
Dari Dusun Deles di Lereng Dieng, Prof. Din Syamsuddin menyerukan hijrah peradaban: meninggalkan budaya bobrok seperti korupsi dan kekerasan, menuju budaya mabruk yang menjunjung kejujuran dan keadilan.
Tagar.co — Di atas ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, di antara semilir angin dan perbukitan hijau dekat dataran tinggi Dieng, sekitar 4.000 warga memadati lapangan sepak bola Dusun Deles, Desa Lumajang, Kecamatan Watumalang, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Ahad pagi, 29 Juni 2025 itu, mereka tak sekadar merayakan datangnya Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Ribuan pasang mata tertuju ke panggung utama, menyimak seruan penuh daya dari seorang tokoh nasional: Prof. Dr. M. Din Syamsuddin.
Baca juga: Din Syamsuddin: Pancasila Beririsan dengan Nilai-Nilai Islam
Lapangan tempat pengajian akbar berlangsung tampak semarak. Jemaah dari berbagai usia duduk rapat di atas terpal biru, melindungi diri dari cuaca yang tak menentu di ketinggian dengan payung warna-warni yang menghampar seperti taman bunga.
Panggung utama berdiri kokoh dengan spanduk besar bertuliskan Guyub Rukun dan bendera Merah Putih berkibar di puncaknya. Umbul-umbul dan baliho di sekeliling menambah nuansa kebersamaan.

Di sinilah, Din Syamsuddin mengajak umat Islam dan bangsa Indonesia berhijrah—bukan hanya berpindah waktu, melainkan berpindah sikap dan peradaban: dari budaya bobrok menuju budaya mabruk.
“Umat Islam dan bangsa Indonesia dewasa ini harus berhijrah dari budaya bobrok kepada budaya mabruk,” tegas Din di hadapan jemaah yang khusyuk menyimak meski angin pegunungan terus berembus.
Budaya bobrok, menurutnya, sudah terlalu lama mencengkeram kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menyebut sejumlah penyakit kronis negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, kebohongan, hingga kekerasan dan ketidakadilan.
“Budaya bobrok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terakhir ini yang ditandai oleh perilaku bobrok seperti merajalelanya korupsi, kolusi, kebohongan, ketidakadilan, kekerasan, dan KKK yang lain menciptakan malapetaka nasional yang harus segera diatasi. Kalau tidak, maka Indonesia, seperti pernah disinyalir oleh Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto pada tahun 2018, Indonesia dapat menjadi negara gagal,” ucapnya mengingatkan.

Din juga menyampaikan apresiasi atas inisiatif masyarakat Dusun Deles yang menggelar acara meriah ini. Ia menilai peringatan Tahun Baru Hijriah masih jarang dirayakan dengan gegap gempita, tak seperti tahun baru Masehi atau Imlek.
“Dalam kaitan dengan Peringatan Tahun Baru Hijriah, saya memberi apresiasi kepada masyarakat Dusun Deles yang memprakarsai acara meriah itu, di tengah kelangkaan Peringatan Tahun Baru Hijriyah dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Masehi ataupun Tahun Baru Imlek yang biasanya sangat meriah.”
Karena itu, ia mendorong agar momen pergantian tahun ini tidak berlalu begitu saja, melainkan menjadi titik tolak transformasi rohaniah dan sosial.
“Oleh karena itu, umat Islam harus bangkit memprakarsai perbaikan dan perubahan. Umat Islam tidak boleh diam dan berpangku tangan terhadap kemungkaran-kemungkaran yang terjadi. Maka Peringatan Tahun Baru 1447 Hijriah harus dijadikan sebagai momentum menggerakkan Hijrah Rohaniah dari kebobrokan menuju kemabrukan, bukan sekadar Revolusi Mental yang akhirnya mental.”

Menurutnya, budaya mabruk adalah budaya yang merawat dan mendayagunakan seluruh kebaikan yang tersedia di sekitar, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiah.
“Umat Islam dan Bangsa Indonesia harus meninggalkan semua perilaku bobrok tadi untuk diganti dengan perilaku mabruk seperti berlaku jujur dan adil, kerja keras, kerja sama, tidak serakah apalagi menumpuk kekayaan secara tidak sah.
“Budaya Mabruk adalah budaya menghimpun dan mendayagunakan kebaikan-kebaikan yang ada di sekitar kita, yang kemudian kita akan memperoleh kebaikan dari Allah Swt. Kemabrukan merupakan pertemuan antara dua kebaikan yaitu kebaikan berupa anugerah Allah Swt atas bangsa Indonesia dan kebaikan yang ditambahkan Allah Swt karena bangsa ini menjalankan nilai-nilai dan ajaran-Nya,” terangnya.
Kerja sama lintas ormas Islam juga menjadi sorotan Din dalam pidatonya. Ia menyatakan pentingnya ukhuwah antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, serta mengajak umat menjauh dari perdebatan hal-hal cabang (furuiah) yang justru memecah persatuan.
“Itu semua meniscayakan adanya persatuan dan kebersamaan di antara kita. Maka menurut saya, kebersamaan dan kerja sama antara NU dan Muhammadiyah, khususnya, mutlak perlu. Jauhkan silang sengketa apalagi mengenai masalah furuiah (masalah cabang-cabang dalam agama),” katanya.

Suasana harmonis itu tergambar jelas dalam rangkaian acara. Kokam Pemuda Muhammadiyah dan Banser GP Ansor bahu-membahu menjaga ketertiban. Di pintu masuk Dusun Deles, jip-jip pengawal dari kedua sayap pemuda ormas Islam itu menyambut kedatangan Din dengan penuh hormat.
“Saya bersyukur dan berbangga dengan kebersamaan umat Islam lintas organisasi di Dusun Deles ini. Saya berbangga dan terharu kegiatan ini dikawal oleh Kokam Pemuda Muhammadiyah dan Banser GP Ansor. Bahkan tadi sewaktu saya memasuki Dusun Deles langsung disambut oleh jip Banser dan Kokam. Ini perlu menjadi contoh bagi umat Islam di daerah-daerah lain,” ujarnya penuh haru.
Kegiatan ini juga dihadiri Kepala Dinas PUPR Nurudin Ardiyanto, S.T., M.T., yang mewakili Bupati Wonosobo Bupati Wonosobo, serta para ulama dan pimpinan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan Masjid Indonesia, Aisyiyah, dan Muslimat NU.
Di ujung acara, para tokoh lintas ormas, tokoh masyarakat, dan aparat TNI/Polri tampak berfoto bersama dalam keakraban yang merekatkan.
Dari Dusun Deles yang sejuk dan bersahaja, suara Din Syamsuddin menggema seperti seruan dari ketinggian: hijrah bukan sekadar berpindah, tapi memilih jalan hidup baru — dari kebobrokan menuju kemabrukan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni