Opini

Penguasa Jangan Antikritik

×

Penguasa Jangan Antikritik

Sebarkan artikel ini
Para penguasa perlu meneladani dua pemimpin besar yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Keduanya dikenal sebagai pemimpin yang tidak antikritik.
Penguasa Jangan Antikriitk (ilustrasi freepik.com premium)

Para penguasa perlu meneladani dua pemimpin besar yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Keduanya dikenal sebagai pemimpin yang tidak antikritik.

Opini oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya 

Tagar.co – “Dekan FK Unair Dicopot Setelah Menolak Kebijakan Kemenkes Naturalisasi Dokter Asing”. Demikian, berita pada 3 Juli 2024. Sebelumnya, pada 20 April 2023: “Pemberhentian Dokter Spesialis Bedah di RS Kariadi Semarang Diduga Akibat Kritik RUU Kesehatan.”

Atas setidaknya dua berita di atas, sangat boleh jadi, banyak yang akan berkesimpulan bahwa; Jika ingin selamat, pertama, jangan pernah berani secara terbuka berkata-kata yang benar dan apalagi berbeda pendapat dengan “atasan”. Kedua, sangat berisiko jika menyampaikan kritik kepada pihak lain terutama yang memiliki “posisi di atas”.

Ajaran Mulia

Sungguh rugi, jika banyak anggota masyarakat yang tak berani melakukan kritik. Hal ini, karena dalam keseharian, bersifat kritis itu sangat penting. Berani menyampaikan kritik itu perilaku mulia. Tentang ini, ada dasarnya.

Pertama, ada mutiara kata: “Untuk menghindari kritik; Jangan berkata apapun, jangan berbuat apapun, dan jangan menjadi siapa pun”. 

Pesan moral dari mutiara kata di atas sangat jelas. Bahwa, siapa pun tak bisa menghindari kritik. Bahwa, di kehidupan ini, kritik adalah sesuatu yang niscaya.

Kedua, ada tiga buah ayat. Kita simak Al-Ashr [103]: 1-3, yang artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Baca juga: Menunggu Aksi Alumni Madrasah Haji

Selanjutnya, renungkan telaah Hamka atas ayat di atas di Tafsir Al-Azhar. Kata Hamka, hidup yang bahagia adalah yang bermasyarakat. Maka, hubungkanlah tali kasih sayang dengan sesama manusia. Caranya, saling memberi ingat tentang kebenaran. 

Dalam konteks ini, lanjut Hamka, setiap orang harus merasa dirinya tidak terlepas dari ikatan bersama sebagai sebuah masyarakat yang saling melengkapi. Hamka pun mengutip pepatah yang masyhur: “Duduk seorang bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang”. Maknanya; Rugilah orang yang menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang (1982: 259).

Penting kita garisbawahi kalimat terakhir Hamka di atas: Rugi orang yang menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.  

Kalimat itu perlu terus kita ingat. Tujuannya agar kita tidak menjadi orang yang tak mau tahu dengan situasi sekitar, tak hendak menerima jika ada pendapat yang berbeda. Bahkan, ekstremnya, bertindak semena-mena jika kritik datang menyapa.

Dasar Sabar

Hidup di dunia ini tidak selalu melalui jalan yang lempang. Ada kelokan, ada naik-turun, ada penghalang semisal batu atau jurang. Singkat kata, hidup bergerak dari satu masalah ke masalah yang lain. 

Untuk itu, dalam menghadapi berbagai masalah, perlu saling menasihati. Bermanfaat jika saling memberi ingat dalam hal kebenaran. Di titik ini, pada masing-masing pihak yaitu pemberi nasihat dan penerima nasihat, harus sabar. 

Selalu amalkan ayat ini: “Dan, nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”. Terkait ini, Hamka mengingatkan, bahwa sabar hanya dapat dimiliki oleh yang kuat jiwanya (1982: 259). 

Cermin Umar 

Agar kita, terutama penguasa, punya pegangan yang kukuh saat menghadapi kritik, perlu meneladani performa dua pemimpin besar yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Dari keduanya, kita akan belajar bagaimana masyarakat mengambil posisi sebagai sumber kekuatan dalam amar makruf nahi munkar.

Dengarlah pidato Abu Bakar Ash-Shiddiq di waktu ditetapkan sebagai khalifah, di depan orang banyak: “Sesungguhnya aku sudah dipilih (menjadi penguasa) atas kamu. Sementara, aku bukanlah seorang yang paling baik di antara kamu. Bila kamu melihatku bertindak benar, maka bantulah aku. Bila kamu melihat aku bertindak salah, betulkanlah aku.”

Baca juga: Cara Meraih Nol Musuh

Kemudian, ketika Umar bin Khaththab Ra ditetapkan sebagai pemimpin/ khalifah dan menyampaikan seruan yang sama seperti pendahulunya (Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra) lalu tampil seorang yang miskin. Dia berkata, “Demi Allah, jika kedapatan oleh kami suatu ketidakjujuran pada dirimu maka kami akan betulkan dengan ujung pedang.”

Tajam kata-kata yang diucapkan oleh seorang warga masyarakat itu. Tetapi, Umar bin Khaththab Ra yang terkenal sebagai orang paling tegas (untuk tak menyebut paling keras) tenang saat menghadapi ucapan semacam itu. 

Lalu Umar merespons dengan jiwa besar: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di tengah-tengah umat Umar seorang yang sanggup membetulkannya dengan ujung pedang.”

Satu fragmen lagi, di kesempatan lain. Khalifah Umar bin Khaththab hendak menyampaikan suatu perintah kepada umatnya. Dimulainya sebagaimana biasa, dengan pengantar: “Dengarkan dan taatilah.”

Tiba-tiba, salah seorang dari hadirin menginterupsi: “Tidak akan kami dengarkan dan tidak akan kami taati”.

“Kenapa tidak,” tanya Khalifah Umar.

“Kami mau tahu lebih dahulu, dari mana engkau peroleh pakaian yang sedang engkau kenakan,” tukas orang itu.

Ceritanya, kala itu Khalifah Umar memakai pakaian dari bahan “jatah pembagian dari kas negara”. Semua orang dapat, karena dibagikan secara merata kepada umum.

Si orang itu kritis. Dia tahu, perawakan Umar besar dan tinggi. Sementara,  jatah kain sedikit dan mestinya tidak cukup untuk Umar.

Baca juga: Cinta Hamka kepada Guru-Guru Istimewa

Lalu Abdullah bin Umar, putra Umar, diminta menjelaskan duduk soalnya. Dia bilang, bahwa jatah yang didapatnya telah dihadiahkan kepada sang ayah agar saat dijahit cukup.

Lihatlah, Umar yang dikritik, tidak meradang. Umar tak memanfaatkan posisinya sebagai khalifahatau pemimpin agar bebas dari kritik.

Berikutnya, setelah si warga yang kritis itu tahu asal-usul dari pakaian Umar, berucap: “Jika begitu, sekarang, silakan. Kami dengar dan akan patuh” (Natsir, Fiqhud Da’wah, 1983: 115-116).

Menunduk

Demikianlah, ada teladan. Bahwa, khalifah (pemimpin tertinggi) memulai penunaian amanatnya dengan menawarkan diri mereka sendiri untuk menjadi sasaran bagi amar makruf nahi mungkar. Dengan ini, akan tumbuh subur kekuatan-kekuatan. Pertama, kekuatan pengendalian diri. Sang pemimpin akan tak henti introspeksi. Kedua, kekuatan berupa keberanian seluruh warga  dalam mengoreksi pemimpin mereka.

Jadi, kita telah; membaca Al-Ashr 1-3; mengingat nasihat Hamka di Tafsir Al-Azhar, dan membayangkan praktik Umar dalam menerima kritik. Dengan demikian, masihkah kita alergi kritik? Masihkah kita akan menjawab suara kritis dengan bahasa kekuasaan? (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Baca Juga:  Para Pendakwah Pengubah Sejarah Indonesia