
Diajak menulis berita dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Ibu-ibu Ikwam SDMM belajar hadirkan suasana lewat tulisan yang melibatkan pancaindra
Tagar.co – Block note merah polos bersampul plastik bening, masih tersegel rapi, dan sebuah bolpoin baru yang mengkilat, dibagikan di meja registrasi, tepat setelah peserta pelatihan Graphic Design and News Editorial Training on Social Media” menandatangani daftar hadir, di Aula Lantai 4 SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik, Selasa (21/1/25) pagi.
Sejak awal, panitia dan peserta sudah mengimajinasikan bahwa pelatihan ini akan meninggalkan banyak jejak catatan. Namun bayangan tersebut sirna saat pemateri pertama, Mohammad Nurfatoni dari Tagar.co membuka pelatihan dengan kalimat, “Hari ini saya tidak akan banyak memberikan teori, karena teori jurnalistik bisa ditanyakan Meta AI maupun Gemini Google. Saya akan mengajak ibu-ibu di sini, langsung praktik menulis.”
Dia pun meminta peserta membuka aplikasi WhatsAPP untuk bertanya pada Meta AI, “Bagaimana cara menulis berita?” Sambil bergerak dari depan ke belakang atau dari kanan dan kiri di sela barisan bangku peserta, Fatoni, sapaan akrabnya, menanyakan pada beberapa peserta bagaimana jawaban Meta AI atas pertanyaan itu.
Baca juga: Wow! Ibu-Ibu Ikwam SDMM Gresik Belajar Jurnalistik dan Desain Grafis, Bertabur Hadiah
Lalu dia membuat kesimpulan, bahwa sekarang apapun bisa ditanyakan lewat aplikasi AI (artificial intelligence). “Jika dulu kita bertanya pada Mbah Google, sekarang pada Mbah AI,” ujarnya berseloroh. Bedanya, dalam memberikan jawaban, Google menyodorkan link-link artikel yang dibuat web atau media sosial. Sementara AI langsung memberikan jawaban secara langsung dan sistematis.
Karena teori—termasuk cara menulis berita—bisa didapatkan dengan mudah lewat AI, maka dia tidak membuka dua materi yang telah dia siapakan dalam bentuk power point ke layar proyektor. “Karena teori sudah banyak, maka anggap saja kedatangan saya di sini sebagai tutor sebaya, untuk mendampingi ibu-ibu praktik menulis. Materi saya nanti dikirim ke grup WA peserta saja,” katanya.

Tantangan Bikin Caption
Sontak, 45 peserta yang didominasi ibu-ibu rumah tangga itu, yang semula menampakkan gesture kaku—khas siswa tahun 90-an yang duduk diam, tangan terlipat di atas meja—menjadi cair. Apalagi saat Fatoni, dengan gaya bicaranya yang santai dan penuh canda, langsung menantang peserta membuat caption untuk sebuah foto. “Cukup 4W: what, who, when, where. Apa yang terjadi, siapa yang ada di foto, kapan, dan di mana?” jelasnya. Empat W dalam caption foto itu dia sebut sebagai berita minimalis atau berita pamflet.
“Lho, dari tadi nggak ada yang mengambil foto saya? Waah … gimana ini?” candanya, disambut tawa renyah peserta. Dia mengingatkan bahwa bagaimana ada caption kalau nggak ada fotonya, maka dia bersedia jadi ‘model foto’ dadakan.
Baca juga: Belajar Menulis Berita sambil Momong Anak, Kisah di Balik Pelatihan Jurnalistik Ikwam SDMM
Dengan segera, peserta mengeluarkan ponsel dan meminta pemateri untuk berpose. “Mengambil foto itu lebih baik natural, misalnya saat saya menyampaikan materi, karena foto itu ada dua jenis: dinamis atau ekspresif dan statis,” lanjut Fatoni. Antusisame peserta tampak saat beberapa ibu-ibu memberanikan diri maju untuk mencari angle foto.
Tidak sekadar meminta peserta membuat foto lengkap dengan caption-nya, Fatoni juga mengganjar hadiah buku pada peserta terbaik dalam praktik pertama ini, yang pemenangnya diraih oleh Yunita Ika P.

Berita yang Menghadirkan
Fatoni mengatakan foto yang baik dengan caption yang mengandung 4W itu menjadi bisa menjadi konsumsi media sosail seperti Instagram. Sekaligus sebagai berita minimalis yang bisa sekadar mengabarkan bahwa di sini, pada tanggal ini, ada kegiatan ini, dan dilakukan oleh ini.
Tetapi berita yang ideal tak cukup sebatas seperti itu. Berita yang baik harus bisa menjelaskan mengapa (why) dan bagaimana (how) sebuah peristiwa terjadi. Bahkan, menurutnya, menulis berita tidak cukup hanya 5W+1H, tapi ada tambahan lagi 1W sehingga menjadi 6W+1H.
“Apa itu W yang satu lagi, yaitu wow. Jadi, sebuah berita itu wow-nya di mana, jika itu sudah ditemukan, maka berita akan menjadi lebih menarik,” ujarnya. Yang dia maksud wow adalah sesuatu yang luar biasa, mengagumkan, atau istimewa.
Ayah lima anak dan dua cucu ini melanjutkan, berita yang baik juga dapat menghadirkan perasaan atau emosi pembaca pada peristiwa yang terjadi meskipun dia tidak berada di lokasi atau TKP (tempat kejadian perkara). “Jadi seolah-olah pembaca hadir dan melihat langsung peristiwa yang kita tulis,” katanya.

Melibatkan Pancaindra
Untuk itu, dia melanjutkan, kita bisa mengoptimalkan pancaindra dalam menulis berita agar berita bisa ‘berbicara’. Tulisan semacam ini seperti story telling atau disebut juga feature. Fatoni lalu menguriakan maksud penggunaan pancaindra dalam menulis berita.
- Penglihatan (mata) adalah indra yang paling sering digunakan dalam menulis. Dengan mata kita bisa menjelaskan warna dan bentuk benda atau bahasa tubuh dan ekspresi seseorang. Contoh kaliamt ‘wanita itu sedih’ akan lebih menarik jika ditulis dengan ‘Bahu wanita tua itu turun, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar menahan tangis.”
- Pendengaran (telinga) untuk menceritakan bunyi di sekitar, nada bicara, atau musik dan lagu. “Termasuk bagaimana menceritakan suara dan lagu lima siswa tahfiz SDMM yang tampil membacakan Surat Al-Muzamil di pembukaan tadi,” katanya.
- Penciuman (hidung) untuk menceritakan aroma dan bau. Misalnya dalam liputan bencana alam, penggambaran suasanan bisa diperkuat dengan deskripsi bau. Fatoni juga mencontohkan kalimat: ‘dia berjualan kue’ bisa ditulis ‘aroma manis kue yang baru dipanggang menguar dari toko kecil itu, bercampur dengan aroma kopi yang menggoda, menarik siapa pun yang lewat untuk mampir.’
- Perasa (lidah) untuk mendeskripsikan rasa makanan dan minuman dalam menulis review kuliner. “Misalnya daripada menulis ‘makanannya enak’, tulislah menjadi ‘sepotong rendang yang empuk dan kaya rempah itu meleleh di lidah, meninggalkan jejak rasa gurih dan pedas yang menghangatkan’,” urainya.
- Peraba (kulit) untuk menjelaskan tekstur atau suhu. Daripada menulis ‘saya kedinginan’, jelasnya, tulislah ‘Angin malam yang dingin menusuk hingga ke tulang, membuat kulitku merinding dan gigiku gemeretak’.

Tantangan Terakhir
Setelah menguraikan pentingnya pancaindra dalam sebuah tulisan, lulusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Negeri Surabaya itu memberi peserta tantangan membuat deskripsi aula tempat acara berlangsung.
“Tolong gambarkan secara detail, bagaimana kondisi ruangan saat ini. Karpetnya berwarna apa, bagamana suhu ruangan, gunakan pancaindra Anda untuk mendeskripsikan dan tuliskan. Ajak pembaca untuk seolah-olah ikut merasakan suasana yang sedang anda rasakan saat ini,” instruksinya.
Pipit Guruh, salah satu peserta pelatihan, yang juga merupakan Koordinator Kelas 2 Leica, mengatakan, “Waduh.. tugasnya sulit sekali ya.. kita biasa melihat sesuatu benda atau ruangan, ya biasa saja, tapi ini disuru menceritakan detail, bismillah dicoba, semoga berhasil.”
Dalam waktu 10 menit peserta berhasil menyelesaikan tugas ini. Dan tulisan Nur Ilma Mahmudah terpilih sebagai pemenangnya. Dia pun mendapat hadiah buku.
Di akhir sesi, Fatoni memberi tugas pada peserta untuk membuat tulisan utuh bergaya story telling. Meski waktunya singkat, ternyata sebagian besar peserta berhasil menunaikan tantangan ini. Adapun tiga pemenangnya adalah, saya sebagai juara pertama dengan tulisan berjudul Belajar Menulis Berita sambil Momong Anak, Kisah di Balik Pelatihan Jurnalistik Ikwam SDMM
Adapun juara kedua dan ketiga diraih Christina Mira dan Rina Rohmatin. Kami bertiga mendapat hadiah sertifikat penghargaan dan uang tunai dari panitia yang diserahkan Ketua Ikwam SDMM Yuli Dwi Ambarini. (#)
Jurnalis Yusnita Larashati