Telaah

Surat Al-Ikhlas, Jawaban untuk Kaum Musyrikin

212
×

Surat Al-Ikhlas, Jawaban untuk Kaum Musyrikin

Sebarkan artikel ini
Surat Al-Ikhlas menghapuskan gambaran tuhan-tuhan ciptaan manusia untuk kembali kepada Tuhan yang sebenarnya.
Surat Al-Ikhlas

Surat Al-Ikhlas menghapuskan gambaran tuhan-tuhan ciptaan manusia untuk kembali kepada Tuhan yang sebenarnya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١

ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ٣

وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ ٤

Tagar.co– Surat Al-Ikhlas surat ke-112 dalam Al-Quran. Terdiri empat ayat. Masuk golongan surat Makiyyah.

Ada beberapa versi latar belakang turunnya surat ini. Kitab Lubabun Nuqul fi Asbabinnuzul karya Jalaluddin as-Suyuthi menceritakan dalam satu riwayat disampaikan bahwa kaum musyrikin meminta penjelasan Nabi Muhammad tentang sifat-sifat Allah. Lalu turunlah surat ini.

Riwayat lain menyampaikan, kaum Yahudi menghadap Nabi Muhammad di antaranya Ka’bubnul Asyraf dan Huyai bin Akhtab. Keduanya berkata,”Hai Muhammad, lukiskan sifat-sifat Tuhan yang mengutusmu.” Maka datanglah Jibril menyampaikan wahyu surat ini.

Isi surat Al-Ikhlas, Allah mengenalkan diri kepada makhluknya dengan sifat-sifatnya yang ahad atau zat tunggal yang menciptakan dan berkuasa atas seluruh alam semesta.

KH Sachroji Bisri pengasuh Pesantren Hafiz Al-Quran Serang, Banten, menjelaskan tafsir surat Al-Ikhlas, sebenarnya manusia sudah mengenal zat Allah dan sifat-sifatnya. Tetapi dalam perkembangan sejarah manusia tidak hanya Allah saja yang disembah.

Baca Juga:  Surat Al-Lahab, Sindiran untuk Penghasut dan Usil

Manusia, sambung dia, malah menciptakan berhala-berhala yang katanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia memahami Allah menurut persangkaannya sendiri yang menjadikan tersesat. Mereka menolak mengikuti cara para nabi karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.

Ahad itu lambang zat Allah. Maka maknailah lambang itu sesuai dengan yang diajarkan nabi. Tapi ada yang memaknai lain lambang itu yang tidak sesuai dengan nabi sehingga perlu diluruskan.

Dia mencontohkan, orang Quraisy sudah mengenal Allah sebagai Tuhan. Namun untuk sampai kepada Allah menurut mereka perlu perantara berhala-berhala. Nabi Muhammad datang untuk mengembalikan lambang Ahad namun masyarakat menolak dan melawan Nabi karena sudah telanjur mapan dengan pemahaman syirik yang turun temurun itu.

Sila pertama Pancasila, semula itu lambang Ahad sebab Ketuhanan Yang Mahaesa awalnya menurut konsep Islam. Tapi pemaknaan itu sekarang bisa berubah ketika ditafsiri oleh selain Islam.

Dalam tafsir kenegaraan maka ajaran trinitas, paham trimurti, dan kepercayaan tahayul kepada danyang dimasukkan dalam pemaknaan Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian makna Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila itu menjadi kabur. Pemaknaannya tidak khusus lagi tapi menjadi umum asal percaya ketuhanan saja.

Baca Juga:  Surat Al-Kafirun, Tiada Kompromi dengan Tradisi Syirik

Wahdatul Wujud

Pemaknaan lambang Ahad yang berbelok dari asalnya, contohnya lagi adalah ajaran tasawuf dari Ibnu Arabi yang populer disebut wahdatul wujud. Ibnu Arabi, ujar dia, tidak pernah menamakan ajarannya dengan wahdatul wujud. Tapi para pengikutnya yang belakangan memberikan nama itu sebagai akibat pemahaman yang melenceng dari pemikiran Sang Guru.

Menurut pemikiran Ibnu Arabi, zat Allah yang tunggal itu dapat dikenali eksistensi dan sifat-sifatnya dari alam semesta. Konsep ini populer disebut tajalli atau menampakkan. Alam semesta yang besar, agung, memberikan rahmat, hidup, dan lainnya mewakili sifat-sifat Allah seperti akbar, adhim, rahman, rahim, hayat dan seterusnya.

Manusia adalah penciptaan Allah paling sempurna karena selain jasad dan nafs (jiwa) dalam diri manusia juga ada ruh yakni potensi akal budi yang membuat manusia bisa berpikir. Manusia juga punya fuad yakni hati nurani. Karena kelengkapan penciptaan inilah manusia disebut insan kamil alias manusia sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia ini dipahami sebagai tajalli  dari Allah.

”Pemikiran inilah kemudian dipahami bahwa alam semesta atau manusia itu merupakan perwujudan dari Allah.  Alam semesta adalah cermin Allah. Alam adalah makrokosmos dan Allah mikrokosmos yang sebenarnya adalah satu kesatuan,” tuturnya.

Baca Juga:  Nabi Musa Ingin Melihat Tuhan

Pemahaman ini di Jawa dikenal dengan ajaran Syeikh Siti Jenar yang menganggap dalam dirinya ada Tuhan sehingga tidak perlu menjalankan syariat. (#)

Penyunting Sugeng Purwanto