Telaah

Ujub: Racun Halus yang Menghapus Cahaya Ibadah

346
×

Ujub: Racun Halus yang Menghapus Cahaya Ibadah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Ibadah yang mulia bisa berubah jadi sia-sia jika disusupi ujub. Hati-hati dengan rasa bangga diri, karena ia bisa menghapus pahala dan merusak keikhlasan.

Oleh Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tagar.co – Di tengah gemerlap amal dan ibadah, ada satu racun halus yang sering menyelinap tanpa disadari: ujub. Ia bagaikan angin yang memadamkan obor—merusak keikhlasan dan menodai amal yang semula bercahaya. ‘

Ujub menjadikan seseorang merasa bangga atas amalnya, lupa bahwa semua berasal dari taufik Allah.

Baca juga: Kecantikan yang Dirindukan Surga

Ujub berasal dari kata ‘ajaba ya‘jabu yang berarti merasa kagum atau takjub. Dalam istilah syariat, ujub adalah merasa bangga terhadap diri sendiri, menganggap amal yang dilakukan berasal dari kemampuan pribadi, bukan anugerah Allah. Padahal, sejatinya semua kekuatan, kemampuan, dan taufik hanyalah karunia dari-Nya.

Allah ﷻ berfirman:

 فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm: 32)

Baca Juga:  Doa untuk yang Berbeda Iman: Bolehkah Memohon Ampunan setelah Mereka Wafat?

Ayat ini menegur orang yang merasa dirinya bersih dan suci karena amalnya. Hanya Allah yang berhak menilai ketakwaan, bukan manusia—apalagi memuji dirinya sendiri.

Rasulullah ﷺ pun memperingatkan tentang bahaya ujub. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang merasa takjub terhadap dirinya sendiri.” (H.R. Al-Bazzar, sanad hasan)

Ujub tidak hanya membinasakan pelakunya secara batiniah, tetapi juga menghapus pahala amal yang dilakukan. Ibadah yang semula bisa menjadi cahaya di hari kiamat, berubah menjadi debu yang beterbangan karena dirusak oleh rasa bangga diri.

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara penyakit hati yang mematikan adalah ujub. Ia menghalangi pelakunya dari memperbaiki amal karena merasa sudah cukup dengan apa yang telah dikerjakan. Padahal, amal itu tidak bernilai tanpa keikhlasan.”

Ujub sangat tipis batasnya. Seorang yang rajin salat tahajud bisa terjangkiti ujub ketika mulai merasa lebih mulia daripada orang lain. Seorang yang gemar bersedekah bisa terjangkiti ujub ketika merasa paling dermawan. Padahal, Allah-lah yang menggerakkan hatinya, memberi rezeki, dan membimbingnya untuk memberi.

Baca Juga:  Ketika Sabar Menjadi Jalan Menuju Allah

Ingatlah, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam—meskipun telah membangun Ka’bah dan menjalankan perintah Allah dengan sempurna—tetap berdoa:

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 127)

Padahal yang berdoa adalah seorang nabi, seorang kekasih Allah. Ia tidak merasa bangga, apalagi sombong. Justru ia khawatir amalnya tidak diterima. Itulah sikap rendah hati yang harus kita teladani.

Ibnul Jauzi rahimahullah menasihati, “Janganlah engkau merasa takjub dengan amalmu, karena engkau tidak tahu apakah amal itu diterima atau ditolak.” Bahkan orang-orang saleh terdahulu menangis setelah beramal—bukan karena lelah, melainkan karena takut amal mereka tidak diterima.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan ciri orang mukmin sejati:

 وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, karena mereka tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Al-Mu’minun: 60)

Imam Al-Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, namun tetap takut amal mereka tidak diterima oleh Allah.” Maka, ujub adalah lawan dari sifat ini: rasa takut, harap, dan rendah hati.

Baca Juga:  Masa Lalu Bukan Penjara: Petik Hikmah, Bangkit Lebih Bijak

Bagaimana cara menghindari ujub?

  • Selalu mengingat bahwa semua amal adalah karunia Allah.

  • Memperbanyak istigfar dan doa agar amal diterima.

  • Menyembunyikan amal dari pujian manusia.

  • Bergaul dengan orang-orang rendah hati dan zuhud.

  • Mengoreksi diri dan mengingat dosa-dosa masa lalu.

Akhirnya, ingatlah nasihat para ulama: “Barang siapa yang melihat amalnya sebagai pemberian Allah, maka ia akan bersyukur dan rendah hati. Tapi barang siapa yang melihat amalnya sebagai hasil usahanya sendiri, maka ia akan ujub dan binasa.”

Semoga Allah menjaga kita dari penyakit ujub, dan menerima amal-amal kita dengan kasih sayang-Nya. Āmīn. (#)

Penyunting Dwi ta