Membangun kelas inklusif untuk mendukung siswa dengan autisme secara efektif dibahas pada salah satu kelas workshop UMM Autism Summit 2024. Pembicaranya, dosen psikologi sekaligus orang tua anak autis.
Tagar.co – Workshop UMM Autism Summit (UAS) 2024 hari kedua, Jumat (4/10/2024), masih bersambut antusiasme tinggi para peserta. Kursi Aula B lantai 9 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dipenuhi peserta dari berbagai kalangan. Ada orang tua anak berkebutuhan khusus (ABK), guru sekolah inklusi, akademisi, dan praktisi.
Tepat pukul 09.00 WIB, usai peserta menyaksikan pertunjukan fashion show anak berbakat di aula sebelahnya, Dr. Weny Savitri Pandia, M.Si. Psikolog mulai menjelaskan. Dosen Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini tak sekadar mengungkap teori melainkan juga berbagi pengalaman seputar pengasuhan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Baca juga: Strategi dan Intervensi Terkini untuk Anak dengan Autisme
Mulanya, ia menjelaskan tentang autisme. “Yakni individu yang mengalami gangguan dalam komunikasi dan interaksi sosial, ada perilaku berulang,” ujarnya menegaskan karakteristik utama.
“Kalau kemampuan komunikasinya masih kurang, dia akan marah-marah. Karena sebal orang di sekitar tidak bisa memahami keinginannya,” imbuhnya di hadapan sekitar 200 peserta.
Karakteristik Lainnya
Karakteristik lainnya, ia juga menyebutkan individu dengan autisme asyik dengan dirinya sendiri dan hanya menyukai objek tertentu. “Misal suka mobil, dia bisa tahu segala tipe mobil beserta harganya,” terang ibu dua anak tersebut.
Selain itu, tidak melakukan kontak mata, picky eater atau memilih makanan yang disukai saja, perbendaharaan kata terbatas, dan sangat aktif. “Di awal, diagnosisnya agak rancu dengan ADHD karena anak dengan autisme juga aktif,” jelasnya.
Echolia atau mengulang kata juga biasa muncul pada individu dengan autisme. “Kalau kita tanya siapa namamu, dia akan mengulang, siapa namamu,” imbuh wanita yang kini sedang studi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di berbagai daerah Indonesia.
Baca juga: UMM Autism Summit 2024 Libatkan Banyak Pihak
Anak dengan autisme juga biasanya sangat detail, memiliki memori fotografi, sangat fokus pada hal yang diminati, dan memiliki bakat besar di bidang tertentu. “Dengan memahami karakteristik ini kita bisa menyiapkan lingkungan seperti apa di kelas nanti,” ungkap Weny.
Lingkungan Mendukung
Weny mencontohkan, jika di kelas itu ada anak dengan autisme yang tidak bisa mendengar suara keras, maka tempat duduknya dijauhkan dari speaker. Atau speakernya lebih dipelankan agar anak tersebut nyaman.
Di samping itu, kerjasama dengan orangtua menjadi hal penting. Sebagus apapun program sekolah, sulit mencapai target kalau orangtua tidak mendukung atau menerima.
“Maka perlu mengenali karakteristik orangtua, libatkan orangtua dalam pembelajaran, buat kesepakatan dengan orangtua untuk membangun kerjasama,” tuturnya.
Tak hanya itu, perlu juga program parenting. “Bagaimana pun mereka perlu mendampingi anaknya lebih dari siswa pada umumnya,” tegas Weny.
Kelas yang Efektif
Ketika mengupas bagaimana kelas yang efektif, Weny membedakan jenis lingkungan yang perlu diperhatikan. Ada dua jenis, yaitu lingkungan psikologis dan fisik.
Lingkungan psikologis meliputi perlunya transisi sebelum kelas dimulai. Kalau anak siap, baru masukkan kelas untuk mengikuti proses pembelajaran.
Sebisa mungkin guru mendapat kejelasan bagaimana gambaran kognitifnya. “Ini termasuk bagaimana kecepatan anak dalam menangkap informasi, konsentrasi (mempertahankan perhatian saat guru menjelaskan), dan atensi (memperhatikan ketika dipanggil),” urainya.
Adapun gambaran non kognitif meliputi bagaimana anak termotivasi mengikuti pelajaran dan hubungannya dengan teman sebaya. Ini tidak perlu asesmen dari psikolog. Setidaknya guru mendapat gambaran awal mana anak yang membutuhkan bantuan selama proses belajar.
Baca juga: Pengalaman Dosen Singapura Mengajari Anaknya yang Autis Bisa Membaca, Ini Resepnya
Kemudian, iklim kelas mendukung. “Seluruh siswa dijelaskan, ada teman yang berbeda, berkebutuhan khusus. Siswa ini mungkin tidak tenang, membuat kurang nyaman, atau suka ngomong sendiri yang tidak bermakna. Agar teman tidak ada yang protes, kok dia tidak dimarahi. Kalau sudah kita siapkan, justru temannya membantu,” terangnya.
Cara lainnya, guru perlu melaksanakan jadwal pembelajaran dengan teratur. Anak dengan autisme akan marah-marah kalau guru mengakhiri jam pelajaran tidak sesuai, lebih cepat atau lama beberapa menit.
“Jadwal teratur membuat anak nyaman. Membuat teman lain di kelas disiplin juga,” ujarnya.
Tak kalah penting, kurikulumnya perlu ditata agar sesuai. “Buat rencana pembelajaran individual. Bisa jadi perilakunya menjadi program belajar, sebelum masuk ke akademik,” ungkapnya.
Bagaimana anak bisa buang air itu dasar dia bisa meregulasi diri. Jadi kalau tidak ada saran dokter untuk kondisi khusus perlu memakai pampers, anak tidak perlu dipakaikan pampers terus-menerus. “Agar anak belajar mengendalikan diri, kapan mau ke kamar mandi,” ungkapnya.
Weny menekankan, toilet training penting sekali. “Perlu diperjuangkan. Bisa diprogramkan dulu kalau anak belum bisa,” imbuhnya.
Kalau sudah menerapkan cara di atas tapi belum juga berhasil, mungkin ada fase yang terlewati atau metode yang belum sesuai. “Perlu asesmen dulu mana yang anak sudah atau belum bisa,” tuturnya.
Lingkungan Fisik
Agar kelas efektif mendukung anak dengan autisme, lingkungan fisik perlu diperhatikan. Pertama, pencahayaan yang terang. Pencahayaan kalau terlalu redup atau terang, anak bisa tidak nyaman.
Baca juga: Anak Belum Bisa Bicara? Begini Cara Menerapi Wicara
Kedua, suhu yang cukup. Suhu kelasnya jangan terlalu dingin atau panas.
Ketiga, tidak bising dan terlalu padat. Tidak ada lemari runcing yang bisa menimpa anak. Karena anak cepat jalannya, mudah tersandung.
Cara Mengatasi Perilaku Berulang
Sesi tanya jawab pun ramai. Banyak peserta mengangkat tangan dan Weny menjawabnya. Salah satu pertanyaan yang terpilih, bagaimana cara mengatasi ketika ada anak dengan autisme meminta untuk mengulang kegiatan tertentu di kelas? Misal, minta berdoa bersama atau dijelaskan lagi.
Weny menekankan, anak dengan autisme perlu belajar aturan. Maka guru perlu membuat kesepakatan terlebih dahulu bagaimana aturan yang berlaku. “Aturannya, kita berdoa bersama hanya satu kali,” ujarnya mencontohkan.
Kenapa minta diulang? Anak tersebut merasa nyaman melakukannya. Jadi perlu juga mengajaknya untuk mengurangi pelan-pelan perilaku itu. “Jika hari ini dia minta diulang 5 kali, besoknya bisa jadi 4 kali, lalu 3 kali,” tuturnya.
Alternatif lainnya, anak tersebut diminta berdoa sendiri di luar kelas. Kalau misal tidak mau, cari tahu itu memang untuk mencari perhatian atau mendapat reward. Misal, dia mendapat kepuasan karena guru menuruti keinginannya.
“Tidak apa dibawa ke ruang sumber. Tapi tetap tidak berdoa. Biarkan dia melampiaskan emosinya di sana. Sekaligus siapkan dulu, besok berdoa hanya dua kali,” tuturnya.
Weny juga menyarankan agar guru rajin mencatat pengalaman baru anak. Selain itu, perlu menyampaikan ke orangtua. “Termasuk kesepakatan. Kalau anak begitu lagi, kesepakatannya dipindah ke ruang sumber. Agar anak tidak cerita ke orangtuanya, dia diasingkan di ruangan,” imbuhnya. (#)
Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni