Sekolah kita perlu belajar dari warung-warung bakso yang melakukan grand opening secara menarik tapi tak lagi istimewa setelah masa promosi berakhir.
Opini oleh Arul Chandrana, novelis, content creator, dan guru di SDN 1 Paciran dan SMP Manarul Qur’an Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Tagar.co – Ada pelajaran menarik yang bisa diambil oleh lembaga pendidikan dari fenomena sebuah warung bakso. Fenomena ini dapat dijadikan acuan dalam menyusun dan menjalankan program pengembangan sekolah.
Menarik karena fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu warung bakso, tetapi hampir di setiap warung bakso lainnya. Artinya, ini bukanlah sebuah kasus unik, melainkan sebuah kebenaran umum yang berlaku secara luas.
Kisah dimulai dengan pembukaan cabang baru sebuah warung bakso di daerah pantura Lamongan. Dengan nama yang unik dan tawaran promo grand opening yang menarik, tak heran jika tiga hari pertama warung tersebut ramai diserbu pengunjung.
Selama masa promosi itu, puluhan hingga ratusan mangkuk bakso terjual. Harga murah dan porsi yang melimpah menjadi daya tarik utama. Suasana warung bakso pun penuh dengan kesibukan, kegembiraan, dan optimisme sejak hari pertama.
Namun, masa promosi dan hari-hari biasa adalah dua hal yang berbeda. Promo grand opening memang menarik banyak orang karena menawarkan tiga hal yang diminati: hal baru, harga murah, dan porsi melimpah.
Baca juga: Guru Kencing di Penjara, Murid Kencing Sesukanya
Namun, setelah masa promosi berakhir, cita rasa dan kualitas layananlah yang menjadi faktor utama dalam mempertahankan pelanggan. Warung bakso ini berharap para pengunjung baru akan terkesan dengan cita rasa yang ditawarkan dan menjadi pelanggan setia setelah promosi usai. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
Ternyata, cita rasa bakso di warung baru ini biasa saja. Pelayanan pun tidak istimewa, dan fasilitasnya sama dengan warung bakso pada umumnya. Setelah masa promosi berakhir, tidak ada lagi hal istimewa yang ditawarkan kepada pelanggan.
Ratusan pembeli baru yang sebelumnya datang tertarik dengan promo, sebagian besar tidak kembali. Mereka memilih warung bakso lain yang sudah lebih dikenal dengan rasa yang lebih enak. Kini, jika Anda melewati warung bakso tersebut, yang terlihat hanyalah warung sepi dengan pegawai yang tampak bosan menunggu pelanggan.
Pelajaran bagi Sekolah
Apa pelajaran yang bisa diambil oleh lembaga pendidikan—sekolah, pondok pesantren, atau tempat kursus—dari kisah warung bakso tadi? Kita belajar bahwa untuk mendapatkan pelanggan setia, iklan saja tidak cukup. Dibutuhkan sesuatu yang lebih mendalam dan berkesan, yaitu kualitas yang memikat.
Iklan yang menarik memang bisa membangkitkan rasa penasaran, membuat orang datang, bahkan mencobanya. Namun, hanya kualitas unggulan yang dapat mengubah seorang pembeli menjadi pelanggan setia.
Hal inilah yang sering menjadi alasan mengapa popularitas sebuah sekolah bisa naik dan turun. Ketika sebuah sekolah dipromosikan dengan baik, orang tua mungkin akan penasaran dan mendaftarkan anaknya di sana. Namun, agar orang tua tersebut kembali lagi untuk mendaftarkan anak-anak lain, merekomendasikan ke kerabat, atau mengajak teman untuk turut bersekolah di sana, diperlukan kualitas nyata yang benar-benar memenuhi harapan mereka.
Pada akhirnya, iklan terbaik adalah rekomendasi dari pengguna–entah itu pembeli bakso atau wali murid sebuah sekolah. Iklan dari mulut ke mulut jauh lebih meyakinkan dan berpeluang besar berhasil. Iklan media sosial bisa diabaikan, iklan di pinggir jalan bisa dilewatkan, tetapi rekomendasi langsung dari pelanggan biasanya memiliki daya tarik yang sulit ditolak.
Seorang wali murid yang puas dengan kualitas sekolah tempat anaknya belajar, akan dengan sepenuh hati ‘mengiklankan’ sekolah tersebut kepada kenalan atau tetangganya. Tak jarang, kita melihat satu sekolah diisi oleh anak-anak dari keluarga yang sama, generasi demi generasi.
Inilah bukti bahwa kualitas yang kuat membuat sebuah lembaga pendidikan (dan tentu saja, warung bakso) bertahan hingga waktu yang lama.
Oleh karena itu, penting bagi setiap pengelola lembaga pendidikan untuk menyadari bahwa kunci keberhasilan lembaganya bukan hanya bergantung pada efektivitas iklan–khususnya di momen penerimaan peserta didik baru (PPDB)–tetapi lebih kepada kualitas asli dari lembaga itu sendiri.
Sering kali kita menemukan lembaga pendidikan yang minim iklan atau bahkan tanpa iklan sama sekali, tetapi jumlah muridnya terus bertambah setiap tahun. Mengapa? Karena kualitas yang baik membuat lembaga tersebut menjadi iklan otomatis bagi dirinya sendiri.
Catatan yang perlu diingat: iklan yang bagus dapat mendatangkan pembeli, tetapi hanya kualitas yang baik yang dapat mendatangkan pelanggan setia.
Pertanyaannya, bagaimana cara membangun kualitas yang hebat? Jika warung bakso membutuhkan juru masak andal untuk menciptakan rasa yang khas dan konsisten, maka lembaga pendidikan perlu meningkatkan kualitas siapa?
Jawabannya tentu saja adalah meningkatkan kualitas para pendidik dan stafnya, yang berperan langsung dalam mencetak generasi masa depan. [#]
Penyunting Mohammad Nurfatoni