Telaah

Mudik Lebaran, Bolehkah Membatalkan Puasa?

219
×

Mudik Lebaran, Bolehkah Membatalkan Puasa?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi freepik.com premium

Mudik di bulan Ramadan kerap menimbulkan dilema: terus berpuasa atau membatalkannya? Telusuri pandangan fikih sebelum mengambil keputusan saat dalam safar.

Kajian Ramadan bersama Ketua ICMI (Seri 24): Mudik saat Ramadan: Bolehkah Membatalkan Puasa?

Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur; Ketua Litbang DPP Amphuri, Pembina Yayasan Masjid Subulus Salam GWA Sidoarjo; dan Akademisi Universitas Dr. Soetomo Surabaya.

Tagar.co – Mudik, atau pulang kampung saat bulan Ramadan menjelang hari raya Idulfitri, adalah tradisi yang sangat kental di kalangan umat Islam, terutama di Indonesia. Bagi banyak orang, mudik bukan sekadar perjalanan jauh, tetapi juga merupakan momen berharga untuk berkumpul bersama keluarga di kampung halaman.

Namun, sering kali timbul pertanyaan: bolehkah seseorang mokel alias membatalkan puasanya saat dalam perjalanan mudik? Apakah mudik menjadi alasan yang sah untuk tidak berpuasa? Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam mengenai hukum batal puasa bagi pemudik dalam Islam, serta syarat-syarat yang membolehkannya.

Apakah Mudik Bisa Membatalkan Puasa?

Menurut Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Baqarah 185:

“Dan barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib mengganti puasa) pada hari-hari yang lain.”

Ayat ini secara jelas menyebutkan bahwa bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh (safar), diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain setelah Ramadan.

Baca Juga:  Tradisi Mudik: Antara Rindu dan Bakti

Apa yang Dimaksud dengan Safar?

Safar atau perjalanan jauh dalam istilah fikih Islam adalah perjalanan yang memenuhi kriteria tertentu, yakni jarak sekitar 80–90 km dari tempat tinggal seseorang. Ini merupakan batasan yang ditetapkan oleh mayoritas ulama dan dianggap cukup jauh untuk memengaruhi pelaksanaan ibadah puasa.

Namun, perjalanan tidak hanya dinilai dari jarak. Tingkat kesulitan perjalanan juga menjadi pertimbangan dalam membolehkan seseorang berbuka puasa. Jika perjalanan tersebut menyebabkan rasa lelah, dehidrasi, atau ketidaknyamanan, maka berbuka puasa menjadi pilihan yang dibolehkan.

Baca juga: Berburu Lailatulqadar: Kenali 6 Tanda-tandanya

Jika seseorang bepergian lebih dari 80 km, maka perjalanan itu dapat dikategorikan sebagai safar, dan dengan demikian ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa.

Jika perjalanan mudik terasa sangat melelahkan, misalnya karena cuaca panas, kemacetan, atau kondisi fisik yang menurun, maka berbuka puasa dibolehkan. Hal ini sesuai dengan sebuah riwayat tentang Nabi Muhammad Saw. yang melihat seorang sahabat kelelahan saat berpuasa dalam perjalanan dan menasihatinya agar tidak melanjutkan puasanya dalam kondisi tersebut.

Namun, apabila seseorang melakukan perjalanan jauh namun merasa nyaman, misalnya menggunakan kendaraan yang nyaman atau pesawat terbang, maka sebaiknya ia tetap berpuasa. Dalam hal ini, orang yang tetap berpuasa akan memperoleh dua pahala sekaligus: pahala menjalankan kewajiban puasa Ramadan dan pahala kesabaran menghadapi tantangan perjalanan.

Baca Juga:  Ramadan dan Konsolidasi Potensi Cendekiawan untuk Kemajuan Bersama

Kapan Seseorang Boleh Membatalkan Puasa saat Mudik?

Islam memberikan kelonggaran untuk membatalkan puasa bagi mereka yang bepergian, tetapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  1. Jarak perjalanan: Jarak tempuh mencapai lebih dari 80–90 km dari tempat tinggal.

  2. Keadaan perjalanan: Perjalanan yang menyebabkan kesulitan luar biasa, seperti dehidrasi berat, kelelahan ekstrem, atau masalah kesehatan lainnya yang mengganggu ibadah puasa.

  3. Kondisi kesehatan: Jika seseorang merasa sangat lelah atau tidak sanggup berpuasa karena perjalanan, maka berbuka puasa diperbolehkan.

  4. Tujuan perjalanan: Perjalanan dilakukan dengan niat yang baik, seperti mudik untuk berkumpul dengan keluarga atau kepentingan ibadah lainnya.

Bagaimana jika Tidak Merasa Sulit saat Mudik?

Tentu saja, tidak semua perjalanan mudik mengharuskan seseorang membatalkan puasa. Jika perjalanan dirasa nyaman, misalnya dengan menggunakan kendaraan seperti mobil pribadi ber-AC atau pesawat terbang, dan tidak menimbulkan rasa lelah atau kesulitan yang berarti, maka sebaiknya seseorang tetap berpuasa.

Dengan tetap berpuasa, seseorang akan memperoleh dua keuntungan sekaligus, yaitu pahala puasa dan pahala kesabaran menghadapi perjalanan.

Baca Juga:  Fatwa Ulama Muslim Internasional untuk Kebebasan Palestina

Wajib Mengganti Puasa

Jika seseorang membatalkan puasa karena perjalanan yang memenuhi syarat safar, maka ia wajib mengganti puasa tersebut setelah Ramadan, yang disebut dengan qada. Mengganti puasa di hari lain adalah kewajiban untuk menunaikan ibadah yang tidak dijalankan di bulan Ramadan.

Namun, perlu diingat, meskipun diperbolehkan berbuka puasa saat dalam perjalanan, hal itu sebaiknya hanya dilakukan jika memang terdapat kesulitan yang nyata. Jika perjalanan tidak mengganggu kondisi fisik atau ibadah, maka sebaiknya tetap menjalankan puasa.

Menjaga Keharmonisan Ibadah dan Tradisi

Mudik adalah tradisi yang penuh makna bagi umat Islam. Namun, dalam menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan, kita perlu memastikan bahwa kita mengikuti ketentuan-ketentuan syar’i yang berlaku.

Jika perjalanan mudik termasuk dalam kategori safar dan menyebabkan kesulitan, maka berbuka puasa dibolehkan dengan syarat menggantinya di hari lain.

Sebaliknya, jika perjalanan terasa nyaman dan tidak mengganggu ibadah, tetaplah berpuasa, karena selain mendapatkan pahala puasa, kita juga memperoleh pahala kesabaran.

Semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh keikhlasan, baik di rumah maupun saat dalam perjalanan mudik. Semoga Allah Swt. memberikan kemudahan dalam setiap langkah kita, serta keberkahan di bulan Ramadan ini. Amin. (#)

Penyunting Mohammad Nurfoni