Muhammadiyah Bertaruh Besar Terima Izin Usaha Pertambangan
Muhammadiyah tak harus turun bukit berebut ganimah dalam izin usaha pertambangan. Posisi Muhammadiyah itu menjaga Bukit Uhud. Mengawasi, mengontrol, dan memastikan pengelolaan tambang dikelola secara syar’i. Bukan malah ikut-ikutan berebut.
Opini oleh Nurbani Yusuf, Owner and Founding Komunitas Padhang Makhsyar
Tagar.co – Mohon izin, saya termasuk yang tidak setuju Muhammadiyah mengelola izin usaha pertambangan (IUP).
Hal itu berdasarkan kaidah usul fikih: darul mafasid muqaddamun ala jalbih mashalih. Mencegah mudarat didahulukan dari mengambil manfaat. Muhammadiyah tidak merugi jika tidak menerima, sebaliknya bertaruh besar jika menerima.
Maka saya termasuk yang tidak setuju jika Muhammadiyah menerima izin usaha mengelola tambang meski saya menghormati kepada yang berbeda dan taat pada putusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Baca juga: Pertambangan Tidak Relevan dengan Amal Usaha Muhammadiyah
Di saat sekarang kita butuh harapan perubahan, dan pengharapan itu ada pada Muhammadiyah, ketika semua berada dalam satu barisan, maka sudah layaknya Muhammadiyah memosisikan diri sebagai pembeda atau al-furqan, semata sebagai misi wujud nyata khairu ummah: umat terbaik sebagai penyuluh atau obor yang menerangi di kegelapan. Muhammadiyah adalah umat terbaik.
Memang tidak harus berperan sebagai oposan, sebab Muhammadiyah tidak pernah menjadikan negara atau rezim sebagai lawan. Tetapi jika Muhammadiyah larut di dalamnya maka sebagian besar kita akan susah membedakan mana rezim mana bukan.
Rakyat Butuh Perlindungan
Muhammadiyah adalah satu-satunya yang tersisa, sebab NU telah lebih dahulu menerima tanpa syarat. Rakyat butuh perlindungan dan pengayoman, ketika ada sebagian besar rakyat menjadi ‘yatim’ secara sosial dan politik.
Harapan besar itu ada pada Muhammadiyah yang bisa menjadi penegak haluan dengan kekuatan moral dan etis yang dimilikinya. Tegasnya berperan sebagai penyeimbang ketika partai kehilangan peran sebagai wasilah aspirasi rakyat, Muhammadiyah mengambil posisi sebagai teman bagi rakyat yang sedang berjuang.
Baca juga: Dilema Ormas dalam Izin Usaha Pertambangan
Ini bukan soal maslahat bagi umat atau akan menjadi pilot proyek mengelola tambang secara syar’i, meski terdengat klise. Harapan perubahan itu bukan soal menerima atau menolak kelola izin tambang tapi pengelolaan secara menyeluruh sumber daya alam untuk maslahat rakyat. Itu lebih utama.
Tapi lebih pada perasaan moral, suasana kebatinan rakyat yang menderita karena tambang di kelola dengan tidak amanah untuk kepentingan individu dan kelompok, suasana inilah yang mestinya dijaga sebagai empati merasa senasip dan sepenanggungan. Sebab menerima izin usaha pertambangan sama dengan melukai hati dan perasaan publik.
Menjaga Bukit Uhud
Muhammadiyah tak harus turun bukit berebut ganimah. Posisi Muhammadiyah itu menjaga Bukit Uhud. Mengawasi, mengontrol, dan memastikan pengelolaan tambang dikelola secara syar’i. Bukan ikutan berebut. Mungkin saja Muhammadiyah akan dapat sekeping emas tapi akan kehilangan legitimasi moral.
Jujur ini juga ungkapan perasaan dan hati sebagai rakyat kecil—setidaknya Muhammadiyah tidak buru-buru menerima dengan alasan dan hujah yang juga buru-buru, sebab suasana hati memang masih belum kondusif.
Baca juga: Muhammadiyah dan Infrastruktur Berpikir ‘Melampaui’
Oleh karena itu saya hanya mengusulkan agar PP menggunakan hati dalam memutuskan bukan semata pertimbangan teknis. Spirit al-Maun adalah semangat hidup bersama jelata yang tertindas. Semangat menolong kesengsaraan umum, meski tidak melawan rezim.
Menerima izin usaha pertambangan insyaallah ada manfaatnya tapi mudaratnya juga besar. Jika tak diambil maka tambang akan dikelola ‘maling’. Masalahnya para ‘maling’-nya masih ikut mengelola. Jadi, mengelola tambang bersama para ‘maling’. Sampai di sini kita paham.
Pertaruhan besar, sebab itu yang bisa menjaga hanyalah doa: Semoga kiranya Allah Taala memberi hidayah, maunah, taufik, kepada para pimpinan Muhammadiyah. Semoga apapun yang diputuskan adalah maslahatbagi umat. Amin. Terpenting kita sudah saling mengingatkan sekedar gugur kewajiban. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni
Sebagai kader d bawah, ketika kita melihat pendapat2 yg saling berseberangan, kita tidak bisa berpihak, namun selalu ada yang merasa lebih benar dari yang lain. Inilah yang rasanya kurang epik di lihat. Mestinya tidak ada narasi yang menunjukkan bahwa pendapat kita lah yang lebih baik. Kerena meskipun kita melihat sesuatu itu kurang baik menurut kita, belum tentu esok atau suatu saat nanti mengakibatkan sezuatu yg kurang baik juga. Baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah yg maha tahu dg yg ghaib. Menurut saya, sebagaimana budaya di Muhammadiyah, ketika PP memutuskan sesuatu, yg ada d benak kita adalah keputusan dari banyak ‘kepala’ yg cerdas2, keputusan dari banyak kader2 pejuang, yg tdk bisa d bandingkan dg kepala kita yg hanya 1 dan belum terbukti cerdas, nyatanya tidak terpilih sebagai pimpinan…. Tidak ada yg lebih baik, yg lebih buruk adalah yg merasa lebih baik… wallohualam