Siapakah Zakaria? Bagaimana episode kehidupannya? Apa saja kemahakuasaan Allah yang diperlihatkan pada Zakaria? Bagaimana dialog Zakaria dengan Allah? Apa makna nama anaknya? Pelajaran apa yang kita dapatkan?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Zaharia adalah salah seorang nabi dan rasul Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Namanya disebut sebanyak tujuh kali, yaitu dalam surat Ali Imran/3:37 (dua kali), 38; Al-An’am/6:85; Maryam/19:2, 7; dan Al-Anbiya’/21:89.
Kisah Zakaria terbagi menjadi dua ‘episode’: yang ada hubungannya dengan Maryam dan yang berhubungan dengan Yahya, seorang nabi dan rasul lainnya.
Baca juga: Tobat Nasional sebelum Azab Meraja-lela
Ibu Maryam menazarkan anaknya (Maryam) untuk menjadi anak yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Permohonan ibunya ini dikabulkan oleh Allah dan menjadikan Zakaria sebagai pemeliharanya sebagaimana firman-Nya:
“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan menjadikan Zakaria sebagai pemeliharanya …” (Ali Imran/3:37).
Dialog Zakaria dengan Allah
Kondisi Zakaria yang semakin menua, sementara dia belum mempunyai putra yang diharapkan mampu melanjutkan dakwah dan perjuangannya, mendorong Zakaria mengadu kepada Allah Swt:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku seorang yang diridai.”(Maryam/19:4-6; baca juga Ali Imran/3:38).
“Zakariya, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang bernama Yahya, yang sebelumnya belum pernah kami ciptakan orang yang senama dengan dia.”(Maryam/19:7; baca juga Ali Imran/3:39).
Baca juga: Ukhuwah, antara Persaudaraan Sedarah dan Seakidah
“Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku padahal istriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.” (Maryam/19:8; baca juga Ali Imran/3:40).
“Hal itu mudah bagi-Ku, dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama sekali.” (Maryam/19:9).
“Ya Tuhanku berilah aku suatu tanda.”
“Tanda bagimu ialah kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.” (Maryam/19:10; baca juga Ali Imran/3:41).
Makna Dialog
Dari dialog yang terekam dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas terlihat bahwa di akhir masa tuanya Zakaria mengharapkan munculnya generasi penerus yang rabi-radiya
(yang diridai Tuhannya). Bukan generasi penerus yang otoriter, atau generasi yang mampu mengamankan harta yang selama ini telah dikumpulkannya.
Baca juga: Wahyu, Tak Hanya Diberikan pada para Nabi
Zakaria tidak berputus asa—berusaha dan berdoa—untuk mendapatkan generasi Yahya (yang hidup), walaupun menurut perhitungan ‘kebiasaan’ tidak mungkin mendapatkannya.
Usia boleh tua, tetapi semangat untuk melahirkan “generasi Yahya” tidak boleh tua, sebagaimana Zakaria telah melakukannya.
Tidak ada kata tidak mungkin sebelum sesuatu itu terjadi. Sebab di antara kebiasaan-kebiasaan, masih mungkin terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni