Ulul albab adalah sosok dengan tiga karakter utama. Berzikir kepada Allah dalam segala aktivitasnya, berpikir tentang alam semesta, dan memahasucikan Allah seraya berdoa agar dijauhkan dari siksa api neraka.
Telaah oleh Mohammad Nurfatoni, Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Babat Lamongan, lulusan Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya, dan aktif mengikuti diskusi di Forum Studi Islam Surabaya.
Tagar.co – “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (Ali Imran 190-191)
Berdasarkan ayat tersebut, ulul albab memiliki tiga ciri utama. Pertama, orang yang senantiasa berzikir kepada Allah dalam segala aktivitasnya yang disimbolkan dengan berzikir sambil berdiri, duduk, dan berbaring.
Banyak sekali anjuran berzikir yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang ringan bacaannya tapi berat dampaknya. Seperti mengucapkan: subhanallah wabihamdihi subhanallahiladzim atau subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahu akbar.
Zikir-zikir ringan seperti itu bisa dilakukan di sela kegiatan atau aktivitas. Ini yang disebut sebagai salah satu ciri ulul albab yakni selalu berzikir mengingat Allah.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Insyirah: Satu Kesulitan Beragam Jalan Keluar
Aktivitas berzikir juga dicontohkan oleh Nabi SAW dengan berbagai bacaan doa. Mau makan ada doanya. Habis makan juga ada doanya. Mau ke toilet ada doanya. Demikian juga keluar dari toilet. Mau tidur dan bangun tidur juga ada doanya, dan sebagainya.
Sambung-menyambung antara zikir lisan, berdoa di setiap aktivitas, salat, dan membaca Al-Qur’an, adalah bagian dari hidup yang tak lepas dari mengingat Allah alias berzikir.
Tapi zikir bukan hanya membasahi lisan dengan kalimat-kalimat tayibah—berdoa, membaca Al-Qur’an, atau membaca Asmaul Husnah—melainkan juga dalam kesadaran, hati dan pikiran, yang selalu mengingat kepada Allah dalam seluruh aktivitas.
Dengan selalu ingat kepada Allah itulah, akan lahir kesadaran selalu dalam pengawasan Allah sehingga membuat seseorang berhati-hati jika berniat melanggar aturan. Saat akan berbuat curang, mau korupsi, mengurangi timbangan, atau lainnya, tidak akan dilakukan karena selalu mengingat Allah.
Bertafakur
Ciri ulul albab yang kedua adalah berpikir (tafakur) tentang penciptaan langit dan bumi alias alam semesta. Al-Qur’an menyatakan alam semesta diciptakan oleh Allah dengan benar (Az-Zumar 5), tidak dengan main-main (Al-Anbiya 16).
Oleh karena itu tidak ada ciptaan Allah yang cacat (Al-Mulk 3-4) atau tidak ada gunanya. Bahkan nyamuk atau makhluk yang lebih kecil dari itu pun mengandung hikmah (Al-Baqarah 26).
Yang juga sangat menakjubkan, alam semesta itu senantiasa tunduk kepada Allah (Ali Imran 83) dan bertasbih kepada-Nya (Al-Isra 44). Seperti burung dengan mengepakkan sayapnya (An-Nur 41) atau guruh dengan gelegar suaranya (Ar-Rad 13).
Keindahan dan keteraturan alam itu terjadi karena Allah telah memberi petunjuk pada alam semesta (Thaha 50) dan memberi ukuran (qadar, kadar) alam semesta ini atau yang biasa disebut sunnatullah. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar 49).
Oleh karena itu alam bersifat pasti. Seperti api itu membakar atau air akan mendidih pada suhu 100 derajat celsius dalam tekanan 1 atmosfir.
Matahari selalu terbit dari timur. Kalau ingin buah mangga ya tanam pohon mangga jangan tanam jambu. Kalau pengin anak ya menikah, dan lain sebagainya.
Sifat alam yang kedua adalah objektif. Contoh masjid dan gereja. Kedua bangunan ini tingginya sama, tapi yang gereja ada penangkal petirnya sedangkan masjid tidak ada. Jika ada petir mana yang akan tersambar?
Maka yang tidak ada alat penangkal yang akan terkena petir. Itulah yang dimaksud dengan keobjektifan alam semesta. Alam semesta akan memberi perlakukan yang sama (objektif) pada manusia, apakah dia Muslim atau kafir.
Baca juga: Hukum Alam dan Kuasa Tuhan
Sifat alam yang ketiga adalah konstan alias tidak berubah. Dari dulu benda di atas akan jatuh ke bawah karena gaya gravitasi bumi.
Dengan sifat-sifat seperti itu sebenarnya alam semesta adalah buku dan laboratorium raksasa tempat dilahirkannya ilmu pengetahuan. Dengan kepastian, keobjektifan, dan kekonstanan alam semesta itulah manusia bisa menemukan ilmu pengetahuan.
Contoh Isaac Newton yang menemukan hukum gravitasi bumi. Bukan berarti sebelum ada penemuan Newton itu, apel tidak jatuh ke bawah. Newton menemukan hukum gravitasi bumi karena keteraturan alam semesta yang hukum-hukumnya telah dikadarkan oleh Allah—yang kemudian menjadi hamparan untuk dipelajari dan diteliti oleh para ilmuan, salah satunya Newton.
Lalu bagaimana dengan pesawat terbang yang tidak jatuh? Apakah tidak berlaku hukum gravitasi bumi? Tidak jatuhnya pesawat itu karena ada hukum alam lain yang berlaku.
Syarat-syarat yang menyebabkan pesawat tidak jatuh karena menggunakan gaya angkat yang lebih besar dibandingkan gaya gravitasi. Ditambah gaya dorong dari mesin pesawat yang membuat pesawat melaju dengan kecepatan tertentu.
Maka, bagi ulul albab, tidak ada yang sia-sia dalam ciptaan Allah. Meminjam Nurcholish Madjid, alam semesta ini telah di-sakhara, ditundukkan, atau dijinakkan oleh manusia.
Seperti dijelaskan surat Ibrahim 31, “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu.”
Dan Dia telah menundukkan (sakhara) bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”
Sebagai khalifah, manusia telah diberi modal berupa alam semesta. Maka tugas manusia memakmurkan ciptaan-Nya itu. Untuk itu manusia harus menggunakan akalnya dalam memahami alam semesta yang telah ditetapkan kadar-kadarnya (ditakdirkan). Dari situlah lahir ilmu pengetahuan.
Puncak Spiritualitas Ulul Albab
Berpikir tentang penciptaan alam semesta seperti yang dilakukan oleh Newton itulah yang disebut sebagai ciri kedua ulul albab. Inilah salah satu yang hilang dari kebanyakan umat Islam. Oleh karena itu perlu memiliki karakter seperti ini: berpikir tentang alam semesta dengan riset atau meneliti, sekecil apapun bidangnya.
Kenapa tidak semua orang ketika melihat apel jatuh memikirkan dan menelitinya? Itulah yang disebut insting. Newton memilikinya. Dalam konteks ciri ulul albab pertama, sebenarnya zikir adalah salah satu metode umat Islam mendapatkan insting atau semacam ilham.
Dengan dekat pada Allah, insyaallah, kita akan mendapatkan sesuatu dari-Nya, termasuk ilmu pengetahuan. Maka sebenarnya potensi umat Islam untuk menemukan ilmu pengetahuan lebih besar karena punya modal zikir dan tafakur (pikir). Hanya keduanya belum diintegrasikan. Kalau tidak jatuh pada ekstrem zikir ya ekstrem pikir.
Baca juga: Mukjizat Bertentangan dengan Hukum Alam?
Lalu bagaimana memadukan dua ciri dengan ciri ketiga ulul albab, yaitu hamba yang tawaduk dan bersyukur kepada Allah. Puncak dari zikir dan tafakur adalah pengakuan tentang kekuasaan Allah yang menciptakan alam semesta ini tidak dengan sia-sia seraya memahasucikan Allah dan berdoa agar dijauhkan dari siksa api neraka.
Dalam khazanah Jawa, itulah yang dimaksud dengan filsafat padi; semakin berisi semakin merunduk. Sosok ulul albab dengan tiga karakter itu akan bermuara pada nilai spiritualitas.
Ilmu fisika, biologi, kimia, matematika, atau ekonomi, semua ujung-ujungnya adalah pada Allah. Itulah integrasi ilmu dengan spiritualitas. Tidak ada pemisahan antara ilmu dan agama alias sekularisme. Sebaliknya ilmu membawa manusia tunduk pada Allah.
Setelah berzikir dan berpikir itulah ulul albab akan menemukan kesejatian hidup. Ternyata semua yang diciptakan Allah tidak sia-sia. Semua mengandung hikmah, pelajaran, dan manfaat. Tidak ada yang muspro.
Maka dalam Al-Mulk 3-4 Allah meyakinkan bahwa tidak ada yang cacat (futur) atau tidak sempurna dalam ciptaan-Nya.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (cacat). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”
Bahkan untuk kembali meyakinkan, Allah mengulang lagi pernyataannya, “Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.”
Menyadari semua ciptaan Allah mengandung hikmah, ulul albab tersungkur di bawah ‘telapak kaki’ Tuhan. Dengan sangat indah Allah menggambarkan itu:
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Surat Ali Imran 191 itu menggambarkan puncak pencarian ulul albab. Setelah menemukan ilmu pengetahuan, dia tidak menyombongkan diri atau menggunakan ilmu pengetahuannya untuk merusak alam semesta. Mereka justru mengakui kemahasucian Allah sambil berdoa agar dijauhkan dari siksa api neraka. (#)