
Adi Slamet Kusumawardana, dosen UMM, menempuh studi doktoral di Australia. Ia membawa misi lebih besar: mengoptimasi pendidikan sekaligus membangun jembatan akademik antara UMM dan dunia internasional.
Tagar.co – Tak banyak yang berani mengambil langkah sejauh Adi Slamet Kusumawardana. Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini kini tengah menempuh pendidikan doktoralnya di The University of Queensland (UQ), Australia—salah satu kampus terbaik di Negeri Kanguru.
Sejak Oktober 2024, Adi resmi memulai perjalanannya dengan target studi empat tahun, bermodalkan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Baca juga: Menembus Batas: Semangat Dosen UMM Diani Fatmawati Mencari Terapi Otot Lansia di Korea
“Keputusan saya memilih Australia, khususnya kota Brisbane, didasarkan pada kualitas akademik dan kesesuaian bidang riset. University of Queensland merupakan salah satu dari lima kampus terbaik di Australia, dan memiliki perhatian riset yang kuat pada bidang riset operasi, sesuai dengan keilmuan saya,” ungkapnya, dikuyop dari siaran pers Humas UMM yang diterina Tagar.co Selasa (29/4/25).
Tak sekadar berburu ilmu, Adi juga membawa misi membangun jejaring internasional yang lebih luas. Perjuangan meraih beasiswa ini, baginya, bukan perjalanan yang singkat. Ia harus melewati serangkaian tahapan ketat, mulai dari menyiapkan sertifikat IELTS, menentukan pilihan kampus, hingga akhirnya mengantongi letter of offer (LoE) sebelum sukses lolos seleksi BPI di akhir 2023.
Kini, Adi memfokuskan risetnya pada tema optimasi penjadwalan di institusi pendidikan—sebuah topik yang melibatkan banyak variabel dan kepentingan. “Topik ini memiliki kompleksitas tinggi karena melibatkan banyak kepentingan, seperti peserta didik, pengajar, hingga kebutuhan kurikulum, sementara keterbatasan ruang dan waktu menjadi tantangan yang nyata. Optimasi ini tidak hanya penting untuk universitas, tetapi juga sangat relevan diterapkan di tingkat sekolah menengah,” jelasnya.
Tantangan dan Adaptasi di Negeri Orang
Meski sempat menginjakkan kaki di Australia pada 2020, tinggal dan belajar di sana tetap menghadirkan tantangan baru. Lingkungan multikultural, keberadaan sebagai minoritas muslim, hingga soal praktis seperti mencari tempat salat dan makanan halal, menjadi bagian dari proses adaptasinya.
Ia tak menampik, tuntutan akademik di UQ terasa jauh lebih berat. “Standar akademik di Australia jauh lebih tinggi, terutama dalam kemampuan menulis ilmiah, analisis data, dan pemrograman matematis, yang menuntut mahasiswa S3 untuk menguasainya sejak awal studi,” akunya.
Namun di balik itu, Adi mengagumi banyak hal dari sistem pendidikan dan kehidupan sosial di Australia. Mulai dari taman dan perpustakaan yang tersebar di setiap distrik, hingga layanan kesehatan mental yang serius ditangani. Semua fasilitas ini membuatnya merasakan keseimbangan antara studi dan kehidupan pribadi.
Menjadi Jembatan untuk Masa Depan
Adi tak ingin perjalanannya hanya berujung pada gelar doktoral. Ia membawa visi yang lebih besar: menjadi jembatan antara UMM dan dunia internasional. “Saya ingin menjadi jembatan penghubung antara UMM dan institusi luar negeri, termasuk The University of Queensland. Studi ini bukan hanya tentang meraih gelar, tetapi juga tentang membangun kontribusi yang lebih luas untuk institusi dan bangsa,” tutupnya penuh semangat.
Bagi Adi, gelar doktor bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah awal baru untuk membangun perubahan yang lebih berarti. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni