Cerpen

Saat Ayah Terlambat Pulang

223
×

Saat Ayah Terlambat Pulang

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Ramadan kali ini berbeda. Aku menanti ayah pulang membawa sesuatu, meski hanya makanan sederhana. Namun, malam itu langkahnya tak terdengar. Sebuah kabar mengubah segalanya…

Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur.

Tagar.co – Ramadan tahun ini terasa berbeda. Setiap kali azan Magrib berkumandang, aku berlari pulang dengan hati penuh harap. Ibu sudah menunggu dengan senyum hangatnya, siap berbuka bersama. Aku juga menanti ayah pulang, karena meski lelah bekerja, ia selalu membawa sesuatu, walau hanya makanan sederhana. Namun bagiku, kebersamaan itulah yang membuat setiap suap terasa istimewa.

Di sudut hatiku, selalu ada harapan. Barangkali kali ini ayah membawa kejutan kecil. Aku duduk di meja makan, menatap pintu dengan antisipasi. Setiap langkah yang mendekat membuat jantungku berdebar.

Baca cerpen lainnya: Sahabat yang Tak Lagi Sama

Namun, di atas meja hanya ada segelas air putih dan beberapa potong makanan seadanya. Ibu tetap tersenyum, seolah ingin berkata bahwa semua ini cukup. Aku menelan haru, berbisik dalam hati, “Tidak apa-apa. Mungkin besok ayah akan membawa sesuatu.”

Baca Juga:  Cinta dalam setiap Butir Nasi

Malam itu, ayah belum pulang seperti biasa. Aku duduk di teras, menatap jalanan yang semakin sepi. Biasanya, menjelang malam, ayah sudah tiba dengan langkah lelah dan sekantong plastik berisi makanan sederhana. Tapi kali ini, tak ada suara langkahnya. Jantungku mulai berdebar tak menentu.

Tiba-tiba, suara lirih ibu berbicara dengan tetangga. Nada suaranya berbeda. Aku mendekat, ingin tahu apa yang terjadi. Saat ibu berbalik, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam bahuku erat, seolah mencari kekuatan. “Nak… ayah kecelakaan. Sekarang sedang di rumah sakit.”

Dunia seakan berhenti. Kakiku lemas. Pikiranku kacau, hanya membayangkan ayah yang selalu kuat kini terbaring lemah. Tanpa pikir panjang, aku dan ibu segera bergegas ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara, hanya suara napas berat dan doa dalam hati.

Di rumah sakit, aroma antiseptik menyengat. Kami bergegas ke ruang gawat darurat. Saat pintu terbuka, aku melihat ayah terbaring, wajahnya pucat, tubuhnya lelah. Namun, ada senyum lemah di wajahnya saat melihat kami.

Baca Juga:  Beramal dalam Diam, Kisah Pedangang Buah Mencari Rida Allah

Aku mendekatinya, menggenggam tangannya. “Ayah…” suaraku bergetar. Ia memejamkan mata sebentar, lalu membuka genggamannya perlahan. Ada sesuatu di tangannya. Dengan susah payah, ia menyodorkannya padaku. “Nak… ini untukmu. Bekal untuk besok hari raya.”

Tanganku gemetar saat menerimanya. Selembar uang lusuh. Aku tahu, uang ini dikumpulkannya dengan susah payah. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Bukan karena nilainya, tetapi karena pengorbanan yang tersimpan di baliknya.

Aku menggenggam tangan ayah lebih erat. “Ayah… aku tidak butuh hadiah apa pun. Aku hanya ingin ayah sehat dan pulang bersama kami.”

Aku menatap wajah ayah yang semakin pucat, tergeletak lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Setiap tarikan napasnya terasa berat, seolah menggambarkan betapa lelahnya ia berjuang melawan penyakit. Hati kecilku berbisik pelan, “Ayah, aku tidak butuh hadiah apa pun di hari raya nanti.

Aku hanya ingin ayah sehat dan bisa pulang bersama kami.” Air mataku menetes, membasahi pipi, sementara tanganku menggenggam erat pemberian terakhir ayah sebelum ia terbaring di sini. Sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk hati, simbol cintanya yang tak pernah pudar.

Baca Juga:  MI Mutwo Gresik Gandeng Dyah's English Course Tingkatkan Kemampuan Bahasa Inggris Siswa

Di sudut ruangan rumah sakit yang sepi, aku duduk bersimpuh, memandangi ayah dengan harapan yang menggelora. Doa-doa kupanjatkan, memohon kepada Allah agar memberikan kesembuhan untuk ayah.

Bagiku, hadiah terindah bukanlah uang atau makanan lezat di hari raya, melainkan kehadiran ayah di sampingku, menemaniku tertawa, bercanda, dan merayakan Idulfitri dengan penuh kebahagiaan. Aku ingin sekali mendengar suaranya lagi, mendengar cerita-cerita lucunya, dan merasakan pelukannya yang hangat.

Dan ketika matahari mulai terbenam, cahaya jingga menyelinap melalui jendela kamar, aku tersenyum lembut. Meski tubuh ayah masih lemah, aku yakin bahwa cinta dan doa akan menjadi kekuatan terbesar untuknya.

Aku berjanji akan selalu ada untuknya, seperti ia selalu ada untukku. Hari raya mungkin tak semeriah biasanya, tetapi selama ayah masih bisa tersenyum, itu sudah lebih dari cukup. Aku percaya, kebahagiaan sejati bukan terletak pada kemewahan, melainkan pada kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai.