Tidak ada yang abadi di dunia adalah ungkapan yang sangat populer, terutama di panggung politik. Kawan bisa jadi lawan dan sebaliknya, lawan bisa jadi kawan. Oleh sebab itu, dalam menghadapi dinamika perilaku manusia, gunakan falsafah ‘lima ojo’.
Oleh dr. Mohamad Isa, tinggal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Tagar.co – Kalimat ’tidak ada yang abadi di dunia’ tidak asing bagi kita. Bahkan, semua orang paham dengan maknanya. Selanjutnya, selalu menarik jika kalimat itu dihubungkan dengan dunia nyata yang kita hadapi. Misal, dengan kenyataan yang berhubungan dengan dunia politik.
Dunia politik yang penuh dinamika, menyebabkan sering berganti-ganti posisi dari pertemanan menjadi permusuhan atau sebaliknya. Suatu saat seseorang mengidolakan para pemimpin/partainya. Lalu, di waktu yang lain bisa menghujat dan membenci pemimpin/partainya.
Baca juga: Anies Baswedan Ditinggal karena Tak Sefrekuensi dengan Presiden?
Dahulu teman seperjuangan, akhirnya bisa jadi musuh yang harus dihadapi untuk diterkam, dihabisi. Sebaliknya, dulunya musuh sekarang jadi teman seiring sejalan. Inilah dunia politik, “Tidak ada teman atau musuh abadi dan yang ada kepentingan abadi”.
Kepentingan partai atau golongan dan kepentingaan pribadi bisa mengubah segalanya. Ada cerita, tentang pendiri partai yang kemudian bisa terhempas menjadi ‘orang lain’ di partai yang didirikannya. Itulah, di partai bisa berputar dan bisa berubah haluan.
Belajar ke Virus
“Jangan terlalu sayang, nanti bisa terbuang. Jangan terlalu benci nanti dicari”. “Tidak ada yang abadi di dunia ini”. Apa ini wajar?
Menurut saya, ini dalam batas wajar. Hal ini, karena pada hakikatnya makhluk di dunia selalu melakukan perubahan (mutasi) untuk mempertahankan kehidupannya (survival game).
Baca juga: Rawon Jakarta Diborong 12 Parpol, Anies Kehabisan Jatah
Virus yang sangat kecil, akan melakukan mutasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Virus Corona bermutasi menjadi virus Covid-19 untuk mempertahankan hidupnya di tempat yang baru (host) agar virus bisa hidup.
Manusia juga secara naluri (sunatulah) akan berbuat untuk bisa bertahan hidup. Maka manusia akan bermutasi (pindah) dan beradaptasi. Kalau manusia tidak bisa berubah dan beradaptasi maka manusia tersebut akan kalah dan punah. Jadi, “Tidak ada yang abadi”.
Lima ”Ojo”
Oleh sebab itu, dalam menghadapi dinamika makhluk di dunia, khususnya perilaku manusia, ada beberapa falsafah hidup yang perlu diresapi:
Ojo gumunan. Artinya, menjadi orang jangan mudah terkagum- kagum atau takjub pada sesuatu termasuk kepada orang, kelompok, atau partai. Sikap ini harus diresapi supaya tidak mudah terpesona. Jangan-jangan yang memesona, bisa jadi bumerang. Cukup dihormati sesuai dengan proporsinya.
Ojo getunan. Artinya, jangan mudah kecewa. Hidup selalu ada bayangan kekecewaan. Peristiwa satu berganti ke peristiwa lain selalu ada nuansa kekecewaan. Kita harus menghadapi bila ada kekecewaan. Kecewa tidak bisa dipelihara, karena manusia pada hakikatnya ingin berubah.
Baca juga: Jelang Lengser Presiden Jokowi Rombak Kabinet yang Ke-13 Kali
Ojo kagetan. Artinya, jangan mudah kaget/panik. Sesuatu yang baru kadang-kadang membuat terkagum-kagum karena perilakunya. Jangan mudah terkaget atau kagum karena suatu saat bisa berubah. Biasa saja menghadap yang baru, dengan emosi tetap terjaga.
Ojo aleman. Artinya, jangan minta dipuji atau dimanja. Kalau tak dipuji menjadi malas. Sedikit-sedikit minta dipuji.
Ojo dumeh. Artinya, jangan mentang-mentang. Mentang-mentang kaya, ganteng, berkuasa, atau pintar.
Semua ada masanya dan itu bisa berubah. Setiap masa ada waktunya, setiap saat ada pemimpinnya atau pemiliknya.
Dunia ini panggung sandiwara. Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali Allah, dengan 99 sifat Asmaul Husna. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni