OpiniUtama

Anies Baswedan Ditinggal karena Tak Sefrekuensi dengan Presiden?

×

Anies Baswedan Ditinggal karena Tak Sefrekuensi dengan Presiden?

Sebarkan artikel ini
Anies Baswedan akhirnya gagal mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024. Segua tiket pencalonan habis diborong 12 partal politik anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus. Karena Anies tak sefrekuensi dengan Presiden?
Anies Baswedan saan ziarah di TPU Rorotan, Sabtu 17 Agustus 2024 (Foto X @aniesbaswedan)

Anies Baswedan akhirnya gagal mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024. Semua tiket pencalonan habis diborong 12 partal politik anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus. Karena Anies tak sefrekuensi dengan Presiden?

Tagar.co – Istilah sefrekuensi dengan presiden meluncur dari mulut Ridwan Kamil sebelum dia dideklarasikan sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta 2024-2029, di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (19/8/2024).

Menurut laman viva.co.id., Ridwan Kamil menyampaikan istilah itu dalam pertemuannya dengan elite partai politik yang mengusungnya bersama Suswono sebagai bakal calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. 

Pada pertemuan di Hotel Aryaduta Jakarta, Senin (19/8/2024), hadir perwakilan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Hadir pula perwakilan partai dari luar poros KIM seperti PKS dan Nasdem. 

Baca artikel terkait: Rawon Jakarta Diborong 12 Parpol, Anies Kehabisan Jatah

Dalam pertemuan itu, RK menyampaikan pesan dari Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto agar dirinya bisa mengimajinasi ulang (reimagining) Jakarta pascaberdirinya Ibu Kota Nusantara (IKN).  

“IKN baru akan benar-benar ‘hangat’ dan ‘bunyi’ dalam 15-20 tahun ke depan. Kita harus persiapkan masa transisi yang baik, termasuk transisi untuk Jakarta. Karena itu juga, kita butuh gubernur Jakarta yang sefrekuensi dengan Presiden,” kata Ridwan Kamil. 

Pernyataan soal sefrekuensi dengan presiden itu bisa menjadi bahan analisis mengapa akhirnya Anies Baswedan gagal mendapat tiket untuk maju kembali sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta.

Menjegal Anies, Lagu Lama

Banyak analis politik yang mengatakan bila Anies tidak dikehendaki oleh Jokowi, termasuk saat pencalonannya di Pemilu 14 Februari 2024. Meskipun pada saat itu akhirnya Anies berhasil maju berpasangan dengan Abdul Muhaimin Iskandar dengan dukungan tiga partai: Nasedm, PKB, dan PKS (plus Partai Ummat dan Masyumi).

Jika ingatan kita panjang, maka akan ketemu berbagai mozaik upaya menjegal Anies Baswedan. Mulai KPK yang bernafsu memperkarakannya dalam kasus Formula 1, pencitraan buruk pada Jakarta International Stadium (JIS), hingga ‘intimidasi’ kepada para elite politik partai pengusung Anies.

Baca jugaJelang Lengser Presiden Jokowi Rombak Kabinet yang Ke-13 Kali

Ingatan itu kembali muncul ketika Anies Baswedan berminat kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, setelah gagal dalam perebutan kursi Presiden RI karena kalah oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang didukung mati-matian oleh Presiden Jokowi dengan istilah yang popular saat itu: cawe-cawe.

Yang (tidak) mengherankan, tiga partai politik pengusung Anies di Pemilu 2024 pun balik badan. Semula PKS, Nasdem, dan PKB akan berniat mencalonkan Anies dalam perebutan kursi gubernur. Tapi di tikungan terakhir, ternyata mereka melepas Anies.

Momentum Tak Tepat?

‘Ketua Umum Nasdem Surya Paloh berkilah bahwa kontestasi orang nomor sauu di DKI Jakarta ini bukan momentum yang tepat bagi Anies.

“Iya, jelas itu, saya sudah beri tahu Pak Anies. Pak Anies, Anda sebagai adik, ini bukan momen Anda untuk maju pada Pilkada Jakarta Raya,” kata Surya Paloh dalam konferensi pers yang didampingi presiden terpilih Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (15/8/2024). 

PKS setali tiga uang. Semula mereka sudah mendeklarasikan Anies Baswedan dan kader PKS Mohamad Sohibul Iman dengan akronim Aman. Tapi akhirnya PKS berlabuh ke KIM dengan menyodorkan kader lainnya Suswono.

Baca jugaIstana Merdeka Tidak Bau Kolonial

Tentu saja, sikap PKS ini disayangkan banyak orang. Bahkan mereka seperti tidak percaya jika PKS yang sejak pencalonan pada pilkada gubernur tujuh tahun lalu hingga pencalonan presiden runtang-runtung dengan Anies bisa pecah kongsi. Tak ayal PKS kini mendapat berbagai julukan negatif seperti munafik, terkooptasi kekuasaan, dan sebagainya.
 
Soal ketidaksetian PKB? Ternyata banyak yang tidak kaget. Meskipun dalam pemilihan presiden lalu Anes-Imin alias Amin seperti adik-kakak, tapi semua orang mafhum bagaimana karakter Cak Imin dengan PKB-nya.

Cahaya dan Laron-Laron Politik

Bagaimana membaca ‘ketidaksetiaan’ tiga parpol itu? Tidak sulit menjawabnya. Pertama, ada adagium popular jika ‘tidak ada kawan atau lawan abadi di dalam politik’.

Apalagi kita lihat fenomena karakter parpol kini, termasuk parpol Islam, bukan bersifat ideologis melainkan pragmatis. Maka apa dan siapa yang menguntungkan, maka dia akan jadi lampu bagi laron-laron politik.

Ini pula yang menjadi jawaban kedua. Jika saat mendukung Anies di pilpres lalu ada ketua umum parpol yang ‘diintimasi’ misalnya dihambat bisnisnya. Maka kita bisa menerka, seperti rumor yang beredar, ada kue kekuasaan yang jadi bahan ‘intimidasi’. Pemberian Medali Kepeloporan oleh Presiden Jokowi pada Surya Paloh adalah bagain kecil ‘kue keuasaan’ yang kasat mata.

Selain itu ‘intimidasi’ penjara bagi elite politik yang punya masalah hukum menjadi senjata ampuh untuk mengendalikan partai politik agar mudah dihegemoni.

Baca jugaJika Ingin Husnul Khatimah Presiden Jokowi Harus Batalkan PP No. 28/2024

Walhasil, Anies kini gagal total. PDI Perjuangan yang berminat mencalonkan Anies Baswedan, dengan malu-malu dan ragu, juga gagal total. Kursi PDIP di Jakarta tak cukup menjadi syarat untuk mencalonkan sendirian.

Lalu bagaimana nasib Anies Baswedan selanjutnya? Apakah kegagalan ini akan menjadi hikmah bahwa dia akan tetap menjaga aura sebagai tokoh perubahan yang kritis pada penyimpangan rezim. 

Seperti kekritisannya pada Ibu Kota Nusantara (IKN) ‘karya’ Presiden Jokowi, yang langsung atau tidak langsung memberi cap Anies tidak sefrekuensi dengan Presiden Jokowi dan penggantinya dan karena itu ia layak dijegal?

Yang jelas, kita, rakyat, hanya bisa jadi penonton. Padahal, seperti dikatakan Ketua DPR Puan Maharani 16 Agustus lalu, Konstitusi telah meletakkan prinsip dasar berdemokrasi, yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat. 

Jika melihat kasus 12 partai politik memborong habis semua tiket Pilkada DKI Jakarta 2024, rasanya bukan rakyat yang berdaulat melainkan mereka, para elite partai politik!

Tapi, seperti kata Anies di akun X-nya yang diunggah, Selasa (20/8/2024), kita tidak boleh menyerah. Dia mengutip pernyataan Rene de Clercq, yang dikutip oleh Bung Hatta dalam pledoinya di Den Haag tahun 1928: “Hanya ada satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.”

“Jangan putus asa dan jangan pernah menyerah untuk Indonesia. Kata Bung Karno: Tetaplah bersemangat elang rajawali!” pesannya. (#)

Mohammad Nurfatoni

Baca Juga:  Hijrah Kontemporer di Tahun Baru