
Di bawah langit senja Ramadan, siswa MI Mutwo belajar arti berbagi dengan membagikan takjil. Lewat tangan mungil mereka, tumbuh nilai kepedulian, keberanian, dan keikhlasan.
Tagar.co – Senja merayap perlahan di langit Desa Campurejo melukis semburat jingga yang berbaur dengan lembayung. Cahaya matahari yang mulai meredup menyapu wajah-wajah kecil yang berseri penuh semangat.
Di tepi jalan desa, deretan anak-anak berdiri rapi dalam balutan busana putih bersih. Mereka adalah murid-murid Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 2 (MI Mutwo), Desa Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur, yang Kamis sore itu (20/3/2025) tengah bersiap membagikan takjil.
Baca juga: Pesantren Kilat MI Mutwo, Tiga Hari Menempa Karakter Siswa
Laki-laki mengenakan sarung yang terlipat rapi, sementara anak-anak perempuan tampak anggun dengan jarik yang membalut tubuh mungil mereka. Di tangan mereka tergenggam bingkisan sederhana: segelas minuman, sepotong kue, dan seulas senyum tulus. Takjil itu bukan sekadar makanan pembatal puasa—di dalamnya tersimpan pelajaran penting tentang makna memberi.
Angin sore berembus lembut, mengibaskan ujung sarung dan kerudung. Mata-mata jernih itu berbinar penuh harap, menanti siapa yang akan menerima kebaikan kecil yang mereka bawa. Lalu, satu per satu, orang-orang datang: seorang bapak tua yang mendorong sepeda tuanya, ibu penjual sayur yang pulang dari pasar, hingga pengendara motor yang berhenti sejenak untuk menyeka peluh.
Dengan langkah kecil tapi penuh keyakinan, anak-anak itu menghampiri dan mengulurkan takjil. “Semoga berkah, Pak… Bu…” ucap mereka lirih, disertai senyum yang hangat.
Tak ada suara gaduh. Hanya lantunan doa pelan dan derap langkah ringan yang mengiringi sore itu. Suasana berubah menjadi khidmat, namun menyentuh. Setiap bingkisan yang berpindah tangan terasa lebih dari cukup untuk menghangatkan hati siapa pun yang menerimanya.
Sesekali, mereka saling berpandangan dan tersenyum kecil, bangga. Di usia mereka yang masih belia, mereka telah mempelajari bahwa berbagi bukan soal banyaknya yang diberikan, melainkan seberapa ikhlas niat yang menyertainya.
Langit semakin gelap. Waktu Magrib hampir tiba. Setelah seluruh takjil habis terbagi, anak-anak pun duduk rapi, menanti waktu berbuka puasa bersama. Takjil sederhana di atas meja kini menjadi penutup dari kegiatan penuh makna.
“Senja ini bukan hanya milik mereka,” ujar Moh Ayub, guru yang mendampingi kegiatan sore itu, “tetapi juga milik siapa pun yang hatinya tersentuh oleh ketulusan mereka.”
Ayub menjelaskan bahwa kegiatan berbagi takjil ini bukan sekadar kegiatan sosial biasa. Ada nilai pembelajaran yang tertanam kuat bagi para siswa:
- Menumbuhkan kepedulian dan empati terhadap sesama, khususnya kepada yang membutuhkan.
- Meningkatkan semangat gotong royong, karena semua siswa terlibat dari proses menyiapkan hingga membagikan takjil.
- Mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan nyata, terutama sunnah memberi makan orang yang berpuasa.
- Memperkenalkan madrasah kepada masyarakat melalui kegiatan yang bermanfaat.
- Melatih keberanian dan rasa percaya diri anak-anak saat berinteraksi langsung dengan warga.
“Semua ini bagian dari upaya kami membentuk karakter Islami, sosial, dan kepemimpinan sejak dini,” tambahnya.
Senja itu, di bawah langit Ramadhan yang syahdu, anak-anak MI Mutwo tak hanya berbagi takjil. Mereka juga membagikan harapan, cinta, dan pelajaran hidup—dengan cara yang paling sederhana, namun paling bermakna. (#)
Jurnalis Nurkhan Penyunting Mohammad Nurfatoni