Mengenyam studi di kedokteran hewan, tidak menyurutkan dia untuk bersastra. Jiwa nasionalismenya terus terasah saat menggoreskan penanya lewat puisi-puisi demonstrasi dalam aksinya di demo mahasiswa pada 1966.
Tagar.co – Taufiq Ismail adalah seorang penyair dan sastrawan Indonesia. Beberapa karya puisinya yang terkenal bertajuk Kembalikan Indonesia Padaku (1981) dan Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini (1966).
Dia lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Dibesarkan di Pekalongan, putra dari pasangan A. Gaffar Ismail asal Banuhampu, Agam, dan ibunya bernama Sitti Nur Muhammad Nur yang berasal dari Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat ini menjadi tokoh sastrawan Angkatan ’66
Taufiq merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, adiknya bernama Ida Ismail dan Rahmat Ismail. Dia mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar (SD) di Solo dan menyelesaikannya di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta pada 1948.
Setelah itu, dia melanjutkan sekolahnya di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Bukittinggi dan lulus pada 1952. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bogor, Jawa Barat, di SMA Negeri Pekalongan tahun 1956.
Taufiq Ismail sempat mengikuti pertukaran pelajar di White First Bay High School, Milwakee, Wisconsin, Amerika Serikat tahun 1957. Setelah tamat SMA, Taufiq Ismail mengambil pendidikan perguruan tinggi di Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, sejak 1957 hingga 1963.
Baca juga: Chairil Anwar dan Nasionalisme
Dia juga menempuh pendidikan nongelar, seperti di School of Letters International Writing Program, University of Lowa, tahun 1971-1972 dan tahun 1991-1992. Pada 1993, Taufiq Ismail belajar di Mesir pada Faculty of Language and Literature America University in Cairo.
Kiprah karier sewaktu kuliah, Taufiq Ismail pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Manajemen Peternakan pada 1961 hingga 1964. Namun, ia dipecat karena ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan.
Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang mengusung humanisme-universal dibentuk sekitar pada 1963. Kemudian, sejak 1961 hingga 1963, Taufiq Ismail menjadi Ketua II Dewan Mahasiswa, Universitas Indonesia.
Pengalaman organisasi yang dimiliki Taufiq ini mendorongnya untuk terus berkiprah dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Dia juga turut mendirikan Dewan Kesenian Jakarta dan pernah menjadi sekretaris dewan tersebut pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an.
Baca juga: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Peraih Penghargaan Sayembara Novel DKJ
Meskipun mengambil studi kedokteran hewan, pada kenyataannya Taufiq Ismail lebih banyak berkiprah di bidang media, di mana dia menjadi wartawan.
Pada 1966, bersama-sama dengan Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arif Budiman, Taufiq Ismail mendirikan sastra bulanan yang bernama Horison.
Sejak mendirikan Horison, Taufiq Ismail banyak berkarier sebagai penyair. Kiprah penyairnya dimulai ketika dia menulis puisi-puisi demonstrasi yang terkumpul dalam Majalah Tirani dan Benteng 1966.
Dia dikenal sebagai penyair partisan dalam aksi demonstrasi mahasiswa pada 1966 dan menjadi wartawan di Harian Kami. Pada 1970, terbit berbagai kumpulan Puisi-puisi Sepi yang kemudian disusul dengan terbitnya buku tamu Musim Perjuangan pada 1972.
Taufiq Ismail juga menulis beberapa puisi anak dan menghasilkan buku kumpulan puisi yang bertajuk Kenalkan Saya Hewan yang terbit tahun 1973. Pada masa orde baru, tema puisi yang dibuat Taufiq Ismail pun bergeser.
Baca juga: Puisi Bertema Kemerdekaan
Dia lebih banyak menulis puisi tentang situasi di era itu yang diberi judul Malu Aku Jadi Orang Indonesia tahun 1998, diterbitkan Yayasan Ananda.
Taufiq Ismail kemudian melanjutkan puisi-puisinya yang bertajuk Tirani dan Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, dan sebagainya. Sejak 1970, Taufiq sudah sering membacakan puisinya di depan umum, bahkan hingga ke luar negeri. Dia membacakan puisi ciptaannya di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika.
Jerih payahnya dalam dunia sastra telah membuat Taufiq Ismail meraih sejumlah penghargaan, yaitu:
- Anugerah Seni (1970)
- Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
- South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
- Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni