Sebagai sastrawan ‘komplit’, Putu Wijaya setia dengan karya bercorak kejiwaan dan filsafat. Dalam naskah drama, dia pun memilih aliran arus kesadaran, kadang absurd dalam merefleksikan manusia modern.
Tagar.co – I Gusti Ngurah Putu Wijaya adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Dia penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga skenario film, pelukis, dan sinetron.
Dia lahir 11 April 1944 di Puri Anom, Tabanan, Bali. I Gusti Ngurah Putu Wijaya adalah nama yang berasal dari keturunan bangsawan. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Raka.
Putu Wijaya pernah menikah dengan Reni Jayusman sekitar tahun 1980-an, tetapi usia perkawinan mereka tidak berlangsung lama. Dia menikah lagi dengan Dewi Pramunawati dan dikarunia seorang anak laki-laki bernama I Gusti Ngurah Taksu Wijaya.
Pada masa remaja, Putu sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, dia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali.
Ketika duduk di sekolah menengah atas, dia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam sebuah pentas seni sandiwara. Setelah lulus SMA, melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Baca juga: Goenawan Mohamad: Dari Kritikus Sastra ke Inspirasi Bangsa
Putu kuliah di Universitas Gadjah Mada pada jurusan Hukum, selain itu dia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra.
Dari Fakultas Hukum, UGM, dia meraih gelar sarjana hukum pada tahun 1969, dari Asdrafi dia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian dia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Setelah tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta dia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, dia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu bangkrut, dia menjadi redaktur majalah Tempo (1971–1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri pada tahun 1974.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, dia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, dia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, dia kembali aktif di majalah Tempo.
Pada tahun 1975, dia mengikuti International Writing Program di Lowa, Amerika Serikat. Setelah itu, dia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (1979-1985).
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Dia juga telah menulis skenario film dan sinetron.
Baca juga: Helvy Tiana Rosa dan Suara dalam Gerbong Cerpen
Sebagai seorang dramawan, dia memimpin Teater Mandiri sejak 1971 dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri, beberapa diantaranya yaitu mementaskan naskah Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City. Pada tahun 1991, dia membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling Amerika.
Menunggu Godot
Tahun 1968, Putu ikut bermain di Bengkel Teater Rendra dan sempat mementaskan Bip-Bop dan Pozzo dalam drama Menunggu Godot di Jakarta tahun 1969. Sejak tahun 1959 Putu Wijaya bermain drama dengan Kelompok Sanggar Bambu.
Di sanggar itu, dia menyutradarai pementasan Lautan Bernyanyi tahun 1968. Setelah pindah ke Jakarta, Putu Wijaya bergabung dengan kelompok Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Dia juga menggabungkan diri dengan kelompok Teater Populer pimpinan Teguh Karya.
Akhirnya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri. Tahun 1973 Putu Wijaya mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang selama satu tahun. Dalam mengikuti pelajaran itu, dia ikut hidup dengan kelompok masyarakat komunal di Ittoen, Jepang.
Di sana Putu Wijaya hidup sebagai petani. Putu juga menyertai kelompok itu untuk berkeliling dalam usaha memberikan pertunjukan Sandiwara Rakyat Keliling yang bernama Swaraji. Dia hanya sanggup memanfaatkan beasiswa itu selama tujuh bulan, lalu kembali ke Indonesia dan aktif kembali sebagai staf redaksi majalah Tempo.
Tahun 1974, Putu Wijaya mendapat kesempatan untuk mengikuti lokakarya penulisan kreatif di Iowa City, Amerika Serikat. Kegiatan itu bernama International Writing Program yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Iowa. Setelah pulang ke Indonesia tahun 1975, dia mendapat kesempatan untuk bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, sebelah timur kota Paris, Prancis.
Tahun 1985, Putu Wijaya mengikuti kegiatan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman. Dalam berkarier Putu Wijaya terkenal sebagai penulis naskah drama. Dari tangannya telah muncul beberapa naskah drama modern yang beraliran arus kesadaran.
Naskah drama yang ditulisnya tidak sama dengan naskah drama konvensional. Di samping itu, Putu Wijaya juga menulis beberapa novel yang beraliran baru. Novel-novelnya juga bercorak ‘arus kesadaran’, ‘absurd’, seperti juga corak-corak novel Iwan Simatupang.
Novel bercorak kejiwaan dan filsafat merupakan ciri tulisan Putu Wijaya. Putu Wijaya juga menulis cerita pendek. Sejumlah cerita pendeknya muncul, baik yang berupa buku maupun yang terbit di berbagai majalah dan surat kabar.
Sama seperti drama dan novelnya, cerita pendek Putu Wijaya juga bercorak baru, beraliran kesadaran baru, dan mengungkapkan banyak stream of consciousness. Banyak kritikus dan pengamat sastra yang memberikan kritik dan komentar terhadap Putu Wijaya.
A. Teeuw menyatakan, Putu Wijaya adalah orang yang sangat energetik dan serbabisa. Dia bukan hanya wartawan dan anggota tetap staf redaksi majalah Tempo, melainkan juga sutradara dan penulis drama.
Unsur keterasingan (sebagai ciri khas manusia modern) makin jelas dalam novel-novelnya. Di sinilah dia menunjukkan bakatnya sebagai novelis sepenuh-penuhnya. Umar Junus menyamakan kedudukan Putu Wijaya dengan Iwan Simatupang, jika dilihat dari kehadiran novelnya.
Umar Junus menyatakan bahwa kalau pengetahuan pembaca tentang novel diikat oleh novel-novel Balai Pustaka, maka pengetahuan ini tidak akan mengimbaunya untuk memberikan reaksi positif terhadap novel-novel yang ditulis Iwan Simatupang ataupun Putu Wijaya meskipun dengan mudah pembaca tersebut dapat memahami novel Mochtar Lubis dan Ramadhan K.H.
Untuk memungkinkan dapat memberikan reaksi positif terhadap novel Iwan Simatupang dan Putu Wijaya, seorang pembaca mestilah melepaskan diri dari kerangka pemikiran yang diciptakan pengetahuannya tentang novel-novel Balai Pustaka.
Novel-novel Putu Wijaya dan Iwan Simatupang diciptakan dengan kerangka pemikiran yang telah berbeda sama sekali.
Karya Ikonik
Putu Wijaya telah menulis karya sastra dalam jumlah yang besar, baik dalam bentuk drama, novel, cerpen, maupun puisi.
- Beberapa drama yang ditulis Putu Wijaya, antara lain, (1) Lautan Bernyanyi, 1967, (2) Anu, 1974, (3) Aduh, 1975; (4) Dag Dig Dug, 1976, (5) Edan, 1977, dan (6) Gerr, 1986.
- Kumpulan cerita pendek Putu Wijaya, seperti (1) Bom, 1978, (2) Es, 1980, dan (3) Gres, 1982 juga dikenal secara luas.
- Kumpulan puisi Putu Wijaya berjudul Dadaku adalah Perisaiku, terbit tahun 1974. Dia juga menulis banyak novel yang mendapat sambutan luas. Novel-novel tersebut ialah (1) Bila Malam Bertambah Malam, 1971, (2) Telegram, 1972, (3) Pabrik, 1976, (4) Stasiun, 1977, (5) Ms, 1977, (6) Tak Cukup Sedih, 1977, (7) Ratu, 1977, (8) Sah, 1977, (9) Keok, 1978, (10) Sobat, 1981, (11) Lho, 1982, (12) Nyali, 1983, (13) Pol, 1987, (14) Perang, 1995, dan (15) Mala Tetralogi Dangdut (2008).
- Kumpulan cerpennya berjudul Klop (2010).
Sejak tahun 1990-an, Putu bergiat juga dalam dunia perfilman. Dia mendirikan Putu Wijaya Mandiri Production, rumah produksi untuk pembuatan sinetron di televisi. Dia telah menyutradarai 3 buah film untuk layar lebar, yaitu: Cas-Cis-Cus, Zig Zag, dan Plong.
Untuk jenis sinetron, rumah produksinya telah menghasilkan Dukun Palsu (13 episode), Pas (52 episode), None (39 episode), Warteg (20 episode), dan Jari-Jari Cinta.
Putu Wijaya mendapat beberapa penghargaan dan hadiah atas karya-karyanya. Tahun 1967 naskah Putu Wijaya Lautan Bernyanyi mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon.
Tahun 1980, dia memperoleh Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand atas karyanya Telegram dan tahun 2008 dia menerima Penghargaan Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki. (#)
Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni