
Di Lodji Londo, pasien hipertensi dan diabetes belajar tangani Carpal Tunnel Syndrome melalui pijat refleksi, senam ringan, dan edukasi medis dari dr. Yetty Rohaety.
Tagar.co — Suasana hangat terasa menyelimuti Lodji Londo, sebuah rumah bergaya kolonial yang kini menjadi pusat kegiatan warga di Kelurahan Bergas Lor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Sabtu, 5 Juli 2025, tempat ini berubah menjadi ruang belajar kesehatan yang hidup, di mana sebanyak 40 pasien diabetes dan hipertensi berkumpul untuk mengikuti edukasi kesehatan bersama dr. Yetty Rohaety.
Hari itu, mereka tak hanya duduk menyimak materi tentang Carpal Tunnel Syndrome (CTS), tapi juga aktif mempraktikkan pijat refleksi dan senam ringan untuk meredakan keluhan nyeri.
Baca juga: dr. Yetty Rohaety, Merawat Pasien Kronis dengan Sentuhan Kemanusiaan
Kegiatan ini merupakan bagian dari Prolanis—Program Pengelolaan Penyakit Kronis—yang secara rutin digelar untuk meningkatkan kesadaran pasien tentang pentingnya perawatan mandiri, khususnya bagi mereka yang hidup dengan penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes.
CTS, papar dr. Yetty, kerap terjadi pada pasien hipertensi. Sayangnya, gejalanya sering diabaikan. Padahal, kondisi ini disebabkan oleh penekanan saraf medianus di pergelangan tangan, yang bila dibiarkan bisa menyebabkan nyeri, kesemutan, bahkan kelemahan saat menggenggam.
Dengan gaya penyampaian yang ramah dan mudah dipahami, dr. Yetty menekankan pentingnya pemilihan obat yang tepat, terutama bagi pasien dengan riwayat hipertensi dan gastritis.
Ia menyarankan penggunaan parasetamol (acetaminophen) sebagai pereda nyeri utama karena relatif aman untuk tekanan darah dan lambung. Obat oles seperti Voltaren Gel atau krim capsaicin juga menjadi pilihan yang baik karena minim efek samping sistemik.
Tak hanya itu, dr. Yetty juga menganjurkan konsumsi vitamin B kompleks—B1, B6, dan B12—seperti Neurobion atau Becom-Zet untuk membantu menjaga kesehatan saraf.
Ia mengingatkan agar pasien berhati-hati menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) seperti ibuprofen atau asam mefenamat tanpa pengawasan dokter. Obat jenis ini, meski umum digunakan, bisa meningkatkan tekanan darah dan mengiritasi lambung.
Selain terapi medis, peserta juga diajak memahami pentingnya perawatan non-obat. Penggunaan splint pergelangan saat tidur, membatasi aktivitas berulang seperti mengetik atau mengangkat beban, hingga latihan peregangan saraf medianus menjadi bagian dari strategi penanganan CTS yang disarankan. Jika nyeri menetap, fisioterapi dan akupunktur bisa menjadi pilihan lanjutan.

Yang menarik, dalam sesi praktik, peserta belajar teknik pijat refleksi pada area tangan hingga punggung. Sentuhan sederhana ini, jelas dr. Yetty, dapat memperlancar sirkulasi darah, mengurangi ketegangan otot, dan membantu pemulihan saraf yang terjepit.
Suasana menjadi lebih cair ketika peserta saling membantu mempraktikkan pijatan yang nantinya bisa mereka lakukan secara mandiri di rumah.
Dalam sesi berikutnya, dr. Yetty menjelaskan pula tentang gejala-gejala yang perlu diwaspadai. Nyeri yang tak kunjung membaik dalam dua minggu, kelemahan pada jari, atau mati rasa terus-menerus adalah tanda bahwa pasien perlu segera berkonsultasi dengan dokter.
Pemeriksaan lanjutan seperti elektromiografi (EMG) mungkin diperlukan untuk memastikan diagnosis.
Setelah sesi edukasi yang berlangsung hangat dan interaktif, acara ditutup dengan senam refleksi bersama. Gerakan-gerakan ringan namun bermanfaat itu tidak hanya membantu meredakan nyeri dan meningkatkan kebugaran, tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan di antara para peserta.
Hari itu, bukan hanya informasi yang mereka bawa pulang. Ada semangat baru untuk merawat diri, harapan akan kualitas hidup yang lebih baik, dan keyakinan bahwa dengan pengetahuan yang tepat, penyakit kronis bukan akhir dari segalanya. (#)
Jurnalis Dwi Taufan Hidayat Penyunting Mohammad Nurfatoni