Konsolidasi keuangan Muhammadiyah akan lebih solid jika memiliki bank umum nasional yang dikelola secara profesional. Lebih urgen diprioritaskan daripada tambang.
Opini oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik
Tagar.co – Dua isu hangat di Muhammadiyah saat ini adalah bank dan tambang. Sayup-sayup kegiatan konsolidasi keuangan Muhammadiyah setelah “talak” dengan BSI tenggelam oleh isu panas izin usaha pertambangan (IUP).
Beberapa kawan pegiat ekonomi akar rumput konsisten menginginkan hadirnya bank milik perserikatan. Salah seorang kawan di Jakarta, Coach Lambang, biasa disapa menulis demikian:
“Belajarlah ilmu Crowdfunding. Sesungguhnya, koperasi dan bank adalah Crowdfunding. Bahkan ekspedisi mengelilingi bumi dan VOC, yang berujung kolonialisme, semua diawali dengan Crowdfunding.
Sebut saja universitas Muhammadiyah X butuh dana. Let say 10 miliar. Lalu mereka pinjam ke KBBS. Diberi pinjaman dengan marjin 9 persen. Di saat yang sama, konon dana MU (Muhammadiyah) ada di KBBS, sekian ratus miliar. Jadi uang kita, dipinjam oleh kita, yang bayar bunga kita, yang untung orang lain. Boleh jadi praktik ini sudah puluhan tahun lamanya.
Lah … profesor kita pada ke mana?”
Baca juga: Pertambangan Tidak Relevan dengan Amal Usaha Muhammadiyah
Di koran Bisnis Indonesia edisi 29 Juli 2024, Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata PWM Jawa Timur Indra Nur Fauzi menulis opini berjudul Korporasi Keuangan Muhammadiyah.
Dalam opini disebutkan upaya konsolidasi keuangan Muhammadiyah yang meliputi lima strategi.
Tulisan pertama seperti “iseng”. Tulisan kedua tampak serius di koran papan atas mewakili kerinduan sebagian besar warga Muhammadiyah akan hadirnya bank.
Kedua penulis tidak ikut arus mendukung atau mem-bully keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menerima IUP dari pemerintah. Dua penulis seperti menyentil hal urgen yang seharusnya lebih diprioritaskan daripada tambang.
Miniatur Negara
Bagaikan miniatur pemerintahan, struktur Muhammadiyah dari pimpinan pusat sampai ranting di perdesaan dan cabang istimewa di luar negeri menyerupai kedutaan dan konsul negara.
Amal usaha kesehatan dari klinik hingga rumah sakit, play group, taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi ada. Jumlah perguruan tinggi Muhammadiyah hanya selisih tipis dengan jumlah perguruan tinggi negeri yang dikelola pemerintah.
Baca juga: Dilema Ormas dalam Izin Usaha Pertambangan
Amal usaha ekonomi berupa hotel, supermarket, minimarket, koperasi simpan pinjam hingga bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) mulai tumbuh dan berkembang. Bank umum belum ada di Muhammadiyah, sehingga transaksi-transaksi keuangan antarwarga, antarpimpinan dan antar-amal usaha masih mengandalkan bank umum syariah, non syariah milik swasta atau negara.
Padahal bank ibarat jantung dan urat nadi keuangan. Sedangkan uang ibarat darah. Maka bank lebih relate (berhubungan) dengan amal-amal usaha sebagai penggerak dan sumber keuangan perserikatan.
Utang piutang antar-amal usaha yang memiliki kelebihan uang dengan yang butuh uang melalui bank bisa lebih sehat daripada antar-amal usaha secara langsung.
Konsolidasi keuangan perserikatan akan lebih solid jika memiliki bank umum nasional yang dikelola secara profesional. Rumor sebagai ormas Islam terkaya di Indonesia bahkan di dunia bisa ditunjukkan dengan data-data aset dan putaran omzet yang tercatat di bank. (*)
Penyunting Mohammad Nurfatoni