Siapakah yatim itu? Apa kewajiban mukmin terhadap anak yatim? Bagaimana “ganjaran” bagi yang menelantarkan, bahkan memakan harta anak yatim? Bagaimana pula ganjaran bagi yang menyantuni anak yatim?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah karena meninggal dunia. Dalam bentuk tunggal kata yatim disebut sebanyak delapan kali, seperti Al-An’am/6:152, Al-Insan/76:8; Al-Fajr/89:17. Dalam bentuk ganda hanya disebut satu kali yaitu dalam surat Al-Kahfi/18:82. Sedangkan dalam bentuk jamak disebut sebanyak 14 kali seperti Al-Baqarah/2:83; An-Nisa’/4:2; Al-Anfal/8:41.
Banyaknya ayat-ayat yang diturunkan di Makkah yang membicarakan tentang anak yatim, mengisyaratkan bahwa kepedulian terhadap anak yatim sudah dimulai sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Hal ini bisa dilihat dalam surat Al-Isra’/17:34.
Baca juga: Nabi Zakaria dan Keajaiban Itu
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji ….” (baca juga Al-Farj/89:17; Al-Balad/90:14-15; dan Ad-Dhuha/93:6,9).
Setelah Nabi Saw hijrah, Al-Qur’an lebih merinci lagi tentang sikap seorang Muslim terhadap anak yatim, seperti dalam surat Al-Baqarah/2:20 “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: mengurus urusan mereka (anak yatim) secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu.”
Dua Kewajiban
Dengan melihat ayat-ayat tentang anak yatim yang terdapat dalam Al-Qur’an, paling tidak bisa dilihat dua kewajiban seorang Muslim terhadap anak yatim. Pertama, membina moral dan pendidikannya. Allah telah memerintahkan agar mengasihi anak yatim (Adh-Dhuha/93:9) dan berkata kepada mereka (anak yatim) dengan perkataan yang baik (An-Nisa’/4:8).
Berbuat baik kepadanya disebut secara bersama dengan berbuat baik kepada kedua orang tua (Al-Baqarah/2;83). Menghardik anak yatim dikategorikan oleh Allah sebagai pendusta agama (Al-Ma’un/107:1-2).
Baca juga: Tobat Nasional sebelum Azab Meraja-lela
Kedua, menjaga dan mengembangkan hartanya. Jangan dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (Al-An’am/6:152). Jangan mencoba memakan harta mereka dengan cara menukar/menggantinya dengan yang jelek atau dengan mencampurnya dengan harta kita (An-Nisa’/4:2), atau dengan cara menikahi/menikahkan anak-anak yatim perempuan (An-Nisa’/4:3).
Siapa yang diamanahi mengurus harta anak yatim dan dia sendiri dalam keadaan fakir, bolehlah dia memakannya dalam batas-batas yang patut dan jika dia mampu hendaklah menahan diri (dari memakan harta anak yatim).
Serahkanlah harta anak yatim itu jika ia sudah sempurna akalnya dan hadirkanlah saksi-saksi saat penyerahan itu (An-Nisa’/4:6). Lebih dari sekedar menjaga keutuhan harta anak yatim, Allah menghendaki agar harta anak yatim itu dikembangkan dan dari hasil pengembangan (rezeki) itulah kebutuhan sehari-hari anak yatim terpenuhi (An-Nisa’/4:5).
Baca juga: Ukhuwah, antara Persaudaraan Sedarah dan Seakidah
Tidak memuliakan anak yatim adalah kebiasaan orang-orang kafir (Al-Fajr/89:17), menghardiknya termasuk pendusta agama (Al-Ma’un/107:1-2), mereka yang memakan harta anak yatim dengan zalim identik dengan memenuhi perutnya dengan api dan akan menjadi penghuni neraka (An-Nisa’/ 4:10). Sebaliknya kepada pemelihara anak yatim, Rasululah Saw bersabda: “Aku dan pemelihara anak yatim nanti akan sama-sama berada dalam surga seperti ini, sambil mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan antara keduanya (HR Bukhari).
Muhammad Rasulullah Saw merupakan anak yatirn yang mampu mengubah peradaban jahiliah menjadi islamiah. Dan kini, dengan adanya panti-panti yatim, mampukah lembaga ini menghasilkan generasi yatim penerus perjuangan Rasulullah Saw. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni