Feature

Ngaji Tafsir Ibnu Katsir: Berdosa karena Terlalu Banyak Bertanya

182
×

Ngaji Tafsir Ibnu Katsir: Berdosa karena Terlalu Banyak Bertanya

Sebarkan artikel ini
Ngaji Tafsir Ibnu Katsir hari ini membahas "Berdosa karena Terlalu Banyak Bertanya". Topik ini mengemuka dari kajian tafsir Q.S. Al-Maidah ayat 100-102. 
Guru Ismubaqu Mugeb School A. Mujahidul Authon, S.Pd.I. menjadi pemateri Ngaji Tafsir Ibnu Katsir. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Ngaji Tafsir Ibnu Katsir hari ini membahas “Berdosa karena Terlalu Banyak Bertanya”. Topik ini mengemuka dari kajian tafsir Q.S. Al-Maidah ayat 100-102.

Tagar.co – Seorang guru laki-laki duduk di depan panggung. Ia memakai kopyah hitam, berkaca mata, lalu menyelimutkan sorban di kepalanya.

Ialah A. Mujahidul Authon, S.Pd.I., Guru Ismubaqu SD Muhammadiyah 1 GKB Gresik (Mugeb School). Pagi itu ia bertugas menjadi pemateri Ngaji Tafsir Ibnu Katsir hari ke-4, Kamis (6/3/2025).

“Saya cosplay jadi Imam Nawawi,” ujar Authon yang bikin rekan-rekannya panggling sembari geleng-geleng kepala atas usaha keatifnya tampil berbeda. Sehari-harinya ia memang tidak berkacamata, apalagi bersorban.

Program Ngaji Tafsir Ibnu Katsir (Ngijir) berlangsung rutin tiap pagi selama Ramadan. Di Perpustakaan Al-Hikmah Mugeb School pagi itu, Authon mengkaji Rangkuman Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 Q.S. Al-Maidah ayat 100-102.

Ia awalnya membacakan Al-Maidah ayat 100 dan maknanya.

قُلْ لَّا يَسْتَوِى الْخَبِيْثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ اَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيْثِۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya, “Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.”

Ngaji Tafsir Ibnu Katsir hari ini membahas "Berdosa karena Terlalu Banyak Bertanya". Topik ini mengemuka dari kajian tafsir Q.S. Al-Maidah ayat 100-102. 
Guru Mugeb School mengikuti pembiasaan Ngaji Tafsir Ibnu Katsir tiap pagi selama Ramadan. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Tafsir Ayat 100

Terkait ayat 100 ini, Authon mengungkap salah satu hadist di mana Rasulullah bersabda, “Sedikit yang mencukupi bagimu itu lebih baik daripada banyak tapi melalaikanmu”

Di hadapan para guru yang duduk melingkar pada pembiasaan pagi itu, Authon mencontohkan, “Orang kaya loman (dermawan) itu biasa. Banyak yang melakukannya. Kalau miskin loman itu sulit. Kalau tidak beriman, tidak bisa (dermawan).”

Baca Juga:  Telaah Sejarah, Prof. Jainuri: DPR Kini Lembaganya Ada tapi Gak Berfungsi 

Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2010 ini memberi gambaran. “Di dompet si fulan uangnya tinggal Rp 5 ribuan dua lembar. Memasukkan selembar uang Rp 5 ribu itu sulit. Kalau bisa memasukkan uang Rp 5 ribu itu, subhanallah!” katanya.

Menurutnya, ini lebih berat timbangannya daripada infak uang Rp 100ribu dari dompet orang kaya. Ia juga memetik pelajaran, dunia itu fana. “Jangan sambat jika sedang tidak punya uang. Karena tidak punya uang itu yang membuatmu dekat dengan Allah SWT,” tuturnya.

Kemudian, kata Authon, rezeki sedikit yang membuat kita banyak bersyukur ke Allah itu lebih baik daripada rezeki banyak tapi membuat kita tidak bersyukur ke Allah.

Ngaji Tafsir Ibnu Katsir hari ini membahas "Berdosa karena Terlalu Banyak Bertanya". Topik ini mengemuka dari kajian tafsir Q.S. Al-Maidah ayat 100-102. 
Guru Mugeb School mengikuti pembiasaan Ngaji Tafsir Ibnu Katsir tiap pagi selama Ramadan. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Tafsir Ayat 101

Kemudian, ia lanjut membacakan Al-Maidah ayat 101 dan maknanya.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْـَٔلُوْا عَنْ اَشْيَاۤءَ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ ۚوَاِنْ تَسْـَٔلُوْا عَنْهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْاٰنُ تُبْدَ لَكُمْ ۗعَفَا اللّٰهُ عَنْهَا ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (niscaya) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Dari ayat 101 tersebut, Authon menerangkan, “Allah melarang kebanyakan bertanya. Bertanya terus, mengecek apapun. Menanyakan ayat yang sudah jelas itu sebuah pekerjaan yang salah. Sehingga ‘kebawelan’ tadi menjadikan diturunkan ayat selanjutnya.”

Authon mengungkap ketika Rasulullah bersabda, “Kalau kalian tahu apa yang saya alami, sungguh kalian semua akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Baca Juga:  Okeu Setiawan Berbagi Tutorial Sabar dan Beriman di Halaqah Ummahat

Rasulullah, kata Authon, menyesal. Sebab, kebanyakan manusia mengeluh terhadap tugas yang Allah Swt berikan. “Rasulullah hadir di tengah mereka untuk memudahkan ajaran Islam terhadap mereka,” ungkapnya.

Authon lanjut menceritakan ketika Rasulullah selesai berkhutbah yang menjelaskan tentang nasab, Rasul memanggil si fulan dengan nama ayahnya. Memanggil dengan nama ayahnya ini dengan tujuan menjaga silsilah.

“Si fulan bahagia. Begitulah cara Rasul menunjukkan akhlaknya yang mulia,” terang Authon.

Ia pun menarik hikmah, “Apapun yang Anda lakukan kalau itu memudahkan orang lain, lakukanlah. Jadi muamalah. Memberikan kebaikan.”

Contoh lain, Authon menyampaikan, setelah turunnya ayat tentang haji, banyak yang bertanya macam-macam. “Tapi Rasul tidak menjawab. Karena Rasul takut kalau beliau jawab akan turun ayat baru sehingga semakin memperberat umatnya. Beliau peduli nasib umatnya sepeninggalan dirinya,” jelas Authon.

Suatu hari, lanjut Authon, datanglah si fulan yang bertanya, “Rasulullah, haji setiap tahun, ta?”

Rasulullah bingung jadi diam saja. Rasulullah berpikir, “Kalau aku mengatakan iya, tentu itu akan diwajibkan tiap tahunnya. Kalau sudah diwajibkan, kalian semua tidak akan pernah mampu. Kalau meninggalkan, jadi kafir karena itu diwajibkan.”

Rasul hanya ingin ketika bertemu umatnya, kata Authon, umatnya tidak sedang membawa permasalahan perselisihan antara sesama mereka. Umatnya bisa berlapang dada.

 

Tafsir Ayat 102

Berikutnya, Authon membacakan Al-Maidah ayat 102 dan maknanya.

قَدۡ سَاَ لَهَا قَوۡمٌ مِّنۡ قَبۡلِكُمۡ ثُمَّ اَصۡبَحُوۡا بِهَا كٰفِرِيۡنَ

Artinya, “Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.”

Baca Juga:  Kolaborasi Solid untuk Pendidikan Inklusif dan Berkeadilan: Kreasi Resmi Diluncurkan!

Dari ayat 102 di atas, Authon memperjelas, “Sesungguhnya, kaum terdahulu juga melakukan demikian dan jadi kafir terhadap diri mereka.”

Pada ayat ini, kata Authon, Rasulullah menolak semua jawaban. Sebab takut umatnya kelelahan, tidak sanggup menanggung Wahyu yang Rasul jelaskan.

“Dosa yang paling nyata dilakukan Muslim itu bertanya yang awalnya tidak diharamkan, lalu diharamkan karena dia bertanya,” imbuhnya.

Jadi, sesuatu yang tidak ada hukumnya itu berarti mubah (boleh dilakukan).

“Orang-orang terdahulu rusak karena kebanyakan tanya sesuatu yang sudah jelas ayatnya. Lalu lahir hukum baru karena kejahiliyahan mereka bertanya terus,” ungkapnya.

Dari sini Authon menegaskan, “Sesungguhnya, qonaah itu kunci untuk membuka ruang pemahaman dan standar ideal manusia untuk menjalankan kehidupan.”

Lebih lanjut ia menekankan, “Sesungguhnya, pemikiran ideal menjalani kehidupan itu mengetahui sebab kenapa Allah memberimu hidup di dunia ini dan tugasmu sebagai manusia.”

Secara keseluruhan, dari ayat 101-102, Authon menarik kesimpulan, ketiga ayat tersebut jadi solusi untuk seluruh masalah kehidupan. “Sempitnya hidup itu proses menjalani kehidupan. Ketika kita tahu substansi isi Al-Qur’an dan hadits, hidup kita akan lebih tenang. Nggak pakewuh mengurusi hal tidak jelas,” katanya.

Jadi, Authon menyarankan, jangan menciptakan kesenangan semu dengan harta yang kalian miliki. Itu palsu.

“Tapi bangunlah konektivitas dan komunikasi bersama Allah agar kamu tahu untuk apa Allah menciptakanmu,” tutupnya. (#)

Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni