
Tak ada tanda, tak ada suara. Bapak dan Ibu pergi seperti sepasang angin yang kembali ke langit. Tapi cinta, doa, dan kenangan mereka terus tinggal dalam hati anak-anaknya.
Cerpen oleh Nadhirotul Mawaddah, Guru TK Aisyiyah 41 Menganti, Gresik, Jawa Timur
Tagar.co – Mengabdikan hidup di dunia pendidikan tidak menjadikan bapak kaya raya atau bergelimang harta. Namun, kekayaan hatinya membuatku bangga. Bapak, pahlawan tanpa tanda jasa bagiku—anak perempuannya yang senantiasa merindukannya.
Setiap malam sebelum tidur, bapak selalu menuliskan semua aktivitasnya di sebuah buku: dari saat membuka mata hingga tertidur selepas Isya. Entah sudah berapa buku yang menjadi saksi perjalanan hidupnya. Semuanya baru terasa begitu berharga setelah beliau tiada.
Buku-buku itu berjajar rapi di rak tinggi yang bahkan melebihi kusen rumah. Kami masih mengingat betapa istimewanya hari ketika bapak membeli rak itu. Begitu rak datang, kusen rumah harus dibongkar hanya untuk memasukannya. Konyol, mungkin. Tapi itulah bapak—teguh, sederhana, dan penuh cinta pada ilmunya.
Begitu cintanya Bapak kepada Muhammadiyah, hingga warna cat pintu, jendela, bahkan rak piring di rumah kami ia poles dengan warna biru dan kuning.
“Jangan suka melihat ke atas. Lihatlah ke bawah. Banyak sekali anak yang tidak bisa sekolah karena biaya. Jadi kamu nggak usah neko-neko, yang penting bisa sekolah,”
Begitulah nasihat yang kerap ia ulang. Ia ingin kami, anak-anaknya, tumbuh dengan hati yang penuh syukur.
Ketika teman-temannya mulai membeli sepeda motor, bapak tetap setia mengayuh sepeda ontel ke mana pun pergi.
“Lebih sehat dan hemat,” katanya, tersenyum.
Bapak tak pernah membedakan kasih sayang kepada anak-anaknya. Meski kadang terlihat galak, ia sesungguhnya sangat penyayang. Setiap kali mendengar kabar ada anaknya yang akan pulang, Bapak pasti menunggu di depan pintu.
Ahad, 8 Juli 2012, pukul 02.25 WIB. Bapak mengembuskan napas terakhirnya saat semua tertidur. Kepergiannya begitu tenang, menyisakan duka mendalam bagi kami: ibu dan tujuh anaknya.
Sehari sebelumnya, aku pulang bersama anak pertamaku. Kesehatan bapak memang mulai menurun dan sudah tiga bulan terakhir beliau hanya terbaring di tempat tidur. Ia memilih dirawat di rumah.
“Di rumah lebih tenang. Tidak ada suara orang yang tidak dikenal,” katanya suatu ketika. Ia merasa damai dikelilingi orang-orang yang dicintainya.
Malam itu, aku berjaga sambil duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Ibu istirahat di ruang lain. Bapak meminta aku membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia tidak bisa bersuara, tetapi jika bacaanku keliru, ia mencengkeram tanganku—itulah tandanya.
Selang infusnya macet. Panik, aku menelepon kakakku yang seorang tenaga kesehatan. Aku menuruti semua instruksinya, tapi tak berhasil juga. Air mataku jatuh tak tertahankan.
“Ya Allah, aku pasrah. Jika memang bapak harus berpulang, aku ikhlas…”
Bapak tetap terlelap. Wajahnya damai. Aku tak sadar kapan kantuk mengalahkan kesedihanku. Aku terbangun saat ibu membangunkanku di ruang keluarga, persis di depan kamar Bapak. Kakak pertamaku juga ada di rumah malam itu, tapi tak ada satu pun dari kami yang tahu pasti kapan bapak pergi.
Seolah beliau memilih pergi diam-diam, tanpa ribut, tanpa pamit. Hanya suara isak perempuan yang sayup-sayup terdengar—entah dari mana. Ibu menahan tangis, begitu pula adikku. Tapi ada tangisan lain, seperti dari penghuni rumah yang ikut kehilangan.
Setahun setelah kepergian apak, kesehatan ibu mulai menurun. Ia sering menangis diam-diam. Suatu hari, penglihatannya gelap. Kami membawanya ke rumah sakit mata, dan ia divonis menderita glaukoma.
“Untuk kasus Ibu, kami hanya bisa memberikan suntikan untuk menurunkan tekanan intraokular dan mencegah pertumbuhan pembuluh darah abnormal,” kata dokter.
Namun Ibu menolak dengan lembut. Ia lebih memilih pulang dan beristirahat di rumah.
“Terlalu jauh bolak-balik. Waktuku tak banyak,” ujarnya lirih.
Meski penglihatannya kabur, pendengaran Ibu sangat tajam. Setiap hari, ia meminta adikku membacakan Al-Qur’an. Hingga suatu pagi, ia ingin melafalkan sendiri. Ia membaca… lalu tertidur.
Tujuh hari kemudian, ibu berpulang. Tenang, seperti bapak. Kami, tujuh bersaudara, melepas kepergiannya dengan ikhlas. Ia adalah bidadari kami: wanita tangguh yang tak pernah mengeluh, selalu menjadi garda terdepan untuk kebahagiaan anak-anaknya.
Tiga hari sebelum ibu wafat, aku bermimpi. Bapak datang menjemputnya. Ia mengenakan setelan jas, wajahnya bugar dan cerah. Ia hanya tersenyum kepadaku—tanpa suara.
Allah memang Maha Indah dalam setiap takdir-Nya. Seperti sudah mempersiapkan semuanya, ternyata Ibu telah menyiapkan kain kafannya jauh hari. Kain itu ia bungkus rapi dalam plastik hitam dan titipkan kepada bibiku.
“Kalau sewaktu-waktu aku dipanggil, tolong pakaikan kain itu untukku,” pesannya kepada Bibi setahun sebelum kepergiannya.
Bapak, Ibu, tidak ada yang bisa kami hadiahkan kecuali doa yang selalu kami panjatkan setiap selesai salat. Semoga Bapak dan Ibu berbahagia di surga-Nya yang paling indah. Doakan kami, anak-anakmu, agar senantiasa istiqamah dalam kebaikan, dan kelak bisa berkumpul kembali bersama di surga yang sama-sama kita rindukan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni