Di Muhammadiyah, zakat untuk perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi sudah clear. Bahkan Muhammadiyah sudah bertindak nondiskriminasi sejak zaman G30S/PKI.
Tagar.co – Di tengah kota yang tak pernah tidur, kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak terus meningkat, membawa kita pada pencarian solusi yang tak hanya melalui koridor hukum negara namun juga melalui hukum agama yang sakral.
Diyah Puspitarini dari Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah, yang juga duduk sebagai Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengangguk setuju pada gagasan yang telah disampaikan oleh Asep Salahuddin dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Baca juga: Kekerasan Meningkat, Perlunya Fikih Perlindungan Anak
Mereka berdua menyoroti pentingnya fikih perlindungan anak, yang kini menjadi agenda yang tak bisa lagi ditunda di bumi Indonesia. Meningkatnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak tampaknya memerlukan solusi dari segi hukum agama.
“Kita tahu, bahwa jumlah penduduk di Indonesia kurang lebih 270 juta jiwa. Adapun jumlah keluarga terdapat 91,2 juta dan jumlah anak-anak sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia. Ini menurut data tahun 2020 dan jika ada perubahan angkanya hanya berubah sedikit,” kata Diyah dalam Ziska Talk bertajuk “Zakat untuk Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Diskriminasi” pada Senin (30/9/2024).
Diyah menjelaskan, KPAI mendapat mandate untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan laporan terhadap pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Hal itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Saya di sini mencoba menarik titik temu dari apa yang sudah dijelaskan oleh Asep Salahuddin, hanya saja dalam konteks ini berangkat dari prinsip perlindungan anak berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi oleh negara-negara PBB pada tahun 1989 dan Indonesia pada tahun 1990 ikut meratifikasinya,” paparnya.
Hasil ratifikasi tersebut, imbuh Diyah, tentang perlindungan anak menyangkut hal-hal seperti non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup, dan tumbuh kembang anak, dan terakhir partisipasi anak.
Menurut Diyah, untuk melaksanakan hal itu peran pemerintah dan roda pemerintahan wajib melaksanakannya dalam bentuk apapun. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak, yang bertanggung jawab adalah anak itu sendiri yang sudah balig, orang tua dan keluarga, masyarakat dan pemerintah dengan segala sumber dayanya.
“Termasuk juga di dalamnya mengenai 15 kondisi anak yang harus dapat perlindungan khusus dari negara seperti dalam situasi darurat, kebencanaan, pornografi, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba dan lainnya,” tegasnya.
Sejak Zaman G30S/PKI
Mengenai risiko-risiko yang dialami anak, dalam kesempatan yang sama dikupas secara historis oleh Ibnu Tsani, Direktur Utama Lazismu PP Muhammadiyah. Ia mengatakan, ketika berbicara fikih perlindungan anak dari kacamata Muhammadiyah itu sudah selesai. Jadi tidak perlu diragukan lagi sumber-sumber rujukan ilmiahnya.
Ibnu Tsani menyebut inovasi pemikiran Muhammadiyah terkait isu perlindungan anak tidak hanya dikupas belakangan ini. Di tangan Muhammadiyah, sejarah telah membuktikan ada dokumen penting Perserikatan yang bisa menjadi sumber rujukan, yaitu keluarga sakinah dan fikih perlindungan anak.
Prinsip nondiskriminasi di Muhammadiyah, tuturnya, sudah ada sejak dahulu. Misalnya saat berdirinya PKO yang dilatarbelakangi oleh iktikad baik Muhammadiyah untuk menolong siapapun yang membutuhkan uluran tangan apapun latar belakangnya.
“Temuan menarik misalnya pada tahun 1960-1970-an, di mana program inovasi usaha perlindungan anak Muhammadiyah secara eksplisit diterima manfaatnya oleh keluarga tahanan politik G30S/PKI. Dasar landasannya adalah keputusan sidang Tanwir Muhammadiyah yang ditanfizkan di Ponorogo tahun 1969,” jelas Ibnu Tsani.
Di sinilah peran Muhammadiyah dalam mengadakan pendekatan untuk membina tapol dalam bidang kesehatan mental. Bahkan lebih dari itu, ini bentuk perhatian Muhammadiyah kepada anak yatim piatu yang menjadi korban dari G30S/PKI.
Nondiskriminasi
Ibnu Tsani menyampaikan, pemaknaan terhadap keputusan persyarikatan pada tahun 1969 itu adalah bentuk non-diskriminasi. Ini pesan utamanya. Sehingga bila saat ini ada korban dari konflik yang dialami anak, maka anak tidak boleh menjadi korban dan diskriminasi dalam pelabelan tertentu.
Inilah spirit yang menjadi prinsip Muhammadiyah dalam mengedepankan risalah perlindungan anak dalam hal non-diskriminasi.
“Terkait partisipasi anak dan penghargaan anak, ada dokumen Muktamar Ke-40 Muhammadiyah di Surabaya pada tahun 1978, yang mengatakan bahwa program kesejahteraan keluarga dirumuskan dengan indikatornya dan dari fungsi keluarga itu sendiri,” tuturnya.
Selain itu, sebut Ibnu Tsani, Muhammadiyah pada tahun 1961 mendirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai bentuk penghargaan untuk anak dalam konteks memilih dan dipilih. Berbagai program IPM membuktikan bagaimana partisipasi dan keterlibatan anak menjadi contoh kebajikan.
“Sekali lagi udah clear di Muhammadiyah dengan berbagai keputusan strategisnya yang dipertahankan sampai sekarang,” tegasnya.
Zakat untuk Perlindungan Anak
Lantas, bagaimana dengan dana zakat? Ibnu Tsani menyampaikan terkait program itu bisa merujuk pada dokumen Risalah Islam Berkemajuan yang di dalamnya mengupas perlindungan anak dan ketahanan keluarga. Hal ini juga berkesinambungan dengan renstra Lazismu dalam enam pilar progam-programnya.
“Mempertegas kembali bahwa jika merujuk aspek syariah, maka Muhammadiyah sudah final. Dan kawan-kawan Lazismu yang ada di wilayah dan daerah jangan ragu-ragu karena sudah jelas pada aspek syariahnya bahkan tidak perlu dikhawatirkan lagi,” jelasnya.
Baginya, secara hirarki Munas Tarjih kedudukannya lebih tinggi dari fatwa. Fatwa bisa diterbitkan jika belum ada keputusan yang eksplisit. Apa yang dipaparkan oleh pembicara sebelumnya semua sudah aman dari aspek syariah.
“Adapun model pendekatan programnya, yaitu berbasis keluarga, AUM (amal usaha Muhammadiyah) sosial, atau komunitas. Tinggal memilihnya sesuai dengan kondisi lokal masing-masing Lazismu di wilayah,” ungkapnya.
Seperti yang disampaikan oleh Diyah Puspitarini, kutip Ibnu Tsani, salah satu program yang mungkin bisa dilakukan adalah program pengasuhan Muhammadiyah, di mana ditekankan pada pengarusutamaan pengasuhan berbasis keluarga yang meliputi pusat santunan keluarga, pusat asuhan keluarga yang di dalamnya ada orang tua asuh, pengangkatan anak, perwalian, dan keluarga sedarah.
Lebih khusus lagi soal model pengasuhan anak di Muhammadiyah sudah diakui secara hukum internasional. Ini bisa dilacak dalam dokumen resmi Muhammadiyah, yang jika disinergikan dengan program perlindungan anak bisa terkoneksi dengan 6 pilar program Lazismu seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang semuanya bisa dikombinasikan. Tinggal merangkai dan bagaimana mengeksekusinya dari aspek program,” tutupnya. (#)
Peyunting Mohammad Nurfatoni