
Dikhianati suami, tersesat dalam pelarian, Alma nyaris kehilangan arah. Tapi suara polos anaknya mengetuk pintu langit—mengubah gelap jadi harapan.
Cerpen oleh Nadhirotul Mawaddah; Guru TK Aisyiyah 41 Menganti, Gresik, Jawa Timur
Tagar.co – Jarum jam menunjuk pukul dua dini hari. Alma masih terjaga, matanya terpaku pada selembar fotokopi kartu keluarga. Di sana tertulis: “Diterbitkan: 4 Juni 2023.” Persis dua tahun lalu, enam bulan setelah Dani, suaminya, menggugat cerai. Nama Amanda tertera sebagai istri baru Dani—teman sekantor yang dulu dia kira hanya rekan kerja biasa.
“Berarti benar dugaanku selama ini,” gumamnya lirih. Kini, nama Amanda menggantikan posisinya, berdampingan dengan nama Dani dan ketiga anak lelaki mereka.
Alma tumbuh dalam keluarga nonmuslim, meski lingkungan tempat tinggalnya mayoritas Islam. Sejak remaja, ketertarikannya terhadap Islam tumbuh diam-diam: alunan azan dari masjid, teman-temannya yang mengaji sore hari, suasana Ramadan yang hangat.
Namun, keinginan untuk berpindah keyakinan hanya ia simpan dalam hati. Semua berubah ketika ia bertemu Dani—lelaki muslim yang lembut dan sabar. Bersamanya, Alma memberanikan diri memeluk Islam dan mengajukan restu pada ibunya.
“Jika itu pilihan hidupmu, Mama mendukung. Asal kamu bahagia,” ujar Melani, ibunda Alma.
Proses menjadi mualaf berjalan lancar. Mereka menikah, dan Alma menjalani hari-hari sebagai istri serta ibu yang penuh harap. Ia membayangkan Dani sebagai imam—penuntunnya dalam iman. Nyatanya, Dani justru jarang salat. Ketika diajak salat bersama, jawabannya sering singkat, “Aku capek, butuh istirahat biar besok bisa kerja.”
Alma menahan kecewa. Ia sujud sendiri, berlama-lama di atas sajadah, memohon agar Allah membukakan pintu hidayah bagi suaminya.
Pada acara family gathering kantor Dani, Alma berkenalan dengan Amanda. Waktu itu, Amanda masih bersama suaminya dan anak perempuannya. Mereka tampak seperti keluarga harmonis. Tak ada yang aneh.
Namun, satu tahun kemudian, saat Alma hamil anak ketiga, Dani mulai berubah. Ketika family gathering digelar lagi, Dani memutuskan berangkat sendiri. “Kali ini nggak bawa keluarga. Ribet kalau ngajak kamu dan anak-anak,” dalihnya.
Alma merasa ada yang tidak beres. Kecurigaannya makin kuat ketika suatu hari ia menemukan dompet Dani tergeletak di tempat tidur. Di dalamnya, ada beberapa kartu ATM yang tak dikenalnya dan selembar bukti transfer: 20 juta rupiah ke nama Amanda Yulia.
Saat Dani tahu dompetnya disentuh, dia kalap. Ia memaki Alma tanpa kendali. Beberapa hari kemudian, Dani tak pulang-pulang. Ketika anak-anak bertanya, Alma hanya berkata, “Papa dinas ke luar kota.”
Doa-doa Alma semakin panjang di sepertiga malam. Ia tak putus harap agar diberi jalan terbaik. Dan itu datang dalam bentuk surat panggilan dari pengadilan agama. Tangan Alma gemetar membukanya. Sidang perceraian dimulai. Ia menjalaninya tanpa sepengetahuan ibunya.
Saat keputusan dibacakan, Dani menjatuhkan talak tanpa sekalipun menoleh padanya. Bahkan setelah keluar dari ruang sidang, Dani tetap melangkah pergi begitu saja. Hati Alma remuk. Ia merasa gagal, dikhianati, dan kehilangan arah.
Untuk melupakan luka, Alma larut dalam pelarian. Ia mulai menjajaki dunia malam, mengenal minuman terlarang, dan pulang larut hampir setiap hari. Anak-anak ia titipkan pada Melani yang tetap sabar mendampingi.
Namun, kehidupan bebas itu justru membuat jiwanya semakin kosong. Setelah tiga bulan, ia tersadar: semua pelarian itu tak pernah benar-benar menenangkan. Suatu malam, ia menangis di atas sajadah.
“Ya Allah, bawa aku ke mana pun Engkau mau. Aku pasrah,” lirihnya sebelum tertidur dengan wajah basah air mata.
Esoknya, Rayyan, anak keduanya, bertanya heran, “Mama nggak kerja?”
“Mama tanya, Rayyan suka Mama di rumah atau kerja?”
“Di rumah, dong. Kalau Mama di rumah, Rayyan bisa belajar ngaji. Kalau sama Nenek nggak bisa, Nenek kan agamanya beda.”
Jawaban polos itu mengguncang batin Alma. Ia menangis, memeluk Rayyan erat.
“Terima kasih, ya Allah. Engkau mengirimkan anak luar biasa yang menyadarkanku,” gumamnya.
Sejak hari itu, Alma berhenti bekerja. Ia mulai mengenakan hijab dan menata kembali hidupnya. Tak ada lagi dunia malam, tak ada lagi pelarian. Hanya ada sajadah panjang dan semangat baru untuk menjadi ibu sekaligus muslimah yang lebih baik.
Setiap sore, Alma belajar mengaji bersama anak-anaknya. Meski masih terbata membaca Iqra jilid satu, ia tetap merasa bangga.
“Rayyan, hari ini kita belajar huruf hijaiyah, ya,” katanya sambil tersenyum, memeluk anaknya erat.
Ia tahu, jalan menjadi muslimah sejati bukanlah perjalanan yang singkat. Tapi Alma yakin, selama ia menggenggam erat tali Allah, ia tidak akan pernah benar-benar sendiri. Luka itu belum sepenuhnya sembuh, tetapi imannya mulai tumbuh.
Kini, setiap kali sujud, Alma tak lagi berdoa untuk Dani kembali. Ia berdoa agar hatinya kuat, agar anak-anaknya tumbuh dalam cinta dan cahaya iman, agar Allah terus mengetuk hatinya setiap hari, dan menjaganya agar tak pernah lagi menutup pintu langit. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni