
Sensasi mudik penulis rasakan saat menempuh perjalanan ke Riau. Meskipun tujuan mudik masih dalam negeri, tapi penulis melaluinya lewat Singapore. Kenapa demikian? Karena tiket pesawat mancanegara lebih hemat dibanding domestik.
Tagar.co – Jum’at (21/3/2025) dini hari selepas sahur, saya sekeluarga bersiap meninggalkan Dusun Mencorek, Desa Sendangharjo, Brondong, Lamongan menuju Bandara Internasional Djuanda Surabaya, Jawa Timur.
Di tengah suasana pagi itu, kami berempat (suami, saya dan dua anak) akan melakukan perjalanan mudik ke Desa Semukut, Kecamatan Pulau Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Meskipun tujuan mudik masih dalam negeri, tapi kami memilih rute pesawat tujuan Singapore. Hal itu karena tiket pesawat mancanegara lebih hemat dibanding harga tiket pesawat domestik.
Ya, kalau dihitung-hitung, lewat Singapore bisa hemat sekitar 500 ribu per tiket. Karena tiket dari Surabaya ke Batam atau Surabaya ke Pekanbaru harganya sekitar 1,5 juta. Sementara Surabaya ke Singapore ‘hanya’ 600 ribu.
Untuk sama-sama ke Batam, harga pesawat dari Surabaya ke Singapore lebih hemat. Jika tiket pesawat dari Surabaya langsung ke Batam habis sekitar 1,5 juta per tiket. Sementara kalau ke Singapore habis 600 ribu, ditambah penyeberangan dari Singapore ke Batam habis 400 ribu. Maka total 1 juta untuk bisa sampai Batam. Sehingga lumayan kami bisa hemat sekitar 500 ribu.
Jika rute normal dengan harga yang standar, biasanya kami mudik dari Jawa ke Desa Semukut bisa melalui dua jalur. Jalur pertama dari Surabaya atau Yogyakarta ke Bandara Hang Nadim Batam. Kemudian lanjut naik kapal dari Batam ke Selatpanjang. Selanjutnya Selatpanjang menuju Desa Semukut.
Sementara jalur kedua bisa melalui Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, lanjut naik travel menuju Pelabuhan Buton. Kemudian dari Pelabuhan Buton lanjut menggunakan kapal laut menuju Pelabuhan Desa Semukut. Tapi kali ini kami sekeluarga memilih rute Singapore untuk menghemat biaya pesawat. Selain itu bisa piknik tipis-tipis di Singapore.
Menikmati Wisata Air Terjun di Bandara
Penerbangan dari Djuanda kami tempuh pukul 09.45 WIB dan tiba di Bandara Internasional Changi pukul 13.15 waktu Singapore. Beruntung saat itu tidak butuh waktu lama ketika melewati imigrasi Singapore. Karena sebelumnya kami telah mengisi Immigration & Checkpoints Authority (ICA) lewat online.
Pemerintah Singapura memang memberlakukan pengisian arrival card digital atau Singapore Arrival Card (SGAC) bagi siapa saja yang akan memasuki negara mereka. SGAC dapat diisi melalui aplikasi MyICA Mobile atau situs web ICA. Sehingga saat itu kami sekeluarga dengan mudah melewati loket imigrasi.
Setibanya di Changi, kami menikmati Air Terjun Jewel Changi Airport yang masih berada di area bandara. Tempat ini merupakan wisata bernuansa alam yang berada di terminal 1 Bandar Udara Internasional Changi. Selain itu juga terhubung dengan jembatan ke Terminal 2 dan Terminal 3.
Sekitar pukul 16.30, kami bertolak dari Bandara menuju kawasan Bugis untuk mencari penginapan. Mumpung sudah sampai Singapore, kami memang memutuskan untuk menginap dan piknik tipis-tipis di sana. Kereta MRT (Mass Rapid Transit) menemani kemudahan perjalanan kami di Singapura.

Mencari Takjil di Masjid Sultan
Setibanya di tempat penginapan dan merapikan segala bawaan mudik, kami memutuskan untuk berburu menu buka puasa di Masjid terdekat. Tak disangka, ternyata google menyarankan kami menuju Masjid Sultan Singapore.
Ya masjid ini merupakan salah satu masjid populer di sana. Maka kami terkejut saat tahu bahwa penginapan kami hanya berjarak kurang lebih 900 meter dari Masjid Sultan. Sambil menyusuri jalanan metropolitan Singapore, kami pun mencari Masjid tersebut.
Sesampainya di masjid, waktu berbuka ternyata telah lewat kurang lebih 10 menit. Sehingga beberapa jamaah telah menyebar di emperan jalan. Sementara beberapa yang lain ada yang mengemas meja dan kursi sisa buka puasa.
Melihat hal itu, kami sekeluarga pun mengalihkan niat untuk membeli makanan di sekitar Masjid. Ya, di sekitar Masjid Sultan memang banyak kedai yang menjual beragam makanan. Mulai dari masakan Melayu hingga Turki.
Melihat kegelisahan kami, salah seorang jamaah menyarankan kami agar bertanya kepada panitia. Barangkali pengurus masjid masih menyimpan makanan. Maka dengan memberanikan diri, suami saya pun bertanya kepada salah satu petugas yang terlihat sibuk merapikan meja.
Tak berselang lama, beberapa pemuda dengan berperawakan India, dengan sigap mengeluarkan jus jambu, air putih, donat, dan aneka jajanan. Terlebih istimewa lagi, mereka juga dengan antusias mengeluarkan satu talam nasi briyani berisi tiga potong ayam lengkap dengan kuahnya.
Begitulah sensasi mudik yang kami rasakan. Walaupun harus melalui lintas negara, bahkan juga harus berpuasa lebih lama satu jam dari biasanya (karena sahur di Lamongan dan berbuka puasa di Singapore), kami menemukan saudara-saudara seiman yang sangat perhatian. (#)
Jurnalis Nely Izzatul