
Ternate dan Morotai menawarkan perpaduan keindahan alam dan sejarah. Dari Gunung Gamalama hingga Pulau Dodola, jejak perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II dan pangkalan Sekutu di Perang Dunia II menambah daya tariknya. Sebuah perjalanan penuh makna!
Ternate dan Morotai: Pesona Alam, Sejarah, dan Jejak Perjuangan; Oleh Prima Naomi, dosen, tinggal di Bekasi Jawa Barat
Tagar.co – Sejak mengenal daerah terluar di Indonesia melalui penugasan penelitian Kemenperin pada tahun 2014, selalu ada keinginan untuk pergi ke daerah lain yang belum begitu dikenal dalam arus utama pariwisata. Saya yakin tempat-tempat itu pasti menyimpan keindahan yang luar biasa serta memberikan sudut pandang baru tentang negeri ini.
Untuk mewujudkannya, saya selalu mencari cara untuk memperoleh pendanaan riset atau kesempatan menjadi pembicara di daerah-daerah tersebut. Kali ini, perjalanan membawa saya ke Provinsi Maluku Utara, dengan Pulau Morotai sebagai tujuan utama. Namun, ke Maluku Utara rasanya belum lengkap jika tidak singgah di Ternate. Ada motivasi tersembunyi dalam pilihan ini yang akan saya ceritakan nanti.
Pulau Ternate: Gunung Gamalama dan Lukisan Alam
Pulau Ternate didominasi oleh Gunung Gamalama, gunung berapi kerucut yang masih aktif. Kota Ternate terletak di kaki bagian timur gunung, membentang hingga pantai. Kami berkeliling pulau dengan kendaraan bermotor menyusuri jalan beraspal sepanjang sekitar 54,04 km di pesisir.
Baca juga: Wisata Taman Langit di Bukit Bengkaung NTB: Keindahan Malam yang Memukau
Danau Tolire Kecil dan Danau Tolire Besar
Dua danau ini hanya berjarak sekitar 200–300 meter, tetapi jika mengikuti jalur jalan, jaraknya menjadi sekitar 900 meter. Legenda tentang asal-usul danau ini bisa ditemukan di berbagai sumber, tetapi saya lebih tertarik pada penjelasan ilmiah yang menyebut bahwa keduanya terbentuk akibat letusan freatik.
Pemandangannya? Masyaallah, sungguh indah tak terlukiskan dengan kata-kata. Air danau berwarna hijau, dikelilingi tanaman rimbun dengan latar belakang Gunung Gamalama yang kebiruan, serta langit cerah tanpa polusi. Perpaduan warna hijau, biru laut, dan langit menciptakan harmoni sempurna.
Di sisi utara, terdapat tebing yang langsung menghadap laut. Menikmati pisang goreng dan kelapa muda sambil duduk di sini sungguh pengalaman yang luar biasa. Konon, Danau Tolire Besar dihuni berbagai jenis ikan, bahkan ada cerita tentang keberadaan buaya putih, sehingga warga setempat tidak berani menangkap ikan atau mandi di danau ini.
Danau Laguna Fitu Puncak dan Pulau Maitara
Salah satu tempat terbaik untuk menikmati panorama dari ketinggian adalah Danau Ngade atau Danau Laguna Fitu Puncak. Dari sini, kita bisa melihat Pulau Maitara, pulau yang gambarnya diabadikan dalam uang kertas Rp1.000,00. Di belakangnya, tampak Pulau Tidore, yang pada masa lalu menjadi batas antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Pemandangan yang sungguh memukau.
Ziarah ke Makam Sultan Mahmud Badaruddin II
Inilah alasan tersembunyi perjalanan saya ke Ternate: berziarah ke makam Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II). Saya adalah keturunan kelima dari beliau. Dalam keluarga ayah saya, kisah perjuangan SMB II sangat akrab di telinga kami. SMB II, Sultan Palembang Darussalam, memimpin perlawanan terhadap Inggris dan Belanda hingga akhirnya diasingkan pada tahun 1821. Beliau wafat di Ternate pada tahun 1852 dan dimakamkan di sini. Bisa mengunjungi makam leluhur saya adalah pengalaman yang sangat berharga.

Pulau Morotai: Mutiara di Bibir Pasifik
Dari Ternate, kami terbang menuju Pulau Morotai, pulau paling utara di Maluku Utara. Penerbangan memakan waktu sekitar 1 jam. Morotai terdiri atas 33 pulau kecil dan berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik. Pulau ini memiliki pantai-pantai cantik yang masih alami.
Pulau Zum Zum: Jejak Jenderal MacArthur
Kami menyewa speed boat untuk menyeberang dari Pelabuhan Morotai ke Pulau Zum Zum, yang berjarak sekitar 20 menit perjalanan. Di pantainya berdiri Patung Douglas MacArthur, mengingatkan bahwa pulau ini menjadi markas Pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II.
Jenderal Douglas MacArthur adalah komandan Pasukan Sekutu Wilayah Pasifik Barat Daya yang terkenal dengan strateginya, Leap Frogging, dan semboyannya, “I Shall Return”. Pada tahun 1944, ia merebut Morotai dari Jepang untuk dijadikan basis serangan ke Filipina.
Pantai Pulau Zum Zum memiliki pasir putih dan air yang sangat jernih. Setelah puas menikmati keindahannya, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Dodola.
Pulau Dodola: Mutiara Tersembunyi
Pulau Dodola terdiri atas Dodola Besar dan Dodola Kecil, yang terpisah saat air laut pasang tetapi menyatu saat surut. Tempat ini sungguh tenang, jauh dari hiruk-pikuk, dengan hamparan pasir putih, air sebening kristal, serta langit biru yang membentang di atas laut.
Tidak ada penghuni tetap di sini, tetapi tersedia cottage untuk turis. Wisatawan bisa berenang, snorkeling, memancing, atau sekadar menikmati keheningan alam. Ketika matahari terbenam, suasananya menjadi sangat romantis. Hanya saja, banyak nyamuk, jadi jangan lupa membawa losion antinyamuk!
Morotai dan Rekaman Sejarah Perang Dunia II
Selain keindahan alamnya, Morotai juga menyimpan rekaman sejarah penting. Pada 15 September 1944, Jenderal MacArthur mendarat di barat daya Pulau Morotai bersama 50.000 personel Sekutu untuk merebutnya dari Jepang. Dalam waktu singkat, pulau ini berubah menjadi pangkalan militer besar dengan rumah sakit, lapangan terbang, dan pangkalan laut.
Untuk mengenang peristiwa ini, dibangun Museum Perang Dunia II dengan tema “Gempuran Kekuatan 100 Kali Lipat”. Museum ini menyimpan berbagai artefak perang, termasuk pesawat dan peralatan tempur.
Selain itu, terdapat situs Air Kaca, sebuah ceruk gua yang menjadi sumber air bersih bagi pasukan Sekutu. Di beberapa titik, terdapat pajangan berupa kutipan dan pesan kenangan dari tentara Sekutu yang pernah berjuang di sini.
Tak hanya itu, Morotai juga memiliki Museum Trikora, karena pulau ini menjadi basis kekuatan Tentara Indonesia dalam Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Museum ini menyimpan berbagai artefak militer, termasuk tank amfibi LVT-2.
Perjalanan ke Ternate dan Morotai mengingatkan saya pada kutipan terkenal: “One’s destination is never a place, but a new way of seeing things.” Tujuan seseorang bukan sekadar tempat, melainkan cara baru dalam memandang dunia. (#)
Bekasi, 10 Februari 2025
Penyunting Mohammad Nurfatoni