
ICMI bukan sekadar organisasi, tetapi wadah cendekiawan Muslim yang turut mengubah wajah bangsa. Dari Habibie hingga era kini, jejaknya mengukir sejarah pemikiran, teknologi, dan demokrasi Indonesia.
Apakah Kita Cendekiawan Muslim? (Seri Terakhir): Peran ICMI di Masa Orde Baru, Reformasi, dan Pascareformasi
Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur.
Tagar.co – Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang memainkan peran strategis dalam membentuk arah pemikiran intelektual dan kebijakan negara Indonesia sejak masa Orde Baru hingga era pascareformasi.
Didirikan oleh B.J. Habibie pada 1990, ICMI tak hanya berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Islam, tetapi juga memberi dampak besar dalam ranah ekonomi, sosial, politik, dan teknologi nasional.
Baca juga: Dari Tjokroaminoto hingga ICMI: Jejak dan Peran Strategis Cendekiawan Muslim
Tulisan ini akan mengulas perjalanan ICMI dari masa ke masa, serta menyoroti peran sentral B.J. Habibie dalam membawa ICMI menjadi kekuatan intelektual Muslim yang berpengaruh dalam percaturan kebijakan negara dan proses demokratisasi di Indonesia.
ICMI pada Masa Orde Baru: Pengaruh terhadap Kebijakan Negara
Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Orde Baru dikenal sebagai rezim yang otoriter dan membatasi ruang kebebasan berpendapat. Namun, di tengah ketatnya kontrol negara, lahirlah ICMI pada 1990 sebagai wadah bagi kaum intelektual Muslim. Organisasi ini didirikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi.
Meski pada awalnya dicurigai sebagai alat politik untuk merangkul umat Islam dan meredam ketegangan sosial, ICMI berkembang menjadi kekuatan intelektual yang turut memengaruhi kebijakan negara. Habibie, melalui ICMI, memperjuangkan pentingnya penguasaan teknologi dan riset sebagai kunci modernisasi bangsa. Ia mendorong berdirinya PT Dirgantara Indonesia, simbol ambisi besar Indonesia dalam mengembangkan industri teknologi tinggi.
Namun demikian, banyak pengamat menilai bahwa peran ICMI di era ini lebih banyak bergerak di sektor yang tidak mengganggu stabilitas politik rezim. ICMI dinilai turut melegitimasi kekuasaan Orde Baru dengan melibatkan tokoh-tokoh Muslim yang dianggap sejalan dengan pemerintah (Tanuwidjaja, 1997).
ICMI pada Era Reformasi: Motor Demokratisasi dan Ruang Bebas Berpendapat
Reformasi 1998 membawa gelombang perubahan besar bagi Indonesia. Kebebasan pers dan berpendapat mulai dijamin. Dalam konteks ini, ICMI mengalami transformasi peran. Dari yang semula dekat dengan kekuasaan, ICMI beralih menjadi organisasi yang lebih independen dan kritis.
Kepemimpinan B.J. Habibie sebagai Presiden Indonesia pasca-Soeharto membuka peluang bagi ICMI untuk lebih aktif dalam mendorong demokratisasi. Habibie memperkenalkan sistem multipartai, membebaskan media dari sensor, dan menciptakan iklim politik yang lebih terbuka. Semua itu memberi ruang bagi cendekiawan Muslim untuk terlibat lebih dalam dalam wacana kebangsaan.
ICMI juga menjadi ruang bagi para pemikir Islam moderat seperti Nurcholish Madjid, Amin Abdullah, dan Azyumardi Azra untuk menyuarakan pentingnya Islam yang inklusif dan toleran. Mereka menjadikan ICMI sebagai forum intelektual yang menjembatani dialog lintas agama dan budaya (Madjid, 2005).
ICMI Pasca-Reformasi: Menjawab Tantangan Global melalui Inovasi
Memasuki era pasca-Reformasi, ICMI tetap aktif berkontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia, teknologi, dan kebijakan berbasis pengetahuan. Tantangan global seperti disrupsi teknologi dan perubahan ekonomi mendorong ICMI untuk beradaptasi dan memperkuat posisinya sebagai mitra strategis pemerintah dan masyarakat sipil.
Melalui seminar, pelatihan, dan kerja sama dengan berbagai pihak, ICMI terus mengembangkan kapasitas intelektual bangsa. Salah satu fokus utamanya adalah mendorong ekonomi kreatif dan pemanfaatan teknologi digital, sejalan dengan kebutuhan zaman yang kian kompleks dan kompetitif.
B.J. Habibie: Arsitek Teknokratis ICMI
Tak bisa dimungkiri, B.J. Habibie merupakan tokoh sentral dalam sejarah ICMI. Sebagai teknokrat, ilmuwan, dan negarawan, ia menjadikan ICMI sebagai ruang pengabdian kaum intelektual untuk membangun bangsa melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Visi besar Habibie tercermin dalam kebijakan-kebijakan transformatifnya, baik sebagai menteri maupun presiden. Ia membuka kran demokrasi, memberi kebebasan kepada pers, serta mendorong inovasi dalam industri strategis. Dalam kerangka itu, ICMI menjadi laboratorium ide bagi pembangunan nasional yang berbasis pada ilmu dan iman (Baharuddin, 2018).
Kesimpulan
Sejak berdiri pada 1990, ICMI telah menempuh perjalanan panjang sebagai organisasi cendekiawan Muslim yang berpengaruh. Dari masa Orde Baru yang penuh keterbatasan, era Reformasi yang bergelora, hingga masa kini yang penuh tantangan global, ICMI menunjukkan kemampuan adaptasi dan kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peran B.J. Habibie dalam membidani, membina, dan memimpin ICMI menjadi teladan tentang bagaimana cendekiawan bisa terlibat aktif dalam urusan publik. Dengan memadukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai keislaman, ICMI telah menunjukkan bahwa kaum cendekia bisa menjadi motor kemajuan, bukan sekadar pengamat pasif.
Kini, pertanyaan yang layak diajukan kepada kita semua adalah: Sudahkah kita menjadi cendekiawan Muslim yang benar-benar memberi manfaat bagi umat dan bangsa? (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni