
Insiden pemukulan terhadap DM oleh sopir pribadi rekan sesama DM, apapun alasannya, merupakan tindakan yang sangat disayangkan dan tidak dapat dibenarkan.
Polemik Jaga RS dalam Pendidikan Profesi Dokter: Antara Kebutuhan Belajar dan Sikap Mental; Oleh: dr. Mohamad Isa
Tagar.co – Dunia pendidikan kedokteran Indonesia baru-baru ini dikejutkan sebuah insiden kekerasan. Seorang Co-Assistant (Co-ass) di sebuah rumah sakit dilaporkan mengalami pemukulan oleh sopir pribadi teman sesama Co-Ass.
Peristiwa ini sontak memicu berbagai tanggapan dan menguak polemik yang selama ini mungkin terpendam dalam sistem pendidikan profesi dokter.
Co-Ass, atau yang lebih dikenal dengan istilah Dokter Muda (DM), merupakan tahapan profesi yang wajib dilalui oleh mahasiswa kedokteran untuk memperoleh gelar dokter. Program ini umumnya berlangsung selama 1,5 hingga 2 tahun di rumah sakit pendidikan.
Selama masa tersebut, DM menjalani kepaniteraan di berbagai departemen atau bagian, mendalami ilmu dan keterampilan medis secara langsung di bawah bimbingan dokter spesialis.
Salah satu aspek penting dalam program profesi ini adalah tugas jaga di rumah sakit. Melalui tugas jaga, DM berkesempatan untuk belajar secara langsung menangani pasien, mengenali sign (tanda-tanda) dan symptom (gejala) penyakit, syndrome (kumpulan gejala), komplikasi, serta penanganan kasus-kasus medis di bawah supervisi Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP).
Tugas jaga ini sejatinya dirancang untuk kepentingan DM itu sendiri, sebagai sarana pembelajaran dan pematangan pengalaman klinis, bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pelayanan rumah sakit.
Semakin sering seorang DM menangani berbagai kasus medis, semakin matang pula pengalaman dan pemahamannya dalam menangani kasus tersebut. Pengalaman ini menjadi bekal yang sangat berharga bagi seorang dokter agar siap dan cakap dalam menjalankan profesinya di masa depan.
Tindak Kekerasan
Insiden pemukulan terhadap DM oleh sopir pribadi rekan sesama DM, apapun alasannya, merupakan tindakan yang sangat disayangkan dan tidak dapat dibenarkan.
Kekerasan tidak memiliki tempat dalam dunia pendidikan, terlebih dalam pendidikan kedokteran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kasus ini harus diproses secara hukum agar memberikan efek jera dan menjadi pembelajaran bagi semua pihak.
Terlepas dari proses hukum yang harus ditegakkan, insiden ini memunculkan pertanyaan penting: Mengapa persoalan tugas jaga DM sampai melibatkan pihak luar, dalam hal ini orang tua dan sopir pribadi?
Lazimnya, jadwal tugas jaga DM diatur oleh koordinator stage DM, dengan sepengetahuan Koordinator Pendidikan (Kordik) Dokter Muda. Kordik, yang biasanya dijabat oleh seorang dosen dan dokter spesialis di departemen tersebut, bertanggung jawab atas bimbingan dan pengawasan proses pendidikan DM.
Jadwal jaga disusun berdasarkan asas keadilan dan kesetaraan waktu, sehingga setiap DM mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan praktik.
Kordik berperan sebagai pembimbing dan pengawas yang siap mengarahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang mungkin timbul dalam proses pendidikan DM. Jika ada ketidaksesuaian atau kendala terkait tugas jaga, seharusnya dapat dikomunikasikan dan diselesaikan bersama Kordik.
Dalam kasus ini, sangat disayangkan DM yang bersangkutan tidak dapat mengkomunikasikan permasalahannya dengan koordinator DM dan Kordik, sehingga melibatkan pihak ketiga yang berujung pada tindak kekerasan.
Menjadi seorang dokter tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual dan keterampilan klinis, tetapi juga kematangan mental dan attitude (sikap) yang baik. Faktor mental dan attitude ini sangat krusial dan perlu ditanamkan sejak dini dalam pendidikan kedokteran.
Dokter yang baik adalah yang tidak hanya kompeten secara medis, tetapi juga memiliki empati, tanggung jawab, dan dedikasi yang tinggi terhadap profesinya.
Penulis, sebagai dosen dan dokter dengan pengalaman 26 tahun membimbing DM, berpendapat bahwa komunikasi dan koordinasi yang baik antara DM, koordinator DM, Kordik, dan pihak-pihak terkait lainnya sangat penting untuk memastikan proses pendidikan berjalan dengan lancar, efektif, dan kondusif.
Harapan
Proses pendidikan profesi dokter merupakan perjalanan panjang yang menuntut penguasaan knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), dan attitude (sikap). Pengetahuan dan keterampilan yang tinggi tanpa diimbangi dengan attitude yang baik akan menjadi sia-sia.
Seseorang yang mungkin kurang pandai atau kurang cakap masih dapat meningkatkan kemampuannya dengan belajar lebih giat dan tekun. Namun, memperbaiki attitude yang buruk jauh lebih sulit dan membutuhkan pembinaan mental yang lebih intensif.
Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai etika, profesionalisme, dan kemanusiaan harus menjadi prioritas utama dalam pendidikan kedokteran, agar kelak lahir dokter-dokter yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berintegritas dan berdedikasi tinggi.
Insiden ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan profesi dokter untuk kembali merefleksikan dan memperkuat aspek pembentukan attitude dalam kurikulum pendidikan. (#)
Banjarmasin, 25 Desember 2024
Penyunting Mohammad Nurfatoni