Pendakwah mengubah sejarah, bisakah? Benarkah sejarah bisa diubah? Punya kemampuankah pendakwah mengubah sejarah? Siapa saja mereka? Bagaimana dampak dakwah mereka bagi sejarah bangsa lndonesia?
Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku inspiratif.
Tagar.co – Boleh jadi, banyak yang akan segara menyoal membaca buku saya yang berjudul: 50 Pendakwah Pengubah Sejarah. Misalnya, benarkah sejarah bisa diubah? Punya kemampuankah pendakwah mengubah sejarah?
Rasa penasaran seperi di atas wajar, sebab pada dasarnya sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar telah terjadi pada masa lampau. Kejadian dan peristiwa itu telah selesai dan tidak mungkin berubah: Titik!
Lalu, apa makna ”mengubah sejarah” pada judul buku terbitan Pro-U Media Yogyakarta itu? Apa pesan yang ingin disampaikan lewat pemilihan judul itu?
Mengapa Sejarah
Dari sejarah kita akan mendapatkan banyak ibrah atau pelajaran. Terkait ini, tak hanya kisah dari para Rasul dan Nabi, tapi juga dari manusia pada umumnya.
Pelajarilah sejarah! Cermatilah kisah! Pada sejarah hidup seseorang ada ibrah (pelajaran, pesan-pesan berharga) yang dapat diambil oleh siapapun.
Buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah menghimpun lima puluh kisah hidup pendakwah yang kesemuanya telah wafat. Memang, sengaja dipilih yang telah berpulang ke Rahmatullah karena kisah atau riwayat mereka sudah ditutup. Jika sampai akhir hayatnya seseorang dikenal secara luas tetap istikamah dalam berdakwah, maka dia masuk kriteria untuk bisa masuk buku tersebut.
Siapa pendakwah? Pendakwah adalah siapapun yang dengan sengaja mengajak orang lain untuk beriman dan bertakwa kepada Allah lewat beragam cara yang dibenarkan oleh Islam. Maka, dengan demikian, peluang untuk menjadi pendakwah terbuka bagi siapa pun.
Baca juga: Islamic Book Fair, Pro-U, dan Kisah ‘Buku Dilawan Buku
Tentu saja, dalam konteks ini, yang termasuk pilihan utama sebagai pendakwah adalah para ulama. Ini bisa kita mengerti karena ulama adalah ahli waris para Nabi. Maka, tak mengherankan bahwa sebagian besar isi buku ini berasal dari kalangan ulama.
Namun demikian, buku ini juga memberi ruang kepada pendidik, politisi, jurnalis, penulis, intelektual, pekerja seni, atau ”profesi” lainnya.
Ke-50 pendakwah di buku ini lalu dikelompokkan pada semacam rubrikasi. Tentu saja, rubrikasi di sini sangat cair sebab mereka rata-rata memiliki banyak bakat, aktivitas, dan kecakapan yang khusus. Hamka, misalnya.
Di buku ini dia dimasukkan ke rubrik ”Bapak-Anak, Istikamah di Medan Dakwah” karena bersama sang ayah–yaitu Abdul Karim Amrullah—keduanya dikenal sebagai pendakwah yang konsisten dan menonjol. Tetapi, di samping itu, kita tahu bahwa ”Hamka adalah Sang Otodidak ‘Produsen’ Seratus Buku”. Artinya, Hamka juga sangat bisa dimasukkan ke dalam rubrik “Tetap ‘Hidup’ bersama Karya Tulisnya“ yang ada di buku ini.
Agar Tergugah
Ketika kita membaca “Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah yang Tak Lelah Berdakwah” (h.64-68), kita–yang selama ini merasa tak perlu berdakwah karena merasa tak punya kewajiban–akan mendapatkan sebuah pernyataan Ahmad Dahlan yang sangat menyengat: “Jika kamu berhalangan untuk bertabligh, janganlah permisi kepadaku. Tapi, permisilah kepada Tuhan dengan mengemukakan alasanmu. Setelah itu, kamu (harus) bertanggung-jawab atas perbuatanmu.”
Bukan tak mungkin, selesai membaca semangat dakwah Kiai Dahlan yang menggelegak itu, akan membuat kita berazam, yaitu “Mulai saat ini, semua aktivitas keseharian saya harus bernilai dakwah”. Allahu Akbar!
Baca juga: Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Catatan Media dan Sahabat
Di saat kita membaca “Rahmah El-Yunusiyah, Pendidik Sukses dan Syaikhah Pertama dari Al-Azhar“ (h.209-213), misalnya. Kita lalu mendapati gambaran sosok Rahmah El-Yunusiyah sebagai “Aktivis pergerakan nasional. Dia aktif memajukan pendidikan terutama untuk meningkatkan derajat kaum wanita berdasarkan Islam. Muridnya banyak yang sukses dan model sekolahnya-Diniyyah Putri School-diadopsi Al-Azhar Mesir”.
Bukan tak mungkin, selesai membaca perjuangan Rahmah El-Yunusiyah itu, akan membuat kita (terutama kaum perempuan) akan bertekad: “Semoga saya bisa menjadi seperti dia dan–syukur-jika lebih dari itu.”
Dahlan, Hasyim, dan Natsir
Di buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah ada KH Ahamad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan Mohammad Natsir. Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912. KH Hasyim mendirikan NU pada 1926. Mohammad Natsir mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1967.
Muhammadiyah telah berusia lebih dari seratus tahun. NU segera akan berusia satu abad. Kiprah keduanya dalam membangun (baca: mewarnai) Indonesia tak seorangpun yang bisa menolaknya. Bahkan, kader-kader Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan Hasyim Asy’ari (NU) banyak juga yang telah turut mewarnai dunia dengan berbagai kontribusinya. Hal ini, insya Allah akan terus berlangsung sampai waktu yang sangat panjang.
Baca juga: Ismail Haniyeh Terus ‘Hidup’, Isyarat Surat Ali Imran yang Dia Baca
Hal yang mirip, terjadi juga di DDII atau juga sering disapa Dewan Da’wah. Antara lain lewat Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir dan Akademi Dakwah Indonesia (ADI), lulusannya telah banyak yang mewarnai Indonesia. Kader-kader Natsir itu telah berdakwah di berbagai pelosok Indonesia.
Setidaknya dari sekadar tiga contoh pendakwah di atas, jelas sekarang apa maksud dari ”Mmengubah sejarah” pada judul buku saya. Jika mau, contoh bisa diperpanjang. Misal, berapa banyak murid Hamka yang telah berkontribusi mewarnai Indonesia bahkan dunia? Murid-murid itu bisa dalam artian langsung yaitu belajar kepada Hamka atau belajar kepada karya-karya Hamka terutama kepada Tafsir Al-Azhar.
Sungguh, nikmat Allah itu tak berbilang. Termasuk, Allah anugerahi kita dengan banyak pendakwah yang mampu mengubah (baca: mewarnai) sejarah. Allahu Akbar! (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni