Feature

Pagar Laut Tangerang Direklamasi, Dosen UMM Hitung Bisa Untung 300T

745
×

Pagar Laut Tangerang Direklamasi, Dosen UMM Hitung Bisa Untung 300T

Sebarkan artikel ini
Pagar laut di Tagerang biayanya besar mustahil swadaya nelayan. Tujuannya jelas untuk reklamasi. Kalau sudah jadi daratan proyek ini keuntungannya ratusan triliun.
Pagar laut Tangerang disegel.

Pagar laut di Tagerang biayanya besar mustahil swadaya nelayan. Tujuannya jelas untuk reklamasi. Kalau sudah jadi daratan proyek ini untungnya ratusan triliun.

Tagar.co – Pagar laut 30,16 kilometer di kawasan Tangerang melihat sudah ada sertifikat sepertinya bakal menjadi proyek reklamasi untuk komersial. Keuntungan investor bisa menjadi ratusan triliun.

Demikian disampaikan ahli Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Lautan, Dr. David Hermawan, M.P., IPM., dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (22/1/2025).

Lantas David Hermawan memaparkan analisis yang mengungkap fakta-fakta mengkhawatirkan terkait kasus ini.

“Pagar sepanjang 30,16 kilometer ini menelan biaya hingga Rp 4-5 miliar. Angka sebesar itu jelas tidak berasal dari gotong royong masyarakat biasa. Ada pihak besar yang membiayai proyek ini,” katanya.

Alasan pencegahan abrasi menggunakan pagar bambu, lanjut dia, juga tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Metode yang lazim digunakan adalah breakwater atau bronjong batu, bukan pagar bambu.

Temuan di lapangan mengungkap indikasi yang lebih besar. Berdasarkan data, terdapat 263 bidang tanah yang telah bersertifikat di kawasan tersebut.

Baca Juga:  Skandal Pagar Laut, Sinyal Pemerintah Tak Ada

Mayoritas dimiliki oleh perusahaan-perusahan besar menguasai 20 bidang, bahkan hingga 234 bidang. Sisanya dimiliki oleh perseorangan.

Fakta ini menunjukkan bahwa proyek pagar laut ini bukan sekadar untuk konservasi lingkungan, melainkan bagian dari rencana reklamasi besar untuk pembangunan kota baru seluas 30.000 hektar.

“Nilai ekonominya untuk penguasaan lahan bisa mencapai Rp30 triliun. Namun, kalau nantinya setelah reklamasi, nilai proyek ini diperkirakan mencapai Rp300 kuadriliun. Dengan asumsi luas reklamasi 30.000 hektare atau 30 juta meter persegi, dan nilai tanah minimal Rp10 juta per meter persegi, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp300 triliun,” ungkapnya.

Dampaknya terhadap lingkungan laut dinilai sangat besar. Pola arus laut akan berubah, ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat ikan juga akan rusak. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga keberlanjutan ekologi yang harus dipikirkan.

Lebih dalam, ia mengungkap sejumlah potensi pelanggaran prosedur. Reklamasi laut seharusnya memiliki izin resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas, serta penyesuaian tata ruang dan zonasi.

Baca Juga:  UMM, Kampus Putih yang kian Menghijau: Raih Predikat Kampus Paling Berkelanjutan

Sayangnya, sambung dia, proyek pagar laut ini diduga berjalan tanpa izin.

“Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus berlandaskan prinsip keberlanjutan, melindungi ekosistem, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Proyek ini melanggar prinsip-prinsip tersebut. Kawasan ruang laut tidak boleh disertifikatkan, baik berupa SHGU maupun SHM,” tegasnya.

Ia juga menyoroti keterlibatan sejumlah pengembang besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK 2), yang diduga memonopoli lahan laut. Hal ini tidak hanya menimbulkan persoalan hukum, tetapi juga mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat kecil yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan.

“Proyek pagar laut ini sebaiknya dipertimbangkan ulang bahkan dihentikan karena dampaknya merusak ekosistem dan tatanan sosial masyarakat pesisir,” tandasnya.

Pemerintah harus bergerak cepat menegakkan aturan dan memastikan semua prosedur dijalankan dengan benar.

”Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, saya berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kasus ini. Peraturan ada untuk ditegakkan. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?” ujar dosen UMM ini. (#)

Baca Juga:  Kiat Sukses dari Oxford untuk Wisudawan UMM

Penyunting Sugeng Purwanto