Strategi dan intervensi terkini untuk anak dengan autisme disampaikan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Suharsiwi, M.Pd., dalam UMM Autism Summit 2024.
Tagar.co – Pukul 13.20 WIB, 5 menit menjelang kelas sesi 2 dibuka, para peserta berjubel di depan Ruang 403 lantai 4 Gedung Kuliah Bersama (GKB) UMM. Mereka mayoritas dari kalangan guru.
Sementara itu, di dalam kelas tersebut, Dr. Suharsiwi, M.Pd. masih mengisi workshop sesi pertama. Yakni membahas Kesiapan Sekolah untuk Anak Autis: Strategi Multidisiplin untuk Mencapai Kesuksesan Akademik.
Kelasnya sebagai bagian dari UMM Autism Summit 2024 itu memang sangat diminati. Banyak peserta dari kalangan guru antusias menyimak materinya. Bahkan mereka rela berdiri mengantre dan menunggu di depan pintu hingga tepat pukul 13.25 WIB pintu dibuka.
Baca juga: UMM Autism Summit 2024 Libatkan Banyak Pihak
Workshop yang diselenggarakan Fakultas Psikologi UMM ini diselenggarakan berbarengan pada empat kelas berbeda. Tentunya dengan narasumber dan tema yang berbeda. Peserta bebas memilih kelas yang diminati.
Pada sesi kedua, Dosen Pendidikan Guru FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta itu menerangkan Inovasi dalam Pendidikan Inklusif: Strategi dan Intervensi Terkini untuk Autisme. “Topik yang relevan dalam dunia pendidikan saat ini fokus pada peningkatan akses dan kualitas pembelajaran bagi anak-anak dengan autisme,” terangnya.
Pendidikan inklusif, lanjut Suharsiwi, menekankan pentingnya menyertakan anak-anak dengan kebutuhan khusus dalam lingkungan belajar yang sama dengan anak lainnya. “Tapi, pakai dukungan dan strategi yang sesuai,” imbuhnya.
Inovasi Aplikasi
Suharsiwi kini mengembangkan aplikasi Mari Tirukan Aku Pintar. Kata wanita yang telah menempuh S3 Teknologi Pendidikan Konsentrasi PAUD Universitas Negeri Jakarta ini, pada aplikasi tersebut ada fitur pemeriksaan pintar.
Jadi guru bisa mendeteksi anak, apakah mengalami hambatan di antaranya dalam aspek komunikasi dan kemandirian. Misal, anak tidak suka lembek atau merasa gatal kalau terkena benda dengan tekstur tertentu.
“Aplikasi ini untuk pendamping, guru, orangtua, atau kader posyandu,” ujar ibu dari anak dengan autisme yang pernah menjabat Kepala TK itu.
Di era serba teknologi ini, Suharsiwi menyarankan untuk menggunakan teknologi yang ada. “Anak sekarang suka dengan teknologi karena terbiasa berinteraksi dengan teknologi,” ujarnya.
Dalam paparan materinya yang ia sampaikan melalui power point yang tampil di layar proyektor, menggunakan teknologi menjadi salah satu inovasi paling signifikan dalam mendukung anak dengan autisme. Karena itu, ia menyarankan untuk menjajal virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).
Baca juga: Pengalaman Dosen Singapura Mengajari Anaknya yang Autis Bisa Membaca, Ini Resepnya
“Teknologi VR dan AR digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial dalam lingkungan yang dikendalikan. Misal, simulasi interaksi sosial di dunia virtual yang membantu anak dengan autisme berlatih komunikasi tanpa tekanan dari dunia nyata,” paparnya.
Suharsiwi juga menyarankan menggunakan aplikasi pembelajaran adaptif menggunakan aplikasi Proloquo2go untuk komunikasi augmentatif. Selain itu, katanya, bisa menggunakan Endless Reader. Aplikasi ini untuk meningkatkan kemampuan literasi anak, menyediakan konten yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak dengan autisme.
“Mengajarkan perilaku dan keterampilan komunikasi harus melalui latihan, belajar. Tidak ada obat yang bisa membuat anak cepat bicara,” ungkap lulusan S2 PAUD Universitas Negeri Jakarta itu.
Media Visual
Inovasi terkini dalam mengembangkan keterampilan sosial dan emosional bagi anak dengan autisme melibatkan program social stories dan video modelling. Social stories adalah narasi pendek yang membantu anak memahami dan mempersiapkan diri untuk situasi sosial.
Video modelling, di sisi lain, menggunakan video yang menunjukkan orang lain melalui suatu tugas atau berperilaku dengan cara tertentu yang harapannya diikuti anak dengan autisme.
Di hadapan 60 peserta, Suharsiwi mengungkap, “Kita bisa mengajarkan berbagai model membaca dan menulis dengan visual. Karena anak perkembangannya pada tahap konkrit. Jadi harus ada yang bisa dilihat atau diraba.”
Ia pun mencontohkan media pembelajaran Autism Children Teaching Model disingkat Actme. Yakni berupa video bagaimana bersalaman.
“Guru bisa membuat video. Anak ada yang kurang bisa memahami makna kata. Misal, bersalaman itu bagaimana, kapan, dengan siapa, dalam situasi apa saja,” jelasnya.
Ada contohnya sehingga anak tahu apa itu bersalaman. “Kita lakukan saat berpamitan kepada orangtua saat mau pergi ke sekolah atau mau mengucapkan selamat ke teman yang berulang tahun. Sajikan videonya,” tuturnya.
Berawal dari mengetahui, anak akan bisa melakukan. “Pertama, knowing the rule. Tahu apa itu tanggung jawab. Buat kata sederhana. Misal, buang sampah di tempatnya. Kalau tidak melakukan itu, berarti tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Kedua, feeling the rule. Misal, anak memahami harus bersalaman karena senang bisa berteman. Berteman itu menyenangkan karena bisa tertawa bersama dan berbagi jadi perlu bersalaman.
Barulah ketiga, acting the rule. Anak mau melakukan. Meski ini membutuhkan upaya membuat media pembelajaran, tapi Suharsiwi meyakinkan, “Lebih baik susah di awal daripada susah di akhir!”
Berbasis Keluarga dan Permainan
Program melibatkan orang tua dan komunitas dalam pendidikan anak dengan autisme juga inovasi penting. Sekolah memfasilitasi untuk orang tua agar mereka dapat menerapkan strategi pembelajaran di rumah yang sejalan dengan di sekolah.
Kemudian, lulusan S1 FIP IKIP Jakarta itu juga mengungkap play based therapy (intervensi berbasis permainan). “Kita bisa membuat mainan,” ujarnya memotivasi.
Adapun permainan yang bisa membantu yakni lego dan bermain peran. Dari sini, anak bisa belajar bagaimana cara berbagi.
Suharsiwi menyampaikan dirinya pernah membuat mainan boneka bicara untuk menirukan suara. “Mengajarkan anak cara menjawab namanya siapa. Anak biasanya membeo, mengulang pertanyaan,” katanya. (#)
Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni