
Penguatan peran TNI dalam bidang sipil dapat menurunkan efektivitas kontrol sipil terhadap militer, yang menjadi salah satu pilar dari negara demokrasi modern.
Oleh R. Arif Mulyohadi, dosen Prodi Hukum Pidana Islam Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim
Tagar.co – Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan DPR pada 20 Maret 2025 hingga kini telah delapan kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia masih menuai kontroversi di masyarakat.
Selama pembahasan revisi UU TNI menjadi sorotan publik, terutama karena mengubah beberapa pasal yang berkaitan dengan peran TNI dalam pemerintahan sipil.
Secara khusus, revisi ini memberikan kesempatan lebih banyak bagi anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Sebuah kebijakan yang sebelumnya lebih dibatasi dalam UU TNI yang lama.
Penambahan jabatan sipil yang dapat diisi oleh anggota TNI dari 10 menjadi 15 jabatan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemungkinan kembalinya dwifungsi ABRI di zaman Orde Baru.
Menurut Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, ahli hukum internasional dan tata negara dari Universitas Indonesia, langkah ini dapat dilihat sebagai mundurnya proses reformasi di Indonesia, yang selama ini berusaha mempertegas supremasi sipil di atas militer.
Dalam pandangannya, penguatan peran TNI dalam birokrasi sipil berpotensi mengurangi kontrol sipil atas aparat militer yang menjadi prinsip dasar dalam negara demokrasi.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah mengalami berbagai reformasi penting dalam tatanan pemerintahan dan sistem ketatanegaraan.
Salah satunya adalah penghapusan dwifungsi TNI yang mengintegrasikan TNI dalam struktur pemerintahan sipil.
Dalam konteks ini, militer tidak hanya bertanggung jawab dalam aspek pertahanan negara, tetapi juga memiliki peran yang signifikan dalam kebijakan pemerintahan.
Namun, pasca reformasi, Indonesia terus berupaya menjaga prinsip supremasi sipil melalui berbagai perubahan dalam struktur ketatanegaraan dan undang-undang.
Terutama penguatan peran sipil dalam menjaga demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, revisi UU TNI yang memungkinkan anggota TNI untuk menduduki lebih banyak jabatan sipil ini mengundang pertanyaan mengenai implikasi reformasi yang sudah dicapai selama ini.
Pemberian kesempatan bagi TNI aktif untuk menjabat di lembaga-lembaga sipil secara langsung mengarah pada kekhawatiran bahwa Indonesia akan kembali menuju sistem pemerintahan yang lebih sentralistik dan kurang demokratis, bahkan mendekati dwifungsi TNI yang telah disingkirkan.
Kontroversi Dwifungsi
Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang diterapkan selama Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang memberikan peran ganda bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu sebagai aparat militer sekaligus sebagai bagian dari aparatur pemerintahan sipil.
Kebijakan ini memungkinkan TNI untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, mulai dari jabatan menteri hingga pejabat daerah.
Pada masa pemerintahan Soeharto, dwifungsi ABRI memiliki dampak yang besar terhadap struktur negara.
TNI tidak hanya menjadi penjaga keamanan negara tetapi juga menjadi pengambil kebijakan dalam pemerintahan, bahkan ikut campur dalam proses legislasi.
Seiring dengan berakhirnya Orde Baru dan bergulirnya reformasi, Indonesia memutuskan untuk memisahkan peran militer dan pemerintahan sipil, serta mempertegas supremasi sipil di atas militer dalam kerangka negara demokratis.
Namun, dengan adanya revisi UU TNI ini, muncul ketakutan bahwa kebijakan penguatan peran TNI dapat membawa kembali sistem dwifungsi ABRI.
Tindakan ini juga menantang prinsip dasar demokrasi, di mana kontrol terhadap lembaga sipil harus tetap berada di tangan masyarakat dan bukan militer. Hal ini, pada gilirannya, dapat menurunkan kualitas demokrasi Indonesia.
Supremasi Sipil
Menurut para ahli hukum tata negara, revisi UU TNI ini memunculkan pertanyaan besar terkait prinsip supremasi sipil yang seharusnya menjadi dasar dari setiap kebijakan negara.
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, seorang pakar hukum internasional dan tata negara dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa langkah ini berpotensi merusak fondasi demokrasi Indonesia.
Dalam karyanya, Juwana menekankan bahwa penguatan peran TNI dalam bidang sipil dapat menurunkan efektivitas kontrol sipil terhadap militer, yang menjadi salah satu pilar dari negara demokrasi modern.
Demikian pula, Prof. Dr. Saldi Isra, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, berpendapat bahwa pemberian ruang bagi militer dalam jabatan sipil tidak sejalan dengan prinsip pembagian kekuasaan yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945.
Dalam buku yang ditulisnya tentang hukum tata negara, Saldi Isra mengungkapkan bahwa kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI ini bukan tanpa alasan.
Sebab, peran militer yang terlalu besar dalam pemerintahan dapat merusak mekanisme checks and balances, di mana eksekutif, legislatif, dan yudikatif seharusnya menjalankan fungsi masing-masing tanpa campur tangan pihak luar.
Dimensi Demokrasi
Dari perspektif hak asasi manusia, kebijakan ini dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam menjaga hak-hak sipil.
Dalam negara demokrasi, prinsip hak asasi manusia harus dijaga dengan sangat hati-hati, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, hak untuk dipilih, dan hak atas pemerintahan yang bersih dari intervensi militer.
Prof. Dr. Noor Mohammad, seorang pakar hak asasi manusia, mengingatkan bahwa kebebasan sipil dapat terancam jika TNI diberi peran lebih besar dalam struktur pemerintahan.
Dalam pandangannya, meskipun peran TNI dalam menjaga keamanan sangat penting, namun pemisahan fungsi sipil dan militer harus dijaga untuk memastikan bahwa hak-hak sipil tetap terlindungi.
Sebagai kesimpulan, revisi UU TNI yang memberikan ruang lebih bagi anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil menimbulkan kontroversi besar yang harus dipertimbangkan secara matang.
Tentu saja, kebutuhan untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional harus menjadi prioritas, tetapi hal tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
Kita perlu meninjau kembali peran militer dalam pemerintahan untuk memastikan bahwa reformasi yang telah dicapai dalam membangun negara demokratis tetap terjaga.
Penguatan peran TNI dalam ranah sipil perlu pembatasan untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan dan memperkuat kontrol sipil dalam sistem pemerintahan Indonesia. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto