Menjadi guru, kata sebagian orang, mudah. Sekadar berdiri di depan kelas, bicara, memberi tugas, lalu pulang. Tapi pada kenyataannya tidak seperti itu.
Opini oleh Sujarwa, seorang guru dan aktivis.
Tagar.co – Banyak yang berkata, menjadi guru itu mudah. Sekadar berdiri di depan kelas, bicara, memberi tugas, lalu pulang.
Menjadi guru itu mudah, tidak kepanasan karena kerja banyak di dalam ruangan. Guru seperti tak merasakan bagaimana keringat mengucur dan panasnya terik matahari.
Namun, kenyataannya jauh dari itu. Menjadi guru bukan hanya soal mengajar, bukan soal di dalam atau di luar ruangan. Tetapi tentang membentuk karakter, mencetak generasi penerus, dan memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan yang layak. Di balik setiap pembelajaran, ada tanggung jawab besar yang harus dipikul.
Baca juga: Telur-Telur Partai, Darurat Demokrasi, dan Kekuatan Netizen
Guru harus merancang pembelajaran yang menarik, inovatif, dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Tidak hanya itu, mereka juga harus memastikan siswa memahami dan terlibat dalam proses belajar.
Setiap hari, ada banyak dinamika di kelas—mulai dari siswa yang kesulitan, hingga siswa yang butuh perhatian lebih. Semua itu membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan rasa cinta pada profesi.
Dedikasi Guru
Tantangan semakin berat ketika realitas memukul keras: bayangkan, misalnya, bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan.
Dalam empat bulan, seorang guru tetap datang ke sekolah, menyusun materi, dan membimbing siswa meski hak finansialnya belum terpenuhi.
Apa yang menguatkan? Dedikasi. Harapan bahwa pendidikan yang mereka berikan akan mengubah masa depan bagi anak didiknya.
Baca juga: Makam Keramat, Kenali Sejarah yang Benar!
Menghadapi semua ini, seorang guru tak hanya bekerja untuk hari ini, tak hanya bulan ini tetapi juga demi masa depan bangsa.
Apakah itu mudah? Tidak!
Tetapi setiap perjuangan di balik layar, setiap usaha yang tak terlihat, menjadi bukti bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa, bukan sekadar pekerjaan.
Kenyataan ini, bisa memberikan gambaran tentang bagaimana menjadi guru penuh tantangan, dan menunjukkan bahwa pekerjaan ini jauh lebih sulit dari yang mungkin dipikirkan banyak orang. (*)
Penyunting Mohammad Nurfatoni