SejarahUtama

Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara

×

Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara

Sebarkan artikel ini
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesiaitu kedudukannya sama dengan presiden sesuai konstitusi. Namun nama Sjafruddin tidak pernah disebut dalam urutan nama presiden RI. 
Sjafruddin Prawiranegara (Repro buku biografi Lebih Takut kepada Allah SWT)

Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia itu kedudukannya sama dengan presiden sesuai konstitusi. Namun nama Sjafruddin Prawiranegara tidak pernah disebut dalam urutan nama-nama Presiden Republik Indonesia. 

Tagar.co – Berkat perjuangan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) eksistensi negara ini tetap ada, meskipun agresi militer Belanda menguasai banyak wilayah pada 19 Desember 1948. 

Apalagi Presiden Sukarno, Wapres M. Hatta, dan sejumlah menteri memilih menyerah dan ditawan Belanda.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara yang mengambilalih dan menjalankan pemerintah dengan cara gerilya di hutan pedalaman Sumatra ketika ibu kota sementara Bukittinggi juga diserang.

Sementara di Jawa, Panglima Perang Jenderal Soedirman juga memimpin perang gerilya untuk menunjukkan eksistensi tentara RI masih ada dan berjuang melawan agresi militer.

Ajib Rosidi dalam buku biografi Sjafrudin Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah SWT menjelaskan, kewenangan Sjafruddin memimpin PDRI berasal dari surat kawat Presiden Sukarno dan Wapres Mohammad Hatta yang dikirimkan pada 19 Desember 1948. 

Sjafruddin saat itu berada di Sumatra awalnya mengikuti rombongan Wapres Mohammad Hatta menyelesaikan konflik pejabat militer di daerah itu. Setelah urusan selesai Wapres Hatta kembali ke Yogya karena ada panggilan dari Presiden Sukarno menjelang ancaman agresi militer. 

Baca juga: Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja

Sementara Sjafruddin diminta tetap di Sumatra bersiap menghadapi situasi darurat kalau agresi benar-benar terjadi. 

Bunyi surat kawat itu sebagai berikut.

Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6.00 pagi Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawira, Menteri  Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Republik Indonesia Darurat di Sumatra.

Yogyakarta, 19 Desember 1948

Presiden Sukarno
Wakil Presiden Mohammad Hatta 

Ternyata surat kawat ini tidak pernah sampai kepada Syafruddin. Walaupun begitu Syafruddin yang berada di Sumatra nyambung dengan pesan surat itu. 

Baca Juga:  Karena Petisi 50 Natsir Gagal Dapat Gelar Dr HC dari Malaysia

Rapat di Perkebunan Teh

Mendengar  perkembangan situasi terjadi agresi militer Belanda di Ibukota Yogyakarta dari radio, dia mengumpulkan pejabat di Sumatra untuk membentuk pemerintah darurat seperti yang sudah dibahas dalam rapat kabinet.

Pertemuan dengan pejabat Sumatra di rumah Teuku Muhammad Hasan, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatra. Mereka setuju gagasan Sjafruddin membentuk pemerintah darurat. Tapi keputusannya menunggu konfirmasi dari Yogya. Saat itu Sjafruddin berharap Hatta balik ke Sumatra memimpin PDRI.

Situasi berubah cepat. Berita radio menyiarkan Yogyakarta diduduki Belanda. Presiden, Wapres, dan menteri ditangkap. Agresi juga terjadi di Bukittinggi. Sjafruddin dan pejabat Sumatra mengungsi di perkebunan teh Halaban, 15 km selatan Payakumbuh.

Di tempat ini diadakan rapat pada pukul 03.00 dini hari. Hadir Sjafruddin, Teuku Mohammad Hasan, Residen Sumatra Tengah Sutan Mohammad Rasjid, Komisaris Negara Urusan Keuangan Loekman Hakim, Koordinator Perhubungan untuk Sumatra Indratjahja, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Sumatra Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Nazir, Kolonel Laut Adam, Direktur BNI Mr. Abdul Karim, Kepala Jawatan Koperasi Pusat Rusli Rahim, Koordinator Kementerian Kemakmuran untuk Sumatra Abdul Latief, Kombes Polisi Umar Said, Kolonel Udara Soejono, dan pejabat lainnya.

Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Rapat pagi itu memutuskan dibentuk PDRI pada Rabu, 22 Desember 1948 pukul 04.30 Sjafruddin terpilih menjadi Ketua PDRI.   

Keputusan ini lantas disiarkan melalui radio ke seluruh dunia. Isi siaran menjelaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tetap ada dan bersifat mobil (bergerak).

Soal memakai istilah Ketua PDRI bukan Presiden PDRI, dalam wawancara dengan harian Pelita pada 6 Desember 1978, Sjafruddin menjelaskan, saat itu belum tahu ada mandat dari Presiden Sukarno, dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.

”Andai kata saya tahu ada mandat tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah Presiden Republik Indonesia untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya,” katanya.

Menurut dia, jabatan Ketua PDRI sebenarnya seorang Presiden Republik Indonesia dengan segala kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh UUD 1945. Diperkuat oleh mandat Presiden Sukarno dan Wapres M. Hatta yang pada waktu itu tidak dapat bertindak sebagai presiden dan wapres.

Baca Juga:  Ki Bagus Hadikusumo dan Cita-Cita Islam sebagai Dasar Negara

Konflik dengan Sukarno

PDRI juga menyusun kabinet menteri. 

  • Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan: Sjafruddin Prawiranegara.
  • Wakil Ketua PDRI merangkap Menteri Dalam Negeri/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/Menteri Agama: Mr Teuku Mohammad Hasan.
  • Menteri Luar Negeri: Mr A.A. Maramis berkedudukan di India.
  • Menteri Keamanan merangkap Menteri Perburuhan, Pembangunan dan Pemuda: Mr Sutan Mohammad Rasjid.
  • Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan: Ir. Mananti Sitompul.
  • Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman: Mr Loekman hakim.
  • Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran: Indratjahja.
  • Sekretaris PDRI: Marjono Danusubroto.
  • Panglima Angkatan Perang: Jenderal Soedirman.
  • Panglima Teritorial Jawa: Kolonel AH Nasution.
  • Panglima Teritorial Sumatra: Kolonel Hidajat.
  • Panglima Angkatan Laut: Kolonel Laut M. Nazir.
  • Panglima Angkatan Udara: Kolonel Udara Soejono.
  • Kepala Polisi: Kombes Umar Said.

Keberadaan PDRI diterima dan diakui oleh pejabat sipil dan militer di daerah lain termasuk Panglima Angkatan Perang Jenderal Soedirman yang sedang bergerilya melapor ke Sjafruddin tentang perkembangannya lewat surat kawat dan radio. Sebab pejabat di Jawa mengetahui mandat presiden kepadanya.

Berjalannya PDRI menjadikan tujuan agresi militer Belanda gagal total. Dikiranya dengan ditawannya Presiden Sukarno dan pejabat lainnya Indonesia bubar ternyata salah perhitungan. 

Apalagi setelah terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 pasukan gerilya Indonesia berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam, kabar ini tersiar di seluruh dunia. Belanda didesak negara-negara dan PBB segera meninggalkan Indonesia dan melepaskan para tawanan.

Posisi PDRI menjadi dilema ketika Belanda mengajak berunding. Belanda mengajukan syarat mau berunding dengan Sukarno dan Hatta yang menjadi tawanan. Padahal pemerintah yang sah saat itu PDRI.

Baca juga: Diplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam

Jenderal Soedirman dan para pejabat mendukung Sjafrudin sebagai perwakilan sah pemerintah RI dan menganggap Sukarno dan Hatta tidak pantas mewakili negara karena statusnya sebagai tawanan.

Sukarno setelah dibebaskan langsung bertindak sebagai presiden dengan membentuk kabinet tanpa ada serah terima pemerintahan dulu dengan Sjafruddin. Sukarno langsung berunding dengan Belanda. Suasana ini menimbulkan konflik antara Sukarno dan Sjafruddin.

Baca Juga:  Sulitnya Mendidik Bani Israel

Perundingan itu melahirkan Perjanjian Roem-Royen yang ditentang PDRI karena dianggap tidak sah dan merugikan Indonesia padahal posisi Indonesia sudah kuat.

Konflik ini akhirnya diselesaikan dalam pertemuan delegasi Sukarno dan PDRI di Kota Kaciek Kecamatan Gugukpanjang Kabupaten Limapuluh Kota pada 6 Juli 1949.

Mohammad Natsir yang merayu Sjafruddin dan pendukung supaya menerima Perjanjian Roem Royen dan menyerahkan mandat kepada Sukarno. Bagaimana pun dunia internasional lebih mengenal Sukarno-Hatta sebagai pemimpin RI.

Sjafruddin menerima saran itu kemudian kembali ke Yogyakarta. Dalam sidang kabinet malam hari, 13 Juli 1949, dipimpin Wapres/Perdana Menteri M. Hatta Sjafruddin menyerahkan mandat Ketua PDRI kepada Presiden Sukarno dan menyampaikan kinerjanya.

Sjafruddin menjadi Presiden PDRI selama enam bulan 21 hari tetapi maknanya luar biasa untuk eksistensi negara RI.

Darah Banten

Sjafrudin Prawiranegara lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911. Ayahnya Raden Arsjad Prawiraatmadja yang menjadi camat dan jaksa Serang. Dia juga aktivis Sarekat Islam. Ibunya Noeraini, perempuan berdarah Sunda-Minangkabau.

Sjafruddin bersekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Ngawi tahun 1924 saat ayahnya dipindah tugas sebagai jaksa di Pengadilan Ngawi gara-gara aktif di Sarekat Islam. Kemudian dia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Madiun. 

Baca juga: Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga

Setamat dari sini meneruskan ke AMS (Algemenee Middlebare School) Bandung. Setamat dari sekolah ini tahun 1932 dia melanjutkan ke Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta lulus tahun 1939.

Kemudian dia bekerja di Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran menjadi administratur merangkap redaktur majalah Soeara Timoer.

Tahun 1940 dia bekerja di Departemen Keuangan ditempatkan di Kediri. Di zaman kemerdekaan dia menjadi Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, dan Gubernur Bank Indonesia. (#)

Penulis Sugeng Purwanto