Telaah

Salah Kaprah dalam Merayakan Idulfitri

265
×

Salah Kaprah dalam Merayakan Idulfitri

Sebarkan artikel ini
Ridwan Ma’ruf

Idulfitri seharusnya dirayakan dengan syukur dan ibadah, bukan dengan euforia berlebihan. Mari pahami makna Syawal sebagai momentum peningkatan iman, bukan pelampiasan hawa nafsu semata.

Oleh Ridwan Ma’ruf; Oleh Ridwan Ma’ruf: Anggota Majelis Pemberdayaan Wakaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sidoarjo, Pendiri Tahfiz Quran Islamic School Al-Fatih Sidoarjo, dan Praktisi Spiritual Parenting Sidoarjo

Tagar.co – Sebagian masyarakat kita masih merayakan Idulfitri dengan cara yang keliru dan cenderung berlebihan. Misalnya, membakar petasan yang tidak hanya membuang uang, tetapi juga menyisakan tumpukan sampah.

Bahkan ada pula yang melampiaskan euforia hari raya dengan berlibur ke tempat-tempat yang membuka aurat, seperti pantai atau tempat hiburan umum.

Baca juga: Al-Qur’an Menyeru Persatuan, Menolak Perpecahan: Kunci Kejayaan Umat

Padahal, bergembira di hari raya adalah hal yang dianjurkan, selama tidak melampaui batas. Rasulullah ﷺ bersabda:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: kegembiraan saat berbuka (berhari raya), dan kegembiraan saat bertemu Tuhannya.” (H.R. Muslim)

Baca Juga:  Daftar Lokasi Salat Idulfitri 1446 Kota Pasuruan, Ketua LP2 PWM Jatim Jadi Imam di Tembokrejo

Hadis ini mengandung dua makna agung:

  1. Kegembiraan karena pahala langsung dari Allah
    Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
    “Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (H.R. Bukhari)
  2. Kegembiraan karena akan bertemu dengan Allah
    Ini adalah kebahagiaan spiritual yang hanya dirasakan oleh mereka yang menjalankan puasa dengan sungguh-sungguh—penuh nilai dan kualitas—hingga melahirkan rasa syukur yang murni.

Maka, kegembiraan yang diperbolehkan adalah ekspresi syukur kepada Allah, bukan kegembiraan yang melampaui batas. Sebab, Allah telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:

۞ يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A‘raf: 31)

Ayat ini adalah teguran keras bagi mereka yang bersikap berlebih-lebihan, baik dalam urusan dunia maupun ibadah.

Baca Juga:  Mengenalkan Salat Idulfitri sejak Dini di TK Aisyiyah 41 Menganti: ‘Bunda, kok Takbirnya Banyak?’

Merayakan Syawal dengan Meningkatkan Ibadah

Secara bahasa, syawal berasal dari kata شَالَ yang berarti “naik” atau “meningkat”. Maka secara maknawi, Syawal adalah momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah setelah Ramadan.

Salah satu amalan utama di bulan ini adalah puasa sunah enam hari, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِّنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Siapa yang berpuasa Ramadan kemudian diiringi dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa (satu tahun).” (H.R. Muslim, Tirmizi, dan Ahmad)

Bahkan, disunahkan pula untuk meng-qada itikaf bagi yang tidak sempat melaksanakannya di sepuluh hari terakhir Ramadan. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ:

فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

“Kemudian Nabi tidak beri’tikaf pada bulan Ramadan tersebut dan menggantinya dengan beri’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (H.R. Bukhari)

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan dianjurkannya mengganti amalan sunah yang terlewat. (Fathul Bari, juz 4, hlm. 277)

Baca Juga:  Adab Idulfitri Cara Nabi Saw

Kesederhanaan Adalah Kunci

Kesederhanaan dalam merayakan Idulfitri adalah cerminan keimanan yang dewasa. Terlebih dalam kondisi sosial dan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, sikap ini mencerminkan empati dan kebaikan.

Sahabat Abdullah bin Mas‘ud Ra. pernah berkata:

الِاقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الِاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

“Sederhana dalam (menjalankan) sunah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menjalankan perkara-perkara yang tidak ada tuntunannya.” (Al-Ibanah 1/320, No. 161)

Orang yang bersikap sederhana umumnya lebih mudah diterima dalam interaksi sosial, apalagi di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh distraksi saat ini.

Penutup

Idulfitri bukan sekadar momen euforia, tetapi titik tolak untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bertakwa, dan lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Rayakanlah dengan rasa syukur, peningkatan ibadah, dan sikap sederhana. Wallahua‘lambisaawab. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni