Haji memberikan banyak pelajaran di balik ritualnya. Maka, setelah pulang, kita berharap berbagai aksi positif dari alumninya. Bagi yang belum berhaji harus membersamai aksi mereka.
Opini oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis.
Tagar.co – Alhamdulillah, kita bahagia saat menyaksikan secara berangsur jemaah haji telah kembali ke Tanah Air. Kita doakan semoga haji mereka mabrur. Semoga pula, berbagai pelajaran yang didapat dari Madrasah Haji dapat mereka praktikkan di negeri ini.
Seperti madrasah atau sekolah, ibadah haji memang memberikan banyak pelajaran di balik berbagai ritual di dalamnya. Ada pelajaran di kalimat talbiyah, di pemakaian ihram, di pelaksanaantawaf dan sai, di muhasabah saat wukuf, di ritual lempar jumrah, serta lain-lainnya. Maka, setelah para jamaah pulang dari berhaji, kita berharap akan banyak aksi positif dari mereka untuk lingkungannya masing-masing.
Pesan Talbiah
Talbiah adalah serangkain kalimat persaksian seorang hamba kepada Allah: Labbaika, Allahumma labbaik. Labbaika, laa syarika laka, labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka, wal mulka laka. Laa syarika lak. (Ya Allah, inilah hamba datang, hamba datang—memenuhi panggilan—Mu. Hamba datang, tiada sekutu bagi-Mu, hamba datang. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah untuk-Mu dan segala kekuasaan hanya ada pada-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).
Apa pesan talbiah yang jika dibacakan dengan sepenuh penghayatan akan sangat menggetarkan kalbu? Pertama, “Labbaika, Allahumma labbaik” adalah ungkapan kepatuhan seorang hamba dalam memenuhi panggilan Allah. Jika jamaah haji bersaksi bahwa kehadiran mereka di Tanah Suci adalah sebentuk ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, maka apakah sikap yang sama akan bisa mereka peragakan kelak sepulang nanti di Tanah Air? Misalnya, apakah mereka akan selalu taat kepada semua hukum Allah?
Kedua, “laa syarika laka”. Ini adalah persaksian bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kelak sepulang di Tanah Air, akankah persaksian itu bisa mereka pertahankan yaitu tetap mengesakan Allah kapan dan di manapun? Bisakah mereka tidak menyekutukan Allah, dengan–misalnya-menuhankan jabatan, kekuasaan atau uang?
Ketiga, “innal hamda” adalah ungkapan pujian bagi Allah. Bahwa yang pantas mendapat puja dan puji hanyalah Allah. Maka, kelak di Tanah Air, bisakah mereka tak akan melakukan pekerjaan apapun jika itu hanya bertujuan untuk mendapatkan puja dan puji dari publik?
Keempat, “wan ni’mata laka” adalah pernyataan bahwa segala kenikmatan berasal dari Allah. Maka kelak di Tanah Air, bisakah di saat mereka ingin mendapatkan nikmat (dunia), mereka akan melakukannya dengan cara-cara yang telah ditentukan Allah? Misalnya, bisakah mereka untuk tidak korupsi?
Kelima, “wal mulka laka” adalah pernyataan bahwa pemilik kekuasaan sejati adalah Allah. Maka, kelak di Tanah Air, bisakah mereka menahan diri untuk tak mengejar kekuasaan dengan menghalalkan segala cara? Lalu, ketika kekuasaan benar-benar telah di dalam genggamannya, apakah mereka akan menjalankannya dengan sepenuh amanah? Bukankah semua kekuasaan itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang Maha Kuasa?
Keenam, talbiah ditutup dengan mengulangi lagi kesaksian “Laa syarika lak”. Ini sebuah penegasan bahwa kita tak menyekutukan Allah. Maka, kelak di Tanah Air, bisakah mereka akan selalu dalam posisi seperti itu yaitu bahwa di setiap menghadapi situasi yang potensial membawa ke kesyirikan mereka akan tetap teguh memegang prinsip tauhid?
Sungguh, dengan selalu menghayati dan mengamalkan spirit talbiah, ada tiga penyakit rohani yang tak akan pernah bisa singgah di diri kita. Tiga penyakit itu adalah suka dipuji (sebagai bagian dari sifat sombong), gemar mencari kenikmatan secara tidak sah (sebagai bagian dari sifat serakah), dan ingin berkuasa secara tidak halal (sebagai bagian dari sifat iri).
Sombong, serakah, dan iri adalah tiga dosa pertama yang dilakukan makhluk Allah. Lihatlah di saat iblis diminta bersujud kepada Adam, ternyata iblis menolaknya lantaran dia merasa lebih terhormat dari Adam. Di saat itu iblis mendemonstrasikan sifat sombong.
Cermatilah di saat Adam di surga. Dia diperbolehkan menikmati apa saja yang ada di dalamnya, kecuali satu yang harus dijauhinya. Tapi, serakah membuat Adam As melanggar aturan itu.
Perhatikanlah, saat syariat telah mengatur bagaimana seharusnya Qabil dan Habil mendapatkan pasangan hidupnya masing-masing. Tapi, lantaran sifat iri dibunuhlah Habil oleh Qabil untuk mendapatkan wanita yang seharusnya menjadi hak si Habil.
Semua Menggetarkan
Kita bergeser ke ritual haji yang lain. Di saat kita menanggalkan pakaian berjahit, berihram, apakah kita bisa menangkap pesan bahwa untuk selanjutnya–sepulang nanti di Tanah Air-kita akan selalu menanggalkan pakaian kemaksiatan? Sebaliknya, apakah kita akan selalu mengenakan “pakaian takwa”? Apakah kita akan senantiasa mengerjakan semua yang diperintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya?
Ketika kita melakukan sai, bisakah kita menangkap pesan bahwa sepulang nanti di Tanah Air kapanpun akan selalu “berlari” menuju Allah di antara rasa cemas dan harap?
Ketika kita wukuf di Arafah, bisakah kita menangkap pesan bahwa sepulang nanti di Tanah Air kita memahami bahwa Allah itu mengetahui segala apa yang ada pada diri ini sekalipun kita telah berusaha menyembunyikannya?
Lalu, ketika kita melempar jumrah, apakah kita berniat pula untuk di masa-masa selanjutnya, nanti sepulang di Tanah Air, akan selalu memerangi setan?
Mabrur, Lalu?
Berbahagialah yang hajinya mabrur. Jika mabrur, maka dosa-dosanya dihapus tanpa sisa. Perhatikanlah hadis ini: “Wahai manusia, Tuhan telah mewajibkan atas kamu berhaji, maka berhajilah kamu. Barangsiapa yang mengerjakan ibadah haji dengan tiada menuturkan kata-kata busuk atau keji dan tiada berlaku curang, maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Lebih dari itu, balasan bagi haji mabrur adalah surga seperti yang disebut hadis ini: “Umrah (yang pertama) kepada umrah yang berikutnya sebagai kafarat (penghapus) bagi dosa yang dilakukan di antara keduanya. Dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya melainkan jannah.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Jika dosa telah diampuni dan surga telah dijanjikan sebagai tempat kembali bagi yang hajinya mabrur, maka alumni madrasah haji akan terdorong untuk selalu istikamah di jalan-Nya. Mereka akan aktif berkiprah secara positif mewarnai lingkungannya masing-masing.
Jika dulu–misalnya di masa kita merebut kemerdekaan–banyak alumni Madrasah Haji yang menjadi motor penggerak perlawanan menghadapi penjajah, maka semoga sekarang mereka bisa melakukan aksi-aksi kebaikan dalam meraih kebahagiaan bersama. Sementara, bagi mereka yang belum berhaji, harus membersamai semua aksi kebaikan itu dengan sepenuh girah.
Semoga Allah mudahkan dan berkahi. Bismillah, Allahu Akbar! (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni