi.

Itu diucapkan di sesi khusus, semacam testimoni dari tamu. Berkata demikian, sambil Keita Tosabayashi memperlihatkan sebuah model di layar yang menunjukkan posisi dan peran Mas Mansur yang sangat strategis. (#)

Jurnalis M. Anwar Djaelani Penyunting Mohammad Nurfatoni

Feature

Smamuga Tulangan juara II Futsal Sumpah Pemuda kategori putra se-Kabupaten Sidoarjo. Mereka mengalahkan SMKN 3 Buduran di semifinal. Sedang di final mereka harus mengakui keunggulan SMK Trisakti Tulangan