Muhammadiyah dan Infrastruktur Berpikir ‘Melampaui’
Banyak tokoh Muhammadiyah yang punya gagasan melampaui zamannya. Dimulai oleh Kiai Ahmad Dahlan hingga Malik Fadjar. Tapi mereka sering menanggung risiko: dimusuhi bahkan dikucilkan atau tidak diakui sebagai anggota karena berpikir beda.
Kolom oleh Nurbani Yusuf, Owner and Founding Komunitas Padhang Makhsyar
Tagar.co – Hampir semua gagasan Kiai Ahmad Dahlan di awal berdirinya Muhammadiyah ‘melampaui’ zamannya. Ini risiko mujadid sekaligus jawaban kenapa kemudian ia diburu, dimusuhi, dan ditahzir tapi dibenarkan di belakang hari. Pikiran majunya mengonstruksi corak pergerakan Islam hingga abad ini.
Orang-orang besar itu ‘melampaui’ zamannya. Sebut saja Ki Bagoes Hadikoesoemo yang menulis buku tipis dalam bahasa Jawa yang sangat apik: Tasawuf Ihsan. Kerelaannya menghapus tujuh kata pada sila pertama Pancasila juga melampaui zaman.
Siapa sangka Jenderal Soedirman—aktivis Hizbul Wathan (HW) kepanduan Muhammadiyah mirip semacam pramuka, dan seorang guru dengan tubuh ringkih ini—adalah pemikir cemerlang dan peletak dasar ABRI modern.
Sukarno adalah penggagas weltstanchaung–philosophsche groundslaach— Pancasila sebagai perjanjian luhur. Pengaruhnya meluas hingga Asia dan Afrika. Dia yang menjadi simbol perlawanan dunia ketiga adalah santri kintil Kiai Dahlan dan pengurus majelis pendidikan di Ende. Sukarno ketahuan ‘pacaran’ dengan Fatmawati salah satu aktivis Nasyiatul ‘Aisyiyah, putri pasangan Buya Hasan Dien dan Ibu Khadijah konsul Muhammadiyah Bengkulu.
Berpikir Beda
Pesan Prof. Haidar Nashir agar mengembangkan berpikir dan berkomunikasi ‘melampaui’ sarat makna. Di Perserikatan ini banyak orang macam ini. Dengan risiko berat. Dimusuhi bahkan dikucilkan atau risiko tidak diakui sebagai anggota karena berpikir beda.
Sukarno memohon-mohon agar tidak dipecat dari Muhammadiyah dan memohon pula agar nomor keanggotaannya tidak dicabut—perbedaan tajam terjadi antara dirinya dengan pimpinan pusat bersangkut soal ideologi dan politik. Prokontra dan silang sengkarut. Merenggang dan menjauh sedikit.
Tapi kemudian ditutup Sukarno dengan pidato menarik: Makin Lama makin Tjinta kepada Muhammadijah’. Adalah ilustrasi semacam ‘epic’ kisah kebatinan, hubungan pasang surut seorang jemaat terhadap Perserikatan yang dicintainya.
Pun dengan Soeharto yang dengan berani dan memelas menyebut dirinya sebagai ‘bibit’ Muhammadiyah yang disemaikan dalam Muktamar Aceh meski tak pernah diakui sebagai kader. Soeharto mencintai Muhammadiyah dalam diam. Ada banyak kebijakan yang diam-diam dirasakan Muhammadiyah hingga membuat teman NU ‘ngiri’.
Surat Pak Abdul Razaq Fakhruddin (Pak AR) kepada Pak Harto saat akan membangun sebuah universitas dan surat cintanya kepada Sri Paus Paulus Yohanes II , sudah cukup untuk mengindikasi bahwa orang ini memang beda.
Pikiran-pikiran Prof. M. Amien Rais tentang politik dan kebangsaan ‘melampaui’ zamannya. Gagasannya tentang negara federal dibantah, tapi diam-diam diterapkan. Pun dengan reformasi demokrasi, suksesi kepemimpinan nasional, dan KKN sangat berpengaruh terhadap dinamika politik dan demokrasi Indonesia modern.
Berpikir Maju
Konsistensi Buya Syafii Maarif cukup mencengangkan. Di usia sepuhnya masih istikamah menjadi penasihat dan redaksi senior majalah Suara Muhammadiyah, dan terus membangun infrastruktur berpikir cemerlang lewat tulisannya berserak di berbagai media.
Sempat dipertanyakan mengapa mendirikan Maarif Institut satu lembaga tempat para kader dan cendekiawan muda Muhammadiyah mengolah nalar dan riset, dan semangatnya melampaui usianya menjadi ketua panitia renovasi Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Dengan tidak bermaksud berbangga diri, masih banyak orang-orang yang berpikir ‘melampaui’ zamannya. Mohammad Djazman Al Kindy Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta dan peletak dasar-dasar perguruan tinggi Muhammadiyah modern.
Prof. Ahmad Malik Fadjar penggagas kampus terpadu UMM Malang yang fenomenal, H. Bisri Ilyas Gresik tipikal saudagar dan penggerak dakwah Perserikatan seperti generasi awal, dan banyak puluhan lainnya yang tak bisa disebut satu-satu.
Muhammadiyah bukan hanya menyiapkan tapi juga memberi uswah membangun infrastruktur intelektual, berpikir maju. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni