Izin Tambang bagi Ormas, Maslahat atau Masalah?
Izin tambang bagi ormas menjadi bahan diskusi Maarif Institute melalui program “Maarif House”. Diskusi bertema “Agama, Krisis Lingkungan dan Personal HAM: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahah atau Masalah?” diikuti 20 peserta dengan gayeng.
Tagar.co – Siang yang terik pukul 13.00 WIB itu terasa sejuk di Jalan Tebet Barat Dalam II, No 6, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (18/7/2024). Di Kantor Maarif Institute yang nyaman dengan mesin pendingin yang mengalirkan udara dingin itu sedang berlangsung diskusi yang diselenggarakan melalui program “Maarif House”.
Dengan tempat yang nyaman, disertai dengan kudapan, diskusi yang mengangkat tema panas dan menjadi perbincangan hangat: “Agama, Krisis Lingkungan dan Persoalan HAM: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahah atau Masalah?” itu berlangsung adem.
Isu tersebut dipilih Maarif Institute karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, yang telah memicu kontroversi di berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, aktivis HAM, politisi, hingga masyarakat umum.
Sebanyak 20 peserta sebagai undangan terbatas, dalam suasana yang bahagia, saling bertukar pikiran memperbincangkan persoalan tambang.
Baca juga: Dilema Ormas dalam Izin Usaha Pertambangan
Hadir sebagai pemantik utama, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Fajar Riza Ul-Haq dan Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah.
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Andar Nubowo yang bertindak sebagai moderator mengatakan, Maarif House dirancang sebagai upaya untuk merealisasikan gagasan besar Buya Syafii Maarif terkait konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
“Kami berharap program ini dapat menjadi ruang bagi para pemangku kepentingan untuk berdialog, bertukar gagasan, serta dapat menemukan solusi atas berbagai persoalan-persoalan krusial yang berkembang di masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: Pembantu Warung Soto Itu Bisa Kuliahkan Anaknya di UGM
Sementara itu, pemateri pertama Ulil Abshar Abdalla, menawarkan sudut pandang yang menarik seputar konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Ulil menggambarkan mereka yang menolak kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan sebagai kelompok yang memandang isu tambang melalui kacamata ideologis yang kaku dan hitam putih.
Dia mengajukan oposisi biner antara ideologi dan fikih sebagai kerangka untuk melihat masalah-masalah modern. Menurutnya, fikih memiliki keterbukaan semiotis, sedangkan ideologi cenderung tertutup. Pendekatan fikih yang digunakan para kiai NU, menurut Ulil, telah memperhitungkan maslahat dan mafsadat (kebaikan dan kerusakan).
Di sisi lain, Ketua LKKS PP Muhammadiyah, Fajar Riza Ul-Haq menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada obrolan antara pihak Pemerintah dengan Muhammadiyah terkait dengan pengelolaan tambang.
“Sikap PP Muhammadiyah masih mendalami persoalan ini. Ada banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih ada DNA Muhammadiyah terkait dengan kesejahteraan umum, yang menjadi pembahasan pada Muktamar Ke-36 di Bandung tahun 1965, yang kalau dibaca dalam UUD 1945 punya pijakan yang sama,” jelas Fajar.
Baca juga: Hari Pertama Sekolah tanpa Bu Nur
Siti Maimunah, seorang aktivis perempuan yang puluhan tahun bergerak dalam isu pertambangan, mengatakan bahwa perempuan menjadi pihak pertama menerima dampak yang paling dirugikan dalam isu pertambangan.
“Petani itu butuh tanah, butuh air, dan energi yang luar biasa untuk bereproduksi. Sementara ada empat risiko yang terjadi pada air, yaitu kawasan tangkapan air dibongkar, yakni hutan. Kedua, kawasan resapan air juga dibongkar, yaitu batuan yang dibutuhkan untuk ditambang,” ucapnya.
“Yang ketiga, dia rakus air. Jadi untuk mendapatkan satu gram emas misalnya, untuk ekstraksi, dibutuhkan setidaknya seratus liter air. Dan keempat, resiko yang terjadi pada air, dia beresiko mencemari sumber-sumber air,” imbuh Mai —sapaan akrabnya.
Dia mengatakan, kita bisa memulainya dari hal kecil seperti mengubah narasi dan pendekatan kita dalam melihat isu perubahan iklim, yang saat ini menurutnya masih cukup eurosentris.
Sementara Budhy Munawar-Rachman, selaku penanggap, merespon pandangan Ulil tentang isu tambang ini. Menurutnya, dalam dunia ekologi itu tidak ideologis, tetapi ia adalah ilmu yang memberikan pemahaman baru.
“Jadi, men-downgrade lingkungan dari ideologi ke teknis itu berbahaya sekali karena kita tidak peduli terhadap apa yang terjadi. Lingkungan juga memerlukan lebih dari sekadar teknologi, yaitu soal pengelolaan sampah, plastik, soal kerusakan hutan, soal polusi, dan soal perubahan iklim,” terang Budhy.
Baca juga: Water Station SMK Models, Fasilitas Baru Cegah Sampah Plastik
Menurutnya, pendekatan yang mengintegrasikan teologi dan ekologi dapat memberikan landasan yang lebih kuat untuk menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian, pandangan yang lebih komprehensif dan holistik diperlukan untuk memahami dan menangani tantangan lingkungan yang kompleks saat ini.
Selain pemantik utama, acara ini juga dihadiri para penanggap, yang mewakili tiga wilayah sektor yakni sektor publik, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Beberapa di antaranya adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, Wakil Ketua Umum Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) M. Yana Aditya, dan dari PT. Globalindo Mineraltama Mandiri Visna Vulovic.
Maarif Institute berharap, program ini mampu membuka perspektif baru, memberikan arah dan kesadaran bahwa literasi perjalanan bangsa dan negara perlu dibaca secara terus menerus untuk mencari solusi atas berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan yang berkembang. (#)
Jurnalis Pripih Utomo Penyunting Nely Izzatul