Novel sejarah Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati (1875-1943): Sebuah Novel Sejarah seperti menghadirkan sang tokoh bersama pembacanya. Menarik untuk dibaca.
Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang dan sebelas judul lainnya
Tagar.co – Sebuah buku, lebih tepat novel, baru saja hadir. Judulnya, Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati (1875-1943): Sebuah Novel Sejarah. Penulisnya, Ady Amar. Saat diluncurkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada 03 November 2024, hadir banyak kalangan.
Novel itu menarik dan berharga. Pertama, ini biografi Ahmad Surkati yang kali pertama dinovelkan. Kedua, penulisannya elok. Sedemikian rupa, di novel setebal 273 halaman ini mampu ”menghidupkan” Surkati. Benar, karena terasa Surkati hadir dan kita membersamainya sedari kecil hingga wafat.
Selanjutnya, lewat novel ini, kita makin paham bahwa: 1).Betapa berbahagianya Surkati kecil. 2).Di Mekkah keilmuan Surkati diakui. 3).Betapa Surkati-yang lahir di Sudan-ikhlas datang dari Mekkah ke Indonesia (yang saat itu sedang terjajah). Niatnya, untuk berjihad terutama lewat jalur dakwah dan pendidikan. 4).Betapa luas pergaulan Surkati terutama dengan para aktivis pergerakan. 5).Betapa sabar Surkati menerima berbagai ujian hidup.
Surkati Kecil
Surkati yang lahir pada 1875 di Sudan, tumbuh-kembang di sebuah keluarga pecinta ilmu. Ayahnya lulusan Al-Azhar Mesir dan punya banyak buku. Sang ayah tahu persis bagaimana membina Surkati agar kelak menjadi ulama-pejuang.
”Sikap Ayah selalu memberi ruang bagiku untuk masuk menata dialog, benar-benar menjadikan diriku tangguh dalam berpikir. Berkali-kali tatkala Ayah menatapku, aku melihat dengan terang semburat hasratnya yang memancar kuat agar aku tumbuh melebihi dirinya. Di relung hatiku sejatinya aku menyanggupi keinginan Ayah itu. Aku memang ingin memiliki banyak buku seperti Ayah sebagai senjata untuk melawan orang-orang bodoh dan orang-orang zalim. Bukankah berlaku tekun belajar di tengah sangkarut zaman bisa menjadi pilihan jihad? Ini yang paling mungkin bagiku. Dalam keyakinan Ayah, masa depan umat manusia tak berhenti di ujung senapan, melainkan akan terus bergerak dengan torehan ujung pena” (h.10).
Sangat sering Surkati menikmati cara sang ayah dalam mendidiknya. ”Tak jarang Ayah dengan sengaja meraih tanganku untuk berjalan di sampingnya ke banyak tempat di mana aku bisa merenggut pelajaran baru. Aku benar-benar terkesan. Kesan yang begitu mendalam, karena lahir di tengah keluarga yang diliputi kemuliaan ilmu Al-Islam dan disejuki lantunan ayat-ayat Al-Qur’an” (h.15-16).
Rangsangan kepada Surkati untuk terus maju, dipilihkan sang ayah secara baik. Di h.17 kita dapatkan dialog yang indah. Indah sekaligus inspiratif.
”Lanjutkan hafalanmu sampai tamat,” kata Ayah.
”Baiklah,” sahutku pendek dengan senyum.
”Nanti agak siang kita pelesir.”
”Pelesir ke mana?”
”Ke tempat yang belum pernah terbayang olehmu.”
Selanjutnya, masih tentang cara si ayah dalam mendidik Surkati. Oleh ayahnya, dia disekolahkan ke kota lain. ”Ayah tahu betul aku akan menjadi penghafal Al-Qur’an seperti impiannya. Untuk sampai ke Ma’had kami menempuh jarak perjalanan 60 mil sampai ke jantung Kota Dongola. Aku merasakan kelelahan tak terkira, sedangkan Ayah tak pernah menampakkan rasa lelah di wajahnya. Ayah sengaja menyembunyikan segala lelahnya di balik senyumnya. Setiap kali aku melihat senyum ayah, sontak cita-citaku untuk menjadi ulama membumbung tinggi” (h.22).
Di Makkah Diakui
Sayang, tersebab situasi di Sudan, Surkati tidak kesampaian mengikuti jejak ayahnya untuk studi di Al-Azhar. Tapi, dengan restu keluarga dia lalu ke Madinah dan Mekkah untuk belajar.
Di Madinah Surkati berpikir. ”Setelah empat setengah tahun tinggal di Madinah. Aku pun merenungi keberadaanku. Seberapa besarkah ilmu yang telah kureguk di sini? Hingga akhirnya aku memutuskan untuk ke Mekkah” (h.42).
Tak terasa lebih dari 11 tahun Surkati belajar di Makkah. Dia lalu mendapatkan predikat ’Allamah dari majelis ulama di Makkah. ”Kini aku menjadi orang Sudan pertama yang dikukuhkan dalam daftar nama-nama ulama Mekkah. Aku telah menjadi pengajar resmi di Masjid Al-Haram. Aku pun diangkat sebagai Mufti” (h.45).
Sprit di KA
Berbekal undangan Jamiat Khair, Surkati datang ke Indonesia. Dia mengajar di organisasi dakwah dan pendidikan itu. Dia majukan prestasinya.
Pada 1912, saat pelajar libur sekolah, Ahmad Surkati mengadakan rihlah ke Solo. Tanpa sengaja, di atas kereta api dia bertemu Ahmad Dahlan. Terjadilah dialog menarik dalam suasana penuh persaudaraan.
Surkati bahagia. ”Aku senang karena dia-Ahmad Dahlan-telah menyanggupi beberapa saranku. Kami pun sepakat untuk terus menjalin hubungan erat. Duh, betapa aku sangat menikmati perjalanan ini dan tak pernah menyangka takdir akan mempertemukanku dengan Haji Ahmad Dahlan di sini. Hal ini terasa bagai sebuah rencana Ilahi yang tak terduga. Tentu ada hikmah di baliknya” (h.80).
Bergerak dan Bergerak
Di Solo, di sebuah pertemuan, Surkati ditanya seseorang tentang sebuah hukum. ”Maka aku mengeluarkan sebuah fatwa tentang jaiz atau sahnya pernikahan seorang perempuan syarifah dengan seorang lelaki Muslim yang bukan sayyid” (h.83).
Rupanya, fatwa Surkati di Solo ditolak bahkan ditentang Jamiat Khair. ”Ketika aku kembali ke Batavia-Jakarta-tak sedikit pengurus Jamiat Khair yang menunjukkan paras muka masam. Kehadiranku seperti tak lagi dibutuhkan. Akhirnya aku memutuskan untuk undur diri dari Jamiat Khair. Kuputuskan untuk kembali ke Mekkah. Namun tak dinyana, beberapa orang datang mencegah langkahku” (h.84-85).
”Sekonyong-konyong aku teringat akan ucapanku sendiri menjelang berangkat dari Mekkah ke Batavia, bahwa bagiku mati di Jawa dengan berjihad itu jauh lebih mulia daripada harus hidup dan mati di Mekkah tanpa melakukan apapun” (h.88).
”Aku akan menghabiskan sisa umurku untuk memajukan pendidikan umat Islam di negeri yang kucintai ini. Tak akan ada yang mampu mengukur begitu dalamnya rasa cintaku pada saudara-saudaraku seperjuangan” (h.89). ”Aku pun mengatakan bahwa memang perjalanan dakwah untuk menebarkan nilai-nilai pembaruan Islam masih banyak penentangnya, tetapi aku menyadari bahwa itu bukan suatu penentangan abadi. Suatu saat nanti ketika pendidikan telah berhasil mencerdaskan kembali umat Islam, semangat pembaruan Islam akan dipeluk erat” (h.91).
Sampailah Surkati kepada sebuah awalan baru dalam berorganisasi. ”Ahad 6 September 1914 sebuah kesepakatan berhasil kami capai bahwa kami akan mendirikan madrasah di bawah kepemimpinanku, alhamdulillah. Namanya, Al-Irsyad Al-Islamiyah” (h.93). ”Belum genap setahun, Madrasah Ali-Isyad sudah mendapat tempat yang luas di kalangan umat Islam” (h.96).
Pada 1917 berdiri cabang Al-Irsyad di Tegal. Masih di 1917, berdiri di Pekalongan. Berikutnya, di Bumiayu pada 1918. Terus di Cirebon, pada 1918 juga. Pun, di Surabaya pada 1919 (h.108-111).
Surkati terus bergerak. ”Siang ini aku memberikan ceramah di School tot Opleiding vn Inlandsche Artsen, sebuah sekolah kedokteran pribumi. Orang-orang biasa menyebutnya STOVIA. Sekolah ini merupakan sekolah kedokteran pertama yang mendidik kaum bumiputera di Batavia” (h.114).
Jaringan Luas
Surkati bersahabat dengan Haji Omar Said Tjokroaminoto. Tersebab gerakannya, sang sahabat ditahan penjajah. ”Begitu mendengar kabar Haji Omar Said Tjokroaminoto telah menghirup udara bebas, aku berusaha menemuinya di Surabaya. Sungguh aku sangat terkesan pada hubungan kami yang erat. Meski usianya lebih muda tetapi cakrawala berpikirnya begitu luas. Dia memang dikenal luwes, punya banyak teman dari bermacam-macam latar belakang. Maka tidak heran bila rumahnya di Peneleh Surabaya dihuni para aktivis pergerakan” (h.140).
Lalu, saat Surkati bertemu Tjokroaminoto, terjadilah dialog yang hangat. Surkati simpulkan, ”Dia pun bersepakat untuk mendukung gerakan Pan Islam yang pertama-tama dihembuskan Jamaluddin Al-Afghani. Hal ini jelas akan membantunya membuat strategi baru dan melakukan penyegaran kembali terhadap langkah-langkah perjuangan Sarekat Islam” (h.141).
Pertemuan kedua tokoh itu, hidup. Kata Surkati, ”Dia terus saja berbicara tentang segala sesuatu dengan bahasa yang memukau. Aku kagum dibuatnya. Dia memang piawai dalam menyiasati perjuangan menuju kemerdekaan (h.146).
Media dan Dakwah
Surkati itu visioner. Dia paham betul, bahwa dalam berdakwah dan mendidik harus lengkap antara penggunaan kekuatan lisan dan tulisan. ”Aku pun tak henti menganjurkan kepada murid-muridku supaya mereka menggunakan media cetak sebagai tangga menyebarkan dakwah pembaharuan Islam” (h.158).
Surkati sangat yakin akan kontribusi positif tulisan dalam dunia dakwah. ”Aku terus saja memberikan nasihat kepada pengurus Al-Irsyad di berbagai kesempatan agar mereka tak bersikap abai terhadap media cetak. Mengabaikan media cetak dalam dakwah adalah kerugian” (h.158).
Oleh karena itu, ”Aku tak ragu sedikitpun bahwa usaha menerbitkan majalah Ad-Dakhirah Al-Islamiyyah akan membantu mempercepat misi perjuangan untuk sampai di jantung kehidupan umat” (h.158). Terkait, maka ”Tanpa ragu aku sendiri yang bertindak selaku pemimpin redaksi. Aku berharap kandungan isinya dapat meluruskan pemikiran yang masih bengkok” (h.157).
Selanjutnya, Surkati gembira dengan kehadiran media-media cetak di Al-Irsyad. Ada majalah As-Salam dan majalah Al-Qistas di Al-Irsyad Surabaya. Ada Asy-Syifa di Pekalongan. Ada majalah Borobudur di Batavia (h.159).
Dekat Aktivis
Pada sebuah hari Surkati menghadiri undangan Jong Islamieten Bond (JIB). Dia duduk di samping Agus Salim menghadap hadirin (h.209). Di situ, keduanya menjadi pembicara.
Pada kesempatan lain Agus Salim bercerita kepada Surkati bahwa dirinya suka menggeluti dunia tulis-menulis. Alhasil, ”Kami berada dalam satu pandangan, bahwa media cetak adalah alat perjuangan yang sangat ampuh” (h.210).
Banyak murid Surkati. Sekadar menyebut, saat mengajar di Lawang Surkati punya murid yaitu Mohammad Rasyidi. Di Jakarta, ada Natsir dan Kasman Singodimedjo. Ada lagi Muhammad Yunus Anis dan Fachrodin. Kita tahu, di kemudian hari mereka adalah pemimpin-pemimpin besar di masanya.
Jaringan Luas
Rasakanlah kedekatan Surkati dengan banyak tokoh Islam dan dari berbagai kalangan. ”Pagi ini aku bergegas melangkah ke tempat pertemuan yang telah disiapkan. Kali ini di Surabaya. Orang-orang sudah berdatangan. Mereka adalah pejuang-pejuang Islam ternama dan patut dibanggakan. Dalam pertemuan ini, sengaja beberapa ulama terkemuka diundang dari berbagai kalangan untuk berdiskusi dan saling mengenalkan diri. Berharap perbedaan pandangan ubudiah di tengah-tengah kehidupan umat Islam tak diruncing-runcingkan. Pertikaian bukanlah adab yang patut dipelihara” (h.218).
Di acara itu, Surkati senang. Dia bisa ketemu KH Mas Mansur. Berjumpa pula dengan KH Hasbullah Wahab dan KH Hasyim Asy’ari. ”Saat itu Hasyim Asy’ari menyodorkan kepadaku sebuah karya tulis yang telah tersusun rapi dan mengatakan itulah hadiah dari dirinya sebagai sesama pengikut mazhab Syafi’i. Membacanya sekilas saja, aku sudah terkagum-kagum. Ternyata karya tulis berbahasa Arab ini ditulis sendiri oleh KH Hasyim Asy’ari” (h.219).
Saat Sakit
Pada Surkati, di organisasi ada ujiannya. Di tengah masyarakat, ada cobaannya (misal, ada yang menyebutnya sebagai sesat). Pada pribadinya, Surkati diuji sakit.
Berikut, ujian fitnah. Suatu hari, Surkati ke Cilegon, akan berdialog secara terbuka dengan sejumlah kiai dan ulama di sana. Mereka telah mengirim tantangan untuk berdebat. Ini, karena mereka menilai Surkati sebagai ulama yang sesat.
Sayang, “Pada waktu yang ditentukan sebagian besar dari mereka terutama para pemukanya tak kunjung hadir. Lalu aku berdialog cukup panjang dengan sebagian kiai dan ulama yang hadir. Tak seorangpun dari mereka bisa memberikan bukti dan mengemukakan argumentasi tentang tuduhan sesat yang sekian lama dialamatkan kepadaku” (h.165).
Selanjutnya, ujian sakit sampai kedua bola matanya harus dilepas. Selepas operasi, tamu datang silih berganti. Di sebuah malam datang A.Hassan (Persis) dengan Soekarno (yang kelak menjadi presiden pertama RI).
Datang juga menjenguk Haji Abdul Karim Amrullah. Ayah Hamka ini, yang juga dikenal dengan panggilan Haji Rasul, datang menyapa. Dia bertanya perkembangan kesehatan sang sahabat.
Apa respons Surkati? ”Aku menceritakan sebagaimana yang kualami. Aku bisa merasakan rambatan kesedihan Haji Rasul setelah mendengar ceritaku. Namun, aku berlekas-lekas saja menghiburnya dengan mengalihkan pembicaraan pada perihal dakwah dan perjuangan umat” (h.262).
Baik Sekali
Sekitar pukul 10.00 WIB, Kamis 6 September 1945, Ahmad Sukarti wafat di Jakarta. Datang banyak orang bertakziyah. Terlihat, ada Soekarno. Ada juga, Wondoamiseno yang Ketua Majelis Islam A’la Indonesia atau MIAI (h.268).
Ahmad Surkati telah lama meninggalkan kita. Kiprah kepejuangannya patut kita terus baca sekaligus teladani. Untuk itu, di samping buku-buku tentang biografi Ahmad Surkati yang sudah ada, maka novel karya Ady Amar ini layak memperkaya ”perkenalan” kita dengan pendakwah-pejuang yang luar biasa tersebut.
Buku atau novel ini bagus. Proses penulisannya, kata sang penulis, memakan waktu sekitar tiga bulan. Hanya saja untuk pengumpulan bahan-bahannya, atau risetnya, memakan waktu tahunan. Itu pekerjaan yang tak ringan. Untuk itu, selamat Pak Ady! (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni