Opini

RUU BPIP: Menjaga Marwah Pancasila di Tengah Dinamika Kebangsaan

119
×

RUU BPIP: Menjaga Marwah Pancasila di Tengah Dinamika Kebangsaan

Sebarkan artikel ini
Di tengah arus deras globalisasi, polarisasi politik, dan tantangan ideologi transnasional, RUU BPIP hadir sebagai upaya meneguhkan kembali marwah Pancasila. Mampukah regulasi ini menjadi fondasi kokoh dalam menjaga jati diri bangsa secara demokratis dan inklusif?
Ilustrasi AI

Di tengah arus deras globalisasi, polarisasi politik, dan tantangan ideologi transnasional, RUU BPIP hadir sebagai upaya meneguhkan kembali marwah Pancasila. Mampukah regulasi ini menjadi fondasi kokoh dalam menjaga jati diri bangsa secara demokratis dan inklusif?

Oleh Triyo Supriyatno Wakil Ketua PDM Kota Malang dan Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tagar.co – Belakangan ini, pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) kembali menghangat. RUU ini lahir dari kebutuhan akan payung hukum yang kuat bagi BPIP sebagai lembaga negara yang bertugas menjaga, membina, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejak didirikan melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, BPIP berperan strategis dalam merawat ideologi Pancasila di tengah arus deras globalisasi, modernisasi, hingga ancaman ideologi transnasional yang bisa menggerus identitas kebangsaan.

Baca juga: Para Pejuang Kemanusiaan Palestina dari Muhammadiyah

Namun, sebagaimana lazimnya dinamika demokrasi, muncul beragam respons di ruang publik. Ada yang mendukung, ada yang mempertanyakan urgensinya, bahkan ada pula yang mengaitkannya dengan kekhawatiran soal potensi otoritarianisme ideologis.

Di sinilah pentingnya publik mendudukkan persoalan ini secara jernih, agar bangsa ini tidak terjebak pada polarisasi politik yang sempit, melainkan lebih pada upaya menjaga konsensus kebangsaan yang sudah final: Pancasila sebagai dasar negara, falsafah hidup, dan pandangan dunia bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Menghidupkan Nilai Zulkaidah di Tengah Bising Dunia Maya

Pentingnya Payung Hukum yang Tegas

Sebagai negara demokrasi dengan pluralitas tinggi, Indonesia membutuhkan lembaga yang secara sistematis membina dan memastikan nilai-nilai Pancasila tetap menjadi ruh dalam setiap kebijakan dan perilaku sosial politik warganya.

Pengalaman sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa ideologi Pancasila tidak hanya sebatas jargon atau slogan, melainkan kompas moral yang mampu mempersatukan Indonesia dalam keberagaman agama, suku, adat, dan bahasa.

Tanpa payung hukum setingkat undang-undang, posisi BPIP rentan terhadap perubahan politik. Sebagaimana lembaga lain yang hanya berbasis peraturan presiden, keberadaan BPIP bisa sewaktu-waktu dibubarkan, direduksi perannya, atau dipolitisasi.

Padahal, tantangan ideologis ke depan bukan semakin ringan. Disrupsi digital, radikalisme keagamaan, hingga ideologi-ideologi asing yang masuk melalui berbagai platform media sosial bisa dengan mudah menggerogoti sendi-sendi kebangsaan bila tak ada lembaga resmi yang konsisten membentengi.

Menghindari Trauma Masa Lalu

Wajar bila sebagian kelompok masyarakat masih menyisakan trauma terhadap upaya pembinaan ideologi yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Kala itu, indoktrinasi Pancasila dilakukan secara monolitik, tidak membuka ruang kritik, dan justru sering dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Kekhawatiran akan lahirnya lembaga sejenis yang represif tentu menjadi catatan penting.

Namun, konteks Indonesia hari ini berbeda. Kita hidup di era demokrasi terbuka, dengan kebebasan pers, partisipasi publik, dan supremasi hukum yang terus diperkuat. RUU BPIP harus diposisikan sebagai instrumen konstitusional untuk membina ideologi negara secara bijak, adaptif terhadap perubahan zaman, sekaligus tetap berpijak pada nilai-nilai dasar Pancasila.

Baca Juga:  Fikih Berkemajuan: Menata Dam agar Haji Mabrur

Kuncinya terletak pada transparansi, akuntabilitas, dan pelibatan publik dalam proses penyusunan hingga pelaksanaan tugas BPIP. Jangan sampai lembaga ini terkesan eksklusif atau bekerja dalam lingkaran elite politik semata. Kehadiran BPIP harus menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat, mulai dari dunia pendidikan, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, hingga komunitas akar rumput.

Menguatkan Ketahanan Ideologi di Masyarakat

Salah satu peran strategis BPIP ke depan adalah membangun ketahanan ideologi di tingkat masyarakat. Pancasila harus terus diinternalisasi sebagai nilai hidup sehari-hari, bukan sekadar wacana elite. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial harus dirasakan manfaatnya dalam keseharian warga negara.

Pendidikan Pancasila di sekolah, kampus, maupun di ruang publik digital harus lebih kreatif dan kontekstual, menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan substansi. BPIP, melalui regulasi yang jelas, bisa menjadi motor penggerak lahirnya kurikulum kebangsaan yang adaptif, kegiatan literasi ideologi di media sosial, hingga dialog lintas iman dan budaya.

RUU BPIP juga penting untuk mengatur batasan kewenangan lembaga ini agar tidak tumpang tindih dengan kementerian/lembaga lain, sekaligus memastikan prinsip checks and balances tetap berjalan. Penguatan BPIP bukan berarti melemahkan peran masyarakat sipil, tetapi justru menjadi mitra strategis dalam membangun ekosistem ideologi Pancasila yang inklusif.

Baca Juga:  Tasyrik dalam Perspektif Spiritualitas dan Etika Sosial: Refleksi atas Tiga Hari Pascakurban

Mengawal Ideologi Negara secara Demokratis

Mengawal ideologi negara bukan pekerjaan ringan. Di tengah kebebasan berekspresi, potensi distorsi dan provokasi ideologi transnasional bisa hadir tanpa disadari. Kehadiran BPIP melalui regulasi yang kuat diperlukan agar negara tetap memiliki otoritas moral dan hukum untuk menjaga kesatuan ideologis bangsa.

Namun, pengawalan itu harus dilakukan dalam bingkai demokrasi. BPIP harus menjadi lembaga edukatif, dialogis, dan partisipatif, bukan represif. Ruang publik harus tetap terbuka bagi diskusi kritis tentang Pancasila, selama tidak mengarah pada upaya mengganti ideologi negara. Justru kritik-kritik konstruktif akan membuat Pancasila semakin kontekstual dan relevan.

RUU BPIP bukan sekadar soal kelembagaan, tetapi cermin komitmen bangsa ini menjaga fondasi ideologinya. Jika dikelola dengan baik, RUU ini bisa menjadi tonggak penting merawat marwah Pancasila, meneguhkan nilai-nilai kebangsaan, dan memastikan Indonesia tetap tegak berdiri di tengah percaturan global yang kian dinamis.

Sejatinya, Pancasila bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan cita-cita hidup bersama yang harus terus dirawat dengan kearifan, ketegasan, dan semangat demokrasi. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni