Cerpen

Membunuh si Sembilan Nyawa

×

Membunuh si Sembilan Nyawa

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi sketsa Membunuh si Sembilan Nyawa

Warga kaget bukan kepalang, Mardi masih hidup walau dinyatakan mati karena tembakan atas nama bangsa dan negara. Sosok mayat 50 tahunan itu menawan, suasana pun semakin seram.

Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur

Tagar.co – Betapa kagetnya ayah menyaksikan beberapa warga datang menghambur ke arah ayah. Mereka tergopoh-gopoh dan di wajah mereka terpancar ketakutan yang luar biasa. Dengan napas tersengal mereka memanggil ayah saya.

“Pak Sifak! Pak Sifak!”

Ayah tak kalah kaget. Meskipun demikian, dia berusaha tenang menghadapi orang-orang yang ketakutan itu. Mereka adalah warga yang tinggal tidak jauh dari rumah ayah.

Warga memang sering merujuk ayah jika menghadapi sebuah permasalahan meskipun ayah sebetulnya adalah warga biasa saja, sama dengan mereka.

“Tenang, tenang!” seru ayah mencoba menenangkan mereka. Kemudian ayah meminta mereka untuk menceritakan apa yang terjadi sehingga mereka menjadi sedemikian takut.

“Kami melihat Pak Mardi masih hidup,” seru Juli, salah satu di antara mereka.

Mendengar hal ini ayah mulai tenang karena dia merasa mulai mengerti alasan mereka datang. Ayah menyangka kalau mereka sedang mengalami halusinasi akibat sering mendengarkan dongeng-dongeng mistis dari orang tua mereka.

Baca juga: Pemuja Komunis

Apalagi di era 1965-an itu, banyak warga yang memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah dan bahkan banyak juga orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali.

Teman-teman Juli mengangguk mengiyakan apa yang disampaikannya. Mereka menunggu reaksi ayah saya. Ayah adalah orang yang sangat tidak percaya terhadap segala macam klenik atau hal-hal mistis, bahkan saat ada bukti yang nyata sekalipun.

Kemudian dengan tenang ayah mengajak warga itu masuk. Setelah mereka duduk, ayah meminta istri pertamanya untuk membuatkan kopi untuk tamu-tamunya itu. Sementara itu, mereka tetap gelisah dan menunggu petunjuk atau arahan dari ayah.

“Juli, sekarang kamu sudah lebih tenang. Coba ceritakan pengalaman kalian mulai dari awal sehingga kamu mengatakan bahwa Pak Mardi masih hidup,” pinta ayah.

Mardi adalah orang yang beberapa hari sebelumnya tewas dibunuh oleh para petugas. Alasan pembunuhannya masih sama dengan beberapa pembunuhan sebelumnya, yaitu demi bangsa dan negara. 

Mardi dianggap sebagai orang-orang yang terlibat dalam gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh komunis. Meskipun terkesan mengada-ada, alasan itu cukup diterima oleh para pembela negara saat itu. Bagaimana tidak mengada-ada, istilah keterlibatan yang mereka maksudkan memiliki makna yang sangat berlebihan.

Pada masa itu, terjadi peristiwa gerombolan komunis telah menghabisi para jenderal dan berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah. Alih-alih berhasil mengudeta, mereka kalah dan keberadaannya dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Baca jugaHidung Wakil Rakyat

Konsekuensinya, orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung ikut dibasmi. Jangankan orang yang tergabung langsung dengan komunis, orang yang ikut organisasi kemasyarakatan yang terafiliasi dengannya ikut-ikutan dibasmi.

Ironisnya, para korban itu tidak menyadari dan memahami jika organisasi tempat mereka berkembang berada dalam naungan komunis yang terlarang itu.

Pembasmian terhadap organisasi terlarang itu tidak hanya dilakukan di pusat pemerintahan Jakarta melainkan juga di daerah-daerah. Mardi adalah seorang pegiat seni. Dia adalah salah satu kader kesenian rakyat, sebuah organisasi di daerahnya yang juga merupakan underbow komunis.

Baca Juga:  Putu Wijaya, Sastrawan Energetik dan Serbabisa

Keaktifan dia di organisasinya menjadikan alasan para petugas untuk menjadikannya sebagai target pembunuhan. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghabisi Mardi yang akhirnya benar-benar dilakukan beberapa hari lalu. Kemudian Mardi dikubur, atau lebih tepatnya dimasukkan lobang mayat di sebuah kebun di dekat sungai.

“Baik, Pak Sifak,” kata Juli memulai ceritanya.

Sambil menyeruput kopi bersama ayah dan teman-temannya, Juli menceritakan bahwa tadi dia akan pergi ke sungai. Saat hendak menapaki jalan curam yang menurun menuju sungai langkahnya terhenti.

Dia kaget melihat di bawah sana ada sosok di atas batu besar yang sedang duduk membelakangi Juli. Rupanya sosok tersebut sedang berjemur, mengingat cuaca di pengunungan selalu dingin. Juli kaget bukan tanpa alasan. Dia mengenali sosok yang sedang duduk itu.

Meskipun dari belakang, Juli meyakini bahwa sosok itu adalah Mardi. Juli kemudian membalikkan badannya menuju arah pulang. Dia berjalan cukup cepat, kalau tidak dikatakan berlari. Juli ingin memberi tahu warga soal ini.

Baca juga: Biduan

Di perjalanan dia bertemu dengan orang-orang yang saat ini ikut ke rumah ayah. Diceritakanlah peristiwa itu dan akhirnya mereka turut penasaran dan mendatangi lokasi Mardi. Dengan takut-takut mereka menuju sungai yang dimaksud oleh Juli. Begitu mereka sampai di mana tadi Juli berhenti, mereka melihat sosok yang dimaksud, sosok Mardi.

Tak lama kemudian mereka kompak berhenti, berhenti langkah dan berhenti detak jantung. Sosok yang duduk di atas batu besar itu membalikkan badannya ke arah Juli dan kawan-kawan seolah tahu kedatangan mereka.

Dari kejauhan, mereka melihat Mardi menyunggingkan senyumnya. Meskipun senyum mayat 50 tahunan itu menawan, mereka tetap saja mempersepsikan sebagai seram. Beberapa saat mereka tertegun diam dan kaku hingga Juli memberanikan diri berteriak.

“Apakah Anda Pak Mardi?” tanyanya.

Tidak diduga, sosok itu bisa menjawab dan mengeluarkan suara yang lantang sehingga cukup terdengar dari atas.

“Benar Kang, kemari kalian semua!” jawab Mardi sembari mengajak mereka mendekat.

Alih-alih menerima undangan itu, Juli dan teman-temannya takut dan kabur dari tempat itu. Sambil terengah-engah ada yang mengusulkan untuk menemui ayah saya dan mereka setuju.

Demikianlah cerita Juli yang disimak oleh ayah sambil manggut-manggut dan tersenyum. Tetapi, ayah menjadi penasaran juga dengan cerita mereka, lebih ke arah tidak percaya. Tetapi melihat ketakutan mereka, ayah ingin membuktikan perkataan mereka.

“Bisakah kau tunjukkan kepadaku tempatnya?” tanya ayah kemudian.

“Memang Pak Sifak akan ke sana?” Juli balik bertanya.

“Tentu saja, hanya dengan melihat sendiri saya bisa percaya terhadap cerita kalian. Ayo berangkat!” Demikian ajakan ayah pada mereka sambil beranjak ke luar rumah dan disusul Juli dan teman-temannya.

Begitu sampai di atas sungai mereka berhenti. Dengan adanya ayah, kini mereka tidak lagi ingin kabur. Sementara ayah cukup kaget demi melihat dengan mata kepala sendiri sesosok tubuh yang dia kenal sebagai Mardi.

Baca Juga:  Mengenal Rumah Puisi Taufiq Ismail di Sumatra Barat

Baca juga: Perginya sang Muazin

Meskipun agak keder, dia berusaha menguasai diri di depan Juli dan teman-temannya.

“Kalian tetap berada di sini saja ya. Saya akan turun menemui orang itu,” kata ayah sambil pergi.

Sementara, Juli dan teman-temannya menuruti perintah ayah untuk diam di tempat itu. Dengan tegang, mereka mengamati ayah yang menuruni jalan curam itu menuju sungai di mana sosok Mardi berada. Mereka memuji ayah atas keberaniannya. Tidak salah jika orang-orang mengadukan peristiwa ini kepada ayah, begitu pikir mereka. 

Ayah sudah sangat dekat sekali dengan sosok Mardi. Ayah menyapa dia, “Kang Mardi?”

Sosok Mardi menoleh dan membalikkan badannya. Sambil tetap duduk dan tersenyum dia membalas, “Oh, Pak Sifak. Silakan Pak.”

Mardi menyilakan ayah untuk duduk di batu besar di depannya sehingga mereka bisa berhadap-hadapan. Namun Ayah menolak duduk, apalagi di dekat Mardi. Kemudian ayah memulai percakapan.

“Kang, tolong katakan sejujurnya apa yang terjadi padamu. Bukankah Kang Mardi telah mati ditembus peluru para petugas itu?”

Sebetulnya, tanpa bertanya hal ini ayah sudah mengerti apa yang terjadi. Ayah pernah mendengar dari beberapa orang bahwa Mardi ini memiliki kesaktian. Dia dikatakan memiliki sembilan nyawa.

Kini ayah baru membuktikan bahwa apa yang diceritakan orang-orang itu bukan isapan jempol belaka. Berdebar ayah menunggu jawaban Mardi.

“Pak Sifak, saya ini manusia. Saya bukanlah seekor anjing walau dianggap bersalah oleh orang-orang pembela negara itu. Saat saya mati ditembak, saya diseret menuju lubang lalu dilemparkan, kemudian diuruk tanah dan batu. Benar-benar tidak manusiawi,” kata Mardi.

“Saya tidak menolak kematian, apalagi kematian itu harus saya terima atas hukuman yang ditimpakan kepada saya. Tetapi saya ingin mati sebagai manusia yang bermartabat. Saya bukan penjahat apalagi pelaku kudeta sebuah Negara,” lanjutnya.

Sampai di situ, Mardi diam yang kemudian disela oleh ayah.

“Lalu apa yang kamu inginkan? Dengan kamu hidup kembali, kamu telah meresahkan warga. Kamu akan tetap mati kan?” tanya ayah.

“Benar Pak. Tetapi tolong bunuhlah saya dengan cara-cara yang terhormat. Dengan begitu saya tidak akan hidup kembali,” jelas Mardi.

“Baiklah, bagaimana kematian yang kamu inginkan. Nanti saya akan sampaikan kepada para petugas itu.”

“Tolong hari ini sediakan liang lahat layaknya manusia di dekat saya pertama kali dikubur. Jika sudah tersedia, saya akan datang besok siang tepat ketika matahari berada di atas kepala. Perintahkan para petugas itu membawa pistol dengan peluru lengkap. Saya tunggu di liang lahat saya,” kata Mardi, menjelaskan keinginannya.

Keesokan harinya, tepat pada waktu yang dijanjikan, rombongan petugas itu datang bersama warga. Ayah sudah menceritakan semua perihal Mardi kepada salah satu pimpinan petugas itu.

Mereka tiba di liang yang sudah gali sehari sebelumnya. Mardi juga sudah terlihat berada di dekat liang itu. Tampaknya Mardi menepati janjinya dan tidak ada sedikit pun keraguan pada dirinya.

Baca Juga:  Biduan

Tanpa basa-basi pimpinan petugas itu berteriak, “Mardi! Hari ini kamu harus benar-benar mati!”

“Baik Pak. Saya sudah siap untuk mati,” jawab Mardi mantap dan tegas.

Mendengar jawaban itu, pimpinan petugas itu bergidik sendiri. Dia merasakan bahwa ada sesuatu yang luar biasa pada diri Mardi. Mardi mendekat ke liang lahat kemudian menceburkan dirinya ke dalam.

Tak lama berselang Mardi berjongkok di dalam liang itu membelakangi pimpinan petugas itu. Sambil berjongkok Mardi menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dari atas liang, terlihat jelas kepala, tengkuk, dan sebagian punggung Mardi.

Kentara sekali kepasrahan Mardi untuk memberikan nyawanya kepada para petugas itu. Kemudian, Mardi memecah kesunyian dengan berkata kepada pemimpin petugas itu.

“Pak Petugas. Kinilah saat yang tepat untuk menghabisi saya. Sekarang tarik pelatuk pistol Bapak. Arahkan pistol itu tepat ke tengkuk saya ini.” Sambil berkata, Mardi menunjukkan bagian tubuh yang dimaksud tengkuk itu dengan jari-jari tangannya.

“Tembaklah saya sebanyak tiga kali. Tunggu saya benar-benar mati, kemudian uruk dan kuburlah jasad saya dengan tanah ini,” kata Mardi memberikan briefing kepada si petugas itu.

Ayah saya bergidik mendengar ucapan-ucapan Mardi dari liang lahat itu. Petugas itu memang sudah siap sejak tadi dengan pistol di gengganannya. Sementara, warga yang hadir menyaksikan bungkam seribu basa.

Mereka diliputi perasaan dan situasi yang sangat menegangkan, mencekam. Belum lagi langit yang begitu gelap di siang bolong itu. Si petugas sudah sangat siap untuk menembakkan peluru dari pistolnya.

Jari telunjuknya sudah melingkar di pelatuk pistolnya. Beberapa detik lagi dia akan menarik jari telunjuk ke arah dirinya sendiri, itu artinya dia menarik picu pistol agar timah panas dari dalamnya muntah dan melesat ke sasaran.

Dia kemudian menarik napas panjang, dari jarak yang sangat dekat, kurang dari satu meter, dia menarik picu itu dan, “Dorr!”

Peluru melesat menembus tengkuk Mardi.

“Dorrr!” Peluru kedua kembali dimuntahkan untuk menembus tengkuk Mardi sekali lagi. Dan akhirnya, “Dorrr!!!” Peluru ke tiga menembus tengkuk Mardi.

Ayah yang menyaksikan dari dekat seakan hendak meloncat saking kagetnya. Jantung wargapun berasa akan lepas, padahal mereka sudah siap dengan bunyi-bunyian yang akan keluar dari pistol itu. Tetap saja peritiwa itu sangat horor bagi mereka.

Baca juga: Bansos Juragan Beras

Perlahan, benteng pertahanan Mardi goyah. Lama-lama tubuh Mardi miring ke kiri, menjauhi dinding tanah sebelah kanannya. Dan, “Bruuk!!” Tubuh Mardi ambruk ke kiri.

Mardi meregang nyawa. Belum selesai kaget oleh suara pistol yang ketiga, warga dikejutkan kembali oleh pemandangan aneh di hadapan mereka. Dari arah kubur itu tersembur seberkas sinar berwarna-warni melesat menuju langit.

Gumpalan sinar yang mirip pelangi seolah membelah langit yang tiba-tiba mejadi terang benderang. Namun pelangi itu begitu cepat lenyap ditelan udara.

Warga terperanjat dan terkesima dengan peristiwa yang mereka alami ini. Belum lama mereka tertegun.

“Ayo, cepat kubur dia!” teriak petugas cepat. (#)

Penyunting Ichwan Arif

Cerpen Tarko
Cerpen

Tarko, mantan preman, diikuti warga yang curiga terhadap…