Tagar.co

Home » Langgar Gipo, Wisata Sejarah di Kota Lama
Langgar Gipo di Kalimas Udik ternyata menyimpan sejarah pergerakan umat Islam dan haji di Surabaya. Sejumlah tokoh penting pernah berkunjung ke sini.

Langgar Gipo, Wisata Sejarah di Kota Lama

Langgar Gipo di Kalimas Udik ternyata menyimpan sejarah pergerakan umat Islam dan haji di Surabaya. Sejumlah tokoh penting pernah berkunjung ke sini.
Komunitas pecinta sejarah Surabaya mengunjungi Langgar Gipo, Ahad, 28 Juli 2024. (Tagar.co/Tri Eko)

Langgar Gipo di Kalimas Udik ternyata menyimpan sejarah pergerakan umat Islam dan haji di Surabaya. Sejumlah tokoh penting pernah berkunjung ke sini.

Tagar.co – Berwisata di kota lama Surabaya, salah satu objek yang menarik dikunjungi adalah Langgar Gipo di Jln. Kalimas Udik 1 No. 51 kawasan Ampel Surabaya.

Sebuah musala sederhana namun menyimpan sejarah pergerakan Islam di kota Surabaya. Di sini pernah beraktivitas tokoh-tokoh Islam seperti KH Hasan Gipo yang menjadi Ketua Tanfiziyah PBNU pertama.

Juga dikunjungi KH Mas Mansur, Ketua PP Muhammadiyah tahun 1937-1944, HOS Tjokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Sukarno muda ketika sekolah di HBS Surabaya, boleh jadi juga KH Ahmad Dahlan saat menginap di rumah KH Mas Mansur di Kalimas Udik IC antara tahun 1916-1922.

Menuju Langgar Gipo sangat mudah. Jika Anda berjalan kaki dari Jembatan Merah belok kiri masuk Jln. Panggung terus ke utara melewati pasar ikan Pabean hingga pertigaan Masjid Serang.

Dari Masjid Serang lurus saja ke utara menyusuri gedung-gedung tua di deretan situ akan sampai di langgar ini. Kalau naik kendaraan lewat Jln. Mas Mansur masuk Jln. Panggung sampai pertigaan Masjid Serang belok kanan.

Baca Juga Kota Lama Surabaya, Menghidupkan Zaman Kolonial

Saya mengunjungi musala ini bersama komunitas Love Surabaya di acara wisata kota lama Surabaya, Ahad (28/7/2024).

Dari luar musala ini seperti bangunan rumah bertingkat. Tidak ada kubah atau ornamen. Tanda musala baru terbaca di atas pintu masuk tertulis Langgar Gipo dan mihrab di dalamnya.

Bangunan minimalis itu sekarang sudah tampak klimis setelah dipugar oleh Pemkot Surabaya tahun 2021 dan 2022. Di depan ada plakat yang menjelaskan bangunan itu kini menjadi cagar budaya.

Sebelumnya langgar ini tampak kumuh. Interiornya dan lantai papan rusak di makan umur. Menjadi tempat tidur kuli-kuli Pasar Pabean. Keluarga Sagipoddin pemilik langgar ini pada tahun 2020 mulai memperbaiki kerusakan. Setelah itu menyerahkan ke Pemkot Surabaya supaya direnovasi total untuk menyelamatkan menjadi cagar budaya.

Kini dinding bangunan berlantai dua itu bercat putih. Cat jendela dikerok ditampakkan serat kayu jati kemudian dipernis. Lantai tegel diganti keramik warna krem. Sebagian dinding juga dikeramik untuk menutup tembok yang sudah mengelupas.

Lantai dua untuk museum. Ada barang peninggalan yang dipajang dalam kaca seperti papan berangka tahun dan tikar.

Langgar Gipo tahun 2020 sebelum dipugar.

Sagipoddin

Penjaga langgar Mochammad Yunus menjelaskan, Langgar Gipo berdiri di atas lahan 100 meter persegi.

”Langgar ini dibangun oleh Haji Abdul Latif Tsaqifuddin, seorang saudagar, mubalig, keturunan Arab. Di kayu musala terukir angka tahun 1629, 1774, 1817, dan 1830,” kata M. Yunus.

Tidak ada penjelasan yang menyertai angka itu. Bisa ditafsirkan langgar ini mulai dibangun tahun 1629 M. Kemudian direnovasi tiga kali pada tahun-tahun yang tertera itu.

Nama Gipo, kata Yunus, berasal dari perubahan ucapan Tsaqifuddin menjadi Sagipoddin. Lantas orang Jawa menyingkat menjadi nama panggilan Gipo. Anak keturunan Haji Abdul Latif Tsaqifuddin sekarang dikenal sebagai keluarga Sagipoddin.

Baca Juga Cantiknya Sungai Seine, Tempat Pembukaan Olimpade Paris 2024

”KH Hasan Gipo berasal dari keluarga ini. Lalu menjadi Ketua Tanfiziyah Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama pertama ketika didirikan tahun 1926,” kata Yunus yang merupakan keturunan ketujuh Sagipoddin.

KH Mas Mansur juga keturunan Sagipoddin. Berasal dari ibunya, Raudlah, yang cucu Haji Abdul Latif Tsaqifuddin.

Raudlah menikah dengan KH Mas Achmad Marzuki, ayah KH Mas Mansur. Dia berasal dari keluarga Astana Tinggi Sumenep yang mondok di Sidoresmo atau Nderesmo Surabaya. Kemudian menjadi imam Masjid Ampel.

Makam KH Hasan Gipo dan KH Mas Mansur menjadi satu tempat di halaman timur Masjid Ampel.

Umar Bin Hj Asiyah, kiri, cicit Abdul Latif Sagipodin. (Tagar.co/Tri Eko)

Umar bin Hj Asiyah (90) menceritakan, dulu langgar ini bernama Nahdlatul Muslimin. Tahun 1828 langgar ini disegel oleh pemerintah Hindia Belanda karena menyumbang dana dan santrinya ikut perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.

“Langgar Gipo ini menjadi tempat berdirinya organisasi Nahdlatul Tujjar dan Nahdlatul Ulama (NU). Tempatnya berkumpulnya tokoh-tokoh nasional dan latihan laskar Hizbullah,” kata Umar merupakan keturunan kelima Sagipodin.

Baca Juga Muhammadiyah Bertaruh Besar Terima Izin Usaha Pertambangan

Langgar ini juga menjadi asrama haji pertama untuk jemaah haji Surabaya yang berangkat melalui jalur laut ke Jeddah. ”Jemaah haji tidur di lantai dua sambil menunggu kapal datang di Pelabuhan Perak,” tuturnya.

Di langgar ini, kata dia, awal mula diskusi pendirian NU. KH Mas Alwi bin Abdul Aziz mengusulkan nama Nahdlatul Ulama yang terinspirasi dari nama Langgar Nahdlatul Muslimin. KH Hasan Gipo lalu dipilih menjadi Rais Syuriah pertama.

Di belakang musala ada sumur tua yang masih bening airnya. Juga punya dua kolam gemblengan tempat wudu. Di bagian belakang juga ada bungker. Ukurannya 1,5 x 1 meter. Lokasinya dekat tempat wudu.

Sumur tua dan kolam wudu. (Tagar.co/Tri Eko)

Jurnalis Tri Eko Sulistiowati  Penyunting Sugeng Purwanto

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *