Dahsyatnya Potensi Iuran Anggota Muhammadiyah
Iuran Anggota Muhammadiyah sangat dahsyat kalau potensinya digali dan dikembangkan. Lima tahun bisa mencapai Rp 3,6 triliun. Oleh karena itu Muhammadiyah jangan melupakan hal-hal kecil di tengah kiprah globalnya.
Opini oleh Aji Damanuri, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Lazismu Tulungagung.
Tagar.co – Teman saya sesama dosen di IAIN Ponorogo dan kader Muhammadiyah yang juga anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah bercerita. Suatu hari rombongan MUI melakukan perjalanan keluar kota untuk menghadiri sebuah acara. Anggota MUI ini terdiri dari berbagai ormas.
Dalam obrolan ringan di kendaraan ada yang bertanya: “Muhammadiyah itu kecil (anggotanya sedikit) tapi kok bisa kaya ya Pak, apa ya resepnya?”
Karena situasinya memang obrolan santai dan agak guyon maka teman saya menjawab dengan guyonan santai: “Lha gimana, kalau di tempat Sampean ketika kumpul-kumpul ‘kan pulang bawa berkat (seperangkat makanan siap santap), tapi kalau di Muhammadiyah ketika kumpul dompetnya malah berkurang.” Sontak jawaban ini mengundang tawa di antara mereka.
Baca juga: Muktamar Tikus
Candaan ini tampaknya sederhana namun mengandung berjuta makna. Bermuhammadiyah itu artinya berjuang. Berjuang itu butuh pengorbanan, termasuk mengeluarkan infak.
Apa yang Kita Berikan
Konsep umumnya bukan apa yang kita peroleh dari Muhammadiyah, tapi apa yang telah kita berikan untuk perserikatan ini. Pesan Kiai Dahlan sangat jelas, ”Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah!” Meskipun banyak yang sejahtera bekerja di AUM (amal usaha Muhammadiyah) harus tetap diniatkan beribadah sebagaimana ajaran Mabadi Al-Khamsah.
Hampir semua amal usaha dan kegiatan Muhammadiyah disokong oleh dana iuran. Menjamurnya kegiatan pengajian Ahad pagi juga didukung oleh iuran berupa kotak infak keliling.
Ini luar biasa, di tempat saya hampir setiap Ahad apa pengajian. Karena lokasi pengajian jauh, mereka iuran untuk menyewa mobil terbuka, sampai lokasi masih memberi sumbangan kotak keliling, dan mereka tampak riang gembira menyemarakkan syiar Islam yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kadang dapat jajan dari panitia kadang juga tidak. Tetap happy saja.
Ajaran kedermawanan ini bukan hanya diucapkan oleh Kiai Ahmad Dahlan, namun dipraktikkan dengan melelang properti pribadinya untuk membiayai dakwah. Sifat Kiai Dahlan yang lomaninilah yang menjadi tradisi filantropi cerdas sampai sekarang. Membentuk mentalitas dermawan para anggota Muhammadiyah dalam menggerakkan dakwah.
Sampai hari ini ‘lelang proyek’ pembangunan masjid, sekolah, atau amal usaha yang lain tetap menjadi tradisi yang berkeliaran di berbagai Whatsapp group kader Muhammadiyah. Maka salah kamar jika ada kader yang membayangkan memperoleh materi di Muhammadiyah.
Dahsyatnya Iuran
Iuran anggota menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan karena juga dahsyat. Ketika kuliah pascasarjana saya diajari oleh Prof. Suroso Imam Djazuli, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Dia menerangkan dahsyatnya iuran anggota bagi ormas. Pada saat itu yang menjadi contoh yang ditawari gagasan ini adalah Nahdlatul Ulama yang akan menyelenggarakan muktamar di Lirboyo, Kabupaten Kediri.
Saat itu nominal yang dihitung Rp. 1.000. Sekarang akan saya ubah Rp. 2.000 karena pecahan yang kecil, sangat tidak memberatkan. Ilustrasinya begini.
Melansir data Kementerian Agama 2019, Muhammadiyah memiliki anggota mencapai 60 juta. Anggap saja separuh yang aktif iuran yaitu 30 juta anggota. Kalau setiap bulan anggota Muhammadiyah iuran Rp. 2.000 x 30 juta (anggota) = Rp. 60 miliar x 12 (bulan) = Rp. 720 miliar x 5 (tahun) = Rp. 3,6 triliun.
Baca juga: Hiperealitas Cantik, Fenomena Antisyukur?
Betapa dahsyatnya iuran anggota. Dua ribu saja sudah sangat dahsyat, apa lagi kalau lima ribu per bulan. Dana iuran bisa dikumpulkan dulu selama lima tahun baru digunakan untuk investasi strategis maka Muhammadiyah akan bisa menggaji guru-guru yang gajinya masih minim.
Gerakan iuran nasional ini bisa menjadi dana abadi atau diniatkan wakaf tunai untuk mengalirkan manfaatnya tanpa kehilangan pokoknya. Dua ribu rupiah sangat terjangkau dan tidak memberatkan untuk infak.
Jangan Abaikan Hal Kecil
Sebagai anggota Muhammadiyah sejujurnya bangga perserikatan ini memiliki gagasan dan cita-cita besar mendunia, namun hal-hal yang kecil juga tetap harus diperhatikan seperti iuran anggota ini. Mandiri dan insyaallah lebih berkah.
Bukankah pepatah Arab menyatakan al-i’timadu ala nafsi asasu an-najah, berdikari pada kaki sendiri adalah landasan kesuksesan. Mengelola usaha sendiri secara independen tentu lebih baik daripada bekerja untuk orang lain, apalagi tersandera oleh kepentingan politik.
Sesuatu yang besar selalu berangkat atau tersusun dari yang kecil. Uang satu juta tidak akan disebut satu juta jika kurang seratus rupiah. Maka jangan meremehkan yang kecil.
Baca juga: Hukum Nikah Beda Agama Menurut Islam
Siapa yang tidak bangga jika Muhammadiyah memiliki bank sendiri untuk sirkulasi keuangan seluruh AUM dan anggota. Alangkah hebatnya jika memiliki lembaga asuransi sendiri untuk anggota dan rumah sakitnya sehingga tidak selalu tersandera oleh BPJS.
Membuka lapangan kerja dengan mendirikan bisnis ekspedisi sendiri untuk sirkulasi barang dan jasa toh sudah memiliki jaringan sampai ranting. Baik saja merambah pada bidang konstruksi, properti maupun bisnis lainnya dengan perspektif dakwah.
Ujung Tombak Muhammadiyah
Namun, seperti sering saya sampaikan pada jemaah bahwa kita juga harus memikirkan hal-hal yang tampak kecil namun sebenarnya di situlah ujung tombak gerak Muhammadiyah.
Masjid dan musala yang sepi, azan, ikamat, dan imam, dilakukan hanya oleh satu orang. Taman pendidikan Al-Qur’an di masjid dan musala kurang terkoordinasi dengan baik bahkan tidak ada lembaga khusus yang menangani.
Kajian-kajian yang hanya dihadiri oleh mayoritas orang tua yang artinya mandeknya proses kaderisasi. Iuran anggota yang tidak berjalan baik. Sekali lagi tentu sebagai kader saya bangga Muhammadiyah mampu mendunia namun jangan sampai mengabaikan bumi di mana sedang dipijak, karena masa depan perserikatan ini justru pad hal-hal kecil yang biasanya di ranting. Ranting adalah ujung tombak dakwah Muhammadiyah.
Baca juga: Ilmu Menghadirkan, Jalan Termudah Menuju Tuhan
Muhammadiyah juga telah membuktikan diri sebagai ormas yang amanah, sehingga jika mengelola iuran anggota tidak akan dimakan pengurusnya. Muhammadiyah itu malati.
Meski saya tidak percaya klenik apa lagi hukum karma, namun saya perhatikan orang-orang yang bermain-main dengan Muhammadiyah, tidak amanah, pada akhirnya selalu tidak mengenakkan. Kehidupannya selalu terkena musibah, baik harta benda maupun jiwa dengan ditimpa sakit. Maka pengurus dan aktivis Muhammadiyah dari ranting sampai pusat hendaknya tidak bermain-main dengan Muhammadiyah. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni