
Sound horeg, balon udara, dan petasan sering dianggap bagian dari tradisi Lebaran. Namun, benarkah tradisi itu selaras dengan ajaran Islam yang menjunjung keselamatan, ketenangan, dan kepantasan?
Oleh Dr. Aji Damanuri, M.E.I., Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, Ketua Dewan Pengawas Syariah Lazismu Tulungagung.
Tagar.co – Lebaran selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Setelah sebulan penuh berpuasa, umat Islam merayakan hari kemenangan dengan penuh suka cita. Tak hanya dalam bentuk ibadah dan silaturahmi, kebahagiaan ini juga kerap diwujudkan dalam berbagai ekspresi budaya. Namun, tidak semua ekspresi itu membawa kebaikan. Sebagian justru memunculkan kegaduhan, bahkan bahaya.
Baca juga:Cita Rasa Lebaran: Merawat Tradisi lewat Jajanan Nusantara
Tiga fenomena yang marak terjadi khususnya di wilayah Jawa Timur bagian barat adalah suara menggelegar dari sound horrg, balon udara liar yang dilepaskan ke udara, serta dentuman petasan yang tiada henti. Ketiganya hadir seolah sebagai “bumbu” penyemarak suasana Lebaran. Tetapi, apakah memang begitu seharusnya?
Kegembiraan yang Bersuara Bising
Sound horeg—pengeras suara berdaya tinggi yang kerap digunakan dalam takbiran keliling atau hajatan—menjadi simbol kegembiraan. Musik berdentum, suara takbir menggema keras, semuanya dilakukan untuk menunjukkan antusiasme dalam menyambut Idulfitri.
Sayangnya, suara yang menggelegar itu tak selalu diterima sebagai wujud kebahagiaan oleh semua orang. Bagi sebagian masyarakat, terutama lansia, bayi, atau mereka yang sedang sakit, dentuman sound horeg menjadi gangguan serius.
Sudah banyak kasus atap rumah warga roboh atau kaca jendela pecah akibat getaran suara yang terlalu keras. Meskipun kerusakan diganti, tetap saja ini jatuh pada kategori tabdzir—pemborosan yang tidak ada urgensinya.
Ibarat di Cina, ada kafe yang menyediakan piring untuk dibanting sebagai bentuk pelepasan stres. Mungkin seru, tapi tetap masuk kategori mubazir. Bedanya, membanting piring hanya berdampak pada diri sendiri, sedangkan sound horeg merugikan banyak orang, dan tak mudah mengetahui siapa saja yang terdampak.
Maka pertanyaannya, mengapa tidak memilih cara yang lebih beradab untuk mengekspresikan kegembiraan?
Dalam perspektif maqasid syariah, tindakan yang menimbulkan gangguan seperti ini justru bertentangan dengan prinsip utama perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs), harta (hifz al-mal), dan kehormatan (hifz al-‘irdh). Kebahagiaan yang sejati tidak seharusnya mengorbankan ketenangan orang lain.
Balon Udara: Indah tapi Berbahaya
Tradisi menerbangkan balon udara saat Lebaran pun tak lepas dari kontroversi. Balon-balon ini diterbangkan tanpa kendali, tak jarang membawa rangkaian petasan di bawahnya. Sudah terlalu sering kita dengar peristiwa kebakaran akibat balon udara yang jatuh di permukiman. Bahkan, balon yang memasuki jalur penerbangan mengancam keselamatan transportasi udara.
Niat awalnya mungkin baik—ingin menyemarakkan suasana, menciptakan kebersamaan. Namun, ketika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan keselamatan, maka tradisi ini berubah menjadi ancaman.
Maqasid syariah kembali menjadi cermin: jika sebuah tindakan membahayakan jiwa, harta, dan ketenteraman masyarakat, maka ia patut ditinjau ulang, bahkan ditinggalkan.
Petasan: Tradisi Paling Digemari, Paling Berisiko
Petasan mungkin menjadi ikon paling populer selama Ramadan dan Lebaran. Anak-anak menyalakannya dengan penuh semangat, remaja memainkannya sebagai ajang adu keberanian. Tapi di balik keriuhan itu, ada bahaya besar yang mengintai.
Ledakan petasan bisa memicu kebakaran, mencederai pengguna, bahkan menelan korban jiwa. Tak terhitung kasus luka bakar, kehilangan anggota tubuh, atau kerusakan fasilitas umum akibat petasan. Maka, masih pantaskah petasan disebut “hiburan”?
Islam tidak melarang kegembiraan. Tapi Islam juga mengajarkan agar kegembiraan tidak merugikan orang lain. Petasan jelas bertentangan dengan prinsip tersebut.
Mengapa Tradisi Ini Terus Dilestarikan?
Dari perspektif psikologi sosial, ada tiga alasan utama mengapa tradisi seperti sound horreg, balon udara, dan petasan masih lestari:
-
Kebutuhan Identitas Sosial (Tajfel & Turner, 1979)
Aktivitas kolektif ini menciptakan rasa kebersamaan dan identitas kelompok. Mempersiapkan petasan atau membuat balon udara menjadi ajang berkumpul dan bersosialisasi. -
Efek Emosional
Suasana euforia Lebaran mendorong ekspresi yang meledak-ledak. Tradisi ini seolah menjadi pelampiasan setelah menahan diri selama Ramadan. -
Konformitas Sosial
Banyak orang melakukannya hanya karena “semua orang juga begitu”. Bahkan tokoh agama yang menentang, bisa jadi turut menikmati suasana saat petasan diledakkan.
Émile Durkheim dalam sosiologi agama menyebut tradisi semacam ini sebagai bentuk “ritual sekuler” yang melekat pada perayaan religius. Namun, Max Weber mengingatkan bahwa ketika ritual mulai bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka sudah saatnya dilakukan evaluasi.
Solusi: Mencari Tradisi yang Selaras
Daripada terus melanggengkan kebiasaan yang berisiko, mengapa kita tidak mengembangkan ekspresi yang lebih ramah lingkungan, lebih aman, dan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam? Misalnya, dengan menerbangkan balon karet kecil warna-warni bersama anak-anak, atau membuat festival lampion yang dikendalikan secara teknis dan aman.
Maqasid syariah, sebagaimana dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali, menekankan pentingnya perlindungan terhadap lima hal pokok: agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan. Jika suatu tradisi mengganggu kelima hal itu, maka jelas tidak sejalan dengan tujuan syariat.
Al-Qur’an pun tegas: “Dan apabila dia berpaling (dari kamu), dia berusaha membuat kerusakan di muka bumi dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (Al-Baqarah: 205). Nabi Muhammad Saw. juga bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (H.R. Ibnu Majah).
Penutup: Merenungkan Ulang Tradisi
Tradisi bisa menjadi penguat identitas dan sumber kebahagiaan, asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Sound hoeg, balon udara liar, dan petasan bukan sekadar hiburan, melainkan juga cermin dari arah budaya kita.
Lebaran seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan hanya ekspresi. Sudah saatnya kita menimbang kembali tradisi yang kita rayakan. Apakah ia membawa keberkahan, atau sekadar kegembiraan yang membahayakan? (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni